Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Indonesia Tanah Air Beta

Indonesia Tanah Air Beta

* Surat cinta untuk Emak Pintar se-Indonesia….



Indonesia Tanah Air Beta




Indonesia tanah air beta, pusaka abadi nan jaya

Indonesia sejak dulu kala, tetap di puja-puja bangsa

Disana tempat lahir beta, dibuai dibesarkan Bunda

Tempat berlindung di hari tua, sampai akhir menutup mata…

Hai Mak,…

Apa kabar? Pernahkah menyanyikan lagu itu atau mendengarkannya hingga membuat air mata bergulir di pipi? Kalau saya pernah. Saat itu, saya sedang berada jauh dari Indonesia. Merinding rasanya ketika ikut mendendangkannya. Bisa jadi karena suasananya, atau mungkin waktu itu saya sedang merindukan tanah air tercinta. 

Tapi, jika menilik baris-baris liriknya, memang lagu ciptaan Ismail Marzuki yang berjudul Indonesia Pusaka ini, sukses mengaduk-aduk perasaan kita. Syairnya merupakan pengejawantahan rasa cinta tanah air dan bangsa lewat kata-kata yang sederhana. Mengungkapkan kebanggaan karena terlahir dan dibesarkan di Indonesia, pun tekad menjadikannya tempat berlindung sampai maut menjemput.

Nah, pertanyaannya sekarang, masihkah kita punya rasa kebanggaan yang sama? Belum lunturkah cinta kita pada Nusantara? Atau kita malah sudah berpindah ke lain hati, justru sayang pada negeri orang! Seberapa pedulikah kita pada Ibu Pertiwi yang kini sedang bermuram durja, akibat anak cucunya bertikai, saling menyerang, berbantahan sampai tak ingat lagi bahwa kita bertumpah darah, berbangsa dan berbahasa sama, Indonesia?

Emak, yuk kita kilas balik sebentar! Menengok sejarah bagaimana negeri ini dibangun dengan susah payah. Ada tetesan darah ribuan pahlawan yang berjuang untuk sebuah kemerdekaan. Beribu nyawa rakyat melayang lantaran kerja paksa selama masa penjajahan dan perlawanan menghadapi negara lain yang menduduki bangsa ini. 

Tak terhitung banyaknya uang melayang untuk mendapatkan sebuah kebebasan. Belum lagi tetesan air mata yang membanjir karena kehilangan keluarga, kerabat, sanak saudara, demi diakuinya negeri ini di muka bumi. Semua itu hendaknya selalu ada di kalbu, agar kita tidak menganggap pengorbanan mereka semu. 

Jadikan sebagai pemicu semangat bahwa tugas kita semua, kini dan nanti adalah melanjutkan perjuangan para pahlawan bangsa. Dengan cara apa? Tentu, berusaha menjadikan Indonesia lebih baik dari sebelumnya.

Mak, masih ingat nggak, waktu kecil dulu kita diminta menghapalkan sila-sila Pancasila dan pasal-pasal UUD 1945. Sebal nggak kira-kira? Bisa jadi iya! Tapi ternyata, itu adalah salah satu upaya yang dilakukan guru-guru kita untuk menanamkan rasa bangga pada tanah air dan bangsa. Karena kalau bukan kita, rakyat Indonesia sendiri, siapa lagi? 

Masa orang asing yang harus menghargai? Nah, sekarang bukannya saya mengajak untuk mendidik anak-anak kita dengan cara yang sama seperti kita dulu diajar. Bukan begitu! Tentu kita harus sesuaikan pola asuh dengan zamannya. Anak-anak kita kini (mungkin ada diantara Emak juga), merupakan generasi langgas – atau bahasa kekiniannya millennial. 

Sebuah istilah untuk generasi Y yang lahir pada rentang waktu 1980-2000, yang berkarakter bebas dan tidak mau terikat pada sesuatu atau seseorang, dan dibesarkan oleh internet dan piranti cerdas. Tentu, tidaklah tepat kalau disodori melulu materi hapalan tentang nilai-nilai kebangsaan. 

Sebab, di kiri kanan bertabur godaan mulai dari media sosial, permainan, produk asing, selebritas yang berpolah tak pantas juga teknologi yang kian hari makin tak sanggup kita ikuti. Lalu bagaimana caranya menanamkan nilai kebangsaan pada diri? Apa yang bisa kita lakukan sebagai perempuan yang juga seorang istri, ibu dan bagian dari masyarakat agar negara ini makin jaya bukan sebaliknya makin amburadul saja?

Ini ya Mak, beberapa cara untuk menjawab pertanyaan itu:

Ingat Kodrat

Perempuan, setinggi apa pun sekolahnya, sehebat apa pun jabatannya dan secanggih apapun ilmunya, kodrat utamanya setelah menikah adalah mengurus rumah tangga. Jadi, siapapun, baik ibu bekerja ataupun ibu rumah tangga, semua punya kewajiban yang sama, untuk mendidik anak-anak menjadi generasi mulia penerus bangsa. 

Sementara, saat ini kenyataannya, ada ibu bekerja yang lebih mementingkan karirnya daripada mengurus anak-anaknya. Ada juga ibu rumah tangga yang seharusnya punya waktu lebih banyak untuk berinteraksi dengan buah hati, tapi malah sibuk dengan kegiatannya sendiri. Jadi jangan salahkan jika anak-anak kita tumbuh dan besar dididik oleh televisi atau internet. Oleh karena itu Mak, sebelum terlanjur, yuk kita tafakur! Ingat kodrat! 

Jika selama ini kita abai mengurus suami, mari kita perbaiki! Kalau kita lalai membimbing putra putri, ayo lebih peduli! Kelola waktu, kurangi yang tak perlu. Kita kan sudah dapat contoh dari para guru, ayo ditiru. Misalnya, untuk ibu rumah tangga, batasi jam aktif di media sosial di rentang pukul 8-12 pagi saja. Jadi, saat anak-anak pulang sekolah kita bisa sepenuhnya mengurus mereka. Boleh curi-curi waktu, semisal saat mereka sedang tidur, bermain balok dengan teman sebaya atau berkegiatan positif lainnya. Jadi, bukan sengaja mendudukkan mereka di depan televisi atau memegangi mereka gawai, sementara kita sibuk dengan chatting yang tak penting. Sedangkan untuk ibu bekerja, tetap prioritaskan waktu untuk anak-anaknya. 

Segera pulang ke rumah bila tak ada keperluan lain. Pantau mereka lewat telepon atau pesan singkat. Aktiflah berkomunikasi dengan pengasuh anak, guru di sekolah dan orang tua murid lainnya. Hingga info akurat takkan terlewat. Jadi, Mak…kembalilah ke fitrah! Ikhlaslah! Agar lahir putra-putri yang mumpuni yang akan meneruskan perjuangan bangsa ini.

Utamakan Teladan

Mak, tahu kan kalau anak itu perilakunya mengimitasi orang terdekatnya? Nah, beri contoh yang baik untuk anak-anak kita. Mulai dari hal-hal kecil dan sedini mungkin. Lakukan dengan benar agar mereka pun meniru kebaikan. Misalnya, membuang sampah pada tempat sampah, berdoa sebelum makan, mengucap salam, memakai helm saat naik motor, berbagi pada sesama, dan kebiasaan sederhana lainnya. 

Tanpa disadari, jika mereka melihatnya, pasti akan terekam dalam ingatan dan kelak mereka pun akan melakukan. Anak yang melihat orang tuanya membantu sesama, nantinya jadi suka berderma. Jika orang tua saat berkendara mengutamakan keselamatan, pasti saat besar nanti ia pun tak bakal ugal-ugalan di jalan. 

Jika ibunya berperilaku sopan, tentu anak-anaknya akan tahu aturan. Ingat, karakter bukan diajarkan melalui teori dan wejangan tapi lewat bukti dan teladan. Dan, keteladanan lebih berarti daripada beragam teori kehidupan.

Koreksi Diri

Tayangan infotainment juga tautan berita yang dengan mudah kita akses melalui layar telepon pintar, tanpa disadari menjadikan kita hobi menghakimi sesama. Misalnya saat artis A ditimpa kabar miring, kita pun ikut mencelanya tanpa peduli benar salahnya. Hingga menghujat orang lain di media sosial menjadi budaya di era millennial. 

Haters tumbuh bak cendawan di musim hujan. Kadangkala, satu berita akan menjadi ajang perang bagi pecinta(followers) dan pembenci(haters) sang tokoh cerita. Makian dan hujatan pun bertebaran. Mereka lupa bahwa di saat satu jari menunjuk ke orang lain, empat jari lainnya mengarah ke diri sendiri. Jadi Mak, jangan lupa sebelum orang lain kita hakimi lebih baik instropeksi dulu dan berusaha memperbaiki diri. 

Daripada waktu terbuang untuk tontonan dan perdebatan yang tak berujung pangkal, pun tak berarti, lebih baik kita gunakan untuk kegiatan yang bermanfaat bagi diri. Agar banyak hal positif yang di dapat yang tentunya bisa membawa kebaikan bagi umat.

Mulai dari Diri Sendiri dan dari Saat Ini

Mak, sebuah perubahan itu tak akan bisa berhasil jika hanya sekedar slogan. Perubahan butuh tindakan nyata dari semua orang yang ikut menjadi bagian. Contohnya, sudah tahu undangan jadwalnya dimulai jam 9 pagi. Eh, kita baru berangkat jam 9 dari rumah. Alasannya, paling nanti juga molor, biasalah budaya jam karet! 

Lha, kalau setiap orang berpikiran sama, kapan kita bisa mendisiplinkan rakyat sebangsa? Makanya, kalau ingin negeri ini lebih baik lagi, mari kita mulai merubah diri sendiri dari saat ini, jangan ditunda lagi. Kalau semua punya tekad yang sama, niscaya tak butuh waktu lama untuk menjadikan Indonesia lebih tertata.

Periksa Dulu, Sebarkan Kemudian

Mak, tahu hoax kan? Bukan hoek ya! Itu sih mual dan muntah lantaran lagi hamil muda atau masuk angin, hahaha..! Hoax itu pemberitaan palsu yang sengaja disebarkan pembuatnya untuk menipu atau menggiring orang mempercayai informasi tertentu. Hoax merebak dan bisa membuat kebenaran terkoyak. 

Umpamanya, kabar tentang khasiat tanaman yang bisa jadi obat. Atau pendapat tokoh masyarakat yang dibuat seakan benar dia sumbernya padahal bukan. Kalau ternyata kita masih ragu dengan keabsahan informasi itu, lebih baik jangan disebarkan dulu. Lalu, bagaimana cara menyikapinya? Intinya, jangan mudah percaya. 

Jika sebuah isu tak jelas asal-usulnya, lebih baik tak menampilkannya di linimasa kita. Ingat selalu untuk cek dan ricek..dan ricek! Jangan sampai berita palsu itu berhasil memporakporandakan persatuan dan kesatuan bangsa. Hingga membuat bangsa bukannya membesar tapi jadi makin buyar.

Daripada Baperan Lebih Baik Berpelajaran

Mak, seorang ibu adalah sekolah pertama dan utama bagi anak-anaknya. Meski kita dulu bersekolah tinggi, tapi berhubung kemajuan ilmu terus berlari dari hari ke hari, maka kita juga harus meningkatkan kemampuan diri. 

Tidak mesti keluar rumah. Saat ini, dengan berbekal koneksi internet kita bisa belajar apa saja. Ikuti berbagai pelatihan online atau bergabung dengan komunitas di dunia maya yang sesuai hobi kita. Hadiri majelis ilmu, membaca buku atau mengikuti kursus untuk mengembangkan diri. Ingat, jika ibu berada pada ketidaktahuan maka anak-anak akan menyusu pada kebodohan dan keterbelakangan. Jadi, agar sebuah negeri makin berkembang, maka ibu-ibunya harus berpelajaran bukan baperan. Sehingga akan lahir generasi muda yang berpendidikan dan berkarakter baik.

Tanamkan Kemandirian

Mak, saya punya pengalaman tinggal di negeri orang, dimana kemandirian benar-benar diterapkan. Karena upah tenaga kerja yang tak murah, menjadikan sebuah keluarga bahu membahu bekerja sama menyelesaikan pekerjaan rumah. Di Indonesia, terutama di kota besar, sayangnya tak berlaku hal-hal demikian. 

Budaya punya asisten rumah tangga, pengasuh anak, sopir dan lainnya membuat kita biasa dilayani hingga menjadi bergantung pada orang lain. Atau, ada juga ibu yang sibuk sendiri mengurus rumah tangga dan merasa tak tega jika anaknya ikut serta. Padahal semua itu tak pada tempatnya. Karena jika anak terbiasa ada pelayan maka akan tumbuh manja dan kolokan. Perilaku manja nantinya menjadikan anak kurang inisiatif, pemalas, kecerdasan emosinya rendah dan sulit bersosialisasi. Tentu hal itu akan membuat negara tak segera maju. 

Jadi Mak, mari kita tanamkan kemandirian pada anak sejak dini. Biasakan mengerjakan keperluan pribadi sesuai tahapan usia, ikut sertakan dalam pekerjaan rumah tangga dan ajarkan berbagai ketrampilan hidup. Agar nanti tumbuh generasi mandiri yang kuat dan tegar yang akan memimpin negeri ini menjadi lebih baik lagi.

Hidup yang Cukup

Mak, merasa nggak kalau saat ini berhutang itu makin mudah saja. Tinggal bawa jaminan ke bank langsung dapat kucuran dana tunai. Atau bawa uang muka yang besarannya ringan, lalu ke dealer motor atau mobil dan kendaraan impian pun bisa di tangan. 

Belum lagi pinjaman yang diajukan ke pihak swasta yang prosesnya lebih mudah lagi, tapi dengan bunga lebih tinggi. Padahal mungkin uang atau barang yang kita hutang itu tak terlalu perlu. Atau, kalau berusaha menabung, kita mampu membelinya secara tunai. Jadi Mak, hindari gampang berhutang, ya! 

Sekecil apapun penghasilan sebenarnya akan cukup untuk hidup, tapi sebanyak apapun uang tak akan bisa memenuhi gaya hidup. Lihatlah ke bawah untuk mensyukuri nikmat dan ke atas untuk memacu semangat. Mari alihkan biaya gaya hidup tadi untuk meningkatkan kualitas diri misalnya dengan mengikuti berbagai pelatihan, agar bangsa ini jadi tambah mapan.

Sekian dulu ya, Mak. Karena, surat ini takkan berguna tanpa tindakan nyata, jadi mari rapatkan barisan, kita semua saling mengingatkan dan menguatkan! Yuk, kita jadikan Indonesia lebih baik lagi dari sekarang!

Salam sayang,

Dian Restu Agustina

*ditulis dalam rangka lomba menulis Milad ke-7 IIDN (Ibu-Ibu doyan Nulis) dan menjadi pemenang hiburan






Dian Restu Agustina
Dian Restu Agustina Hi! I'm Dian! A wife and mother of two. Blogger living in Jakarta. Traveler at heart. Drinker of coffee

Posting Komentar untuk "Indonesia Tanah Air Beta"