Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jenang Procotan

Jenang Procotan (sebuah cerpen)



Dian Restu Agustina


Sri mengairi kelapa parut. Diremas-remas, diperas dan disaring. Hingga mengucur air santan dari bawah saringan. Begitu seterusnya, sampai didapatkan sepinggan santan. Kemudian, dicampurkannya sebagian santan dengan garam, daun pandan dan gula merah. Lalu, dimasak di atas tungku kayu, sambil sesekali diaduk agar santan tidak pecah. Lantas, diambilnya tepung beras yang kemarin digilingkan di warung Kang Setu. Di baskom, tepung beras diaduk rata dengan santan yang tersisa. Dan, dimasukkan ke campuran santan yang sudah mendidih di tungku. Sambil terus diaduk sampai tercampur hingga matang menjadi jenang. Terakhir, dimasukkannya satu persatu pisang raja yang telah dikukus sebelumnya, ke dalam adonan jenang tadi untuk dimasak sebentar. Dan akhirnya, siaplah jenang procotan untuk diambil oleh pemesan.

Sambil menunggu waktu, Sri duduk di dingklik di depan tungku. Sembari menyesap kopi hitamnya yang hampir dingin. Helaan napas panjang terdengar di sela rintih hati Sri yang sunyi. Tiap kali menyiapkan pesanan jenang procotan, ia selalu merasa gundah. Jenang procotan, dipesan orang sebagai pelengkap selamatan usia sembilan bulan kehamilan. Merupakan simbol doa pada Tuhan Yang Maha Esa, agar persalinan nanti berjalan dengan lancar, sehat dan selamat. Seperti arti kata procot dalam Bahasa Jawa. Jenang ini nanti akan bersanding dengan nasi tumpeng yang dilengkapi beraneka macam lauk di sekelilingnya. Dan, seselesainya doa bersama, akan dibagikan ke tetangga kiri kanan, dengan harapan kelak si anak bakal menjadi orang yang dermawan. Sementara pisang raja mewakili simbol seorang raja. Harapannya, kelak si anak menjadi orang yang baik dan berbudi pekerti luhur. Memang, jenang procotan begitu istimewa baik cita rasa maupun maknanya. Hingga Sri merasa senang bisa membuatkan jenang ini untuk banyak orang. Meski hatinya selalu berkecamuk saat menyiapkan. Lantaran ia merindukan rasanya hamil dan melahirkan. 

Nduk, kae ana sing kulanuwun!” Suara Simbok dari arah depan memberi tahu jika ada tamu. Lamunan Sri pun buyar.

Nggih, Mbok.” Bergegas ia menuju pintu.

Sri Jenang, begitu ia dijuluki. Ya, jenang, penganan yang dijualnya tiap pagi, disandang mengikuti namanya. Untuk membedakan dengan berpuluh nama Sri yang lain di desanya. Sri mewarisi keahlian meracik makanan tradisional ini dari Simbok. Sudah tiga tahun ini, Sri yang sejak dulu hanya membantu, mengambil alih profesi Simbok, berjualan jenang di Desa Sidorejo. Saat ini, tinggal ia satu-satunya penjual jenang yang tersisa. Yang dijualnya pun tetap sama dengan yang dijual Simbok selama lebih dari 40 tahun. Ada dua macam jenang yang dijualnya, jenang putih dan jenang ireng. Jenang putih atau jenang sumsum hampir sama dengan jenang procotan. Hanya saja antara jenang putih dan kuah gula merahnya disajikan terpisah. Sedangkan jenang ireng terbuat dari beras ketan hitam yang dimasak dengan air, gula putih dan daun pandan yang dikentalkan hingga jadi jenang. Cara penyajiannya dengan disiram kuah santan. Selepas Subuh, dagangan jenang Sri sudah siap menunggu pembeli. Dan, sebelum mentari sempurna menghampiri bumi, semua jenang telah ludes terjual. Selain berjualan jenang setiap pagi, untuk pesanan Sri bisa membuatkan bermacam jenis jenang lainnya. Seperti jenang procotan, jenang candil, jenang katul juga jenang mancawarna. Semua jenang itu membawa makna yang mewakili hajat sang empunya acara. 

“Nduk, jenang kuwi wujud syukur marang Gusti Kang Murbeng Dumadi. Simbol doa, harapan, dan semangat hidup. Juga, rasa terima kasih atas semua karunia-Nya pada kita, semenjak proses kehamilan sampai kematian. Itulah kenapa dalam tiap selamatan, selalu ada jenang. Tanpa memandang siapa dia ataupun status sosialnya.”

Begitu tutur Simbok dulu saat Sri masih kecil, sembari mengajari memasak jenang. Biasanya Sri membantu memarut kelapa atau menumbuk beras menjadi tepung. Ya, dulu Simbok mengerjakan semuanya. Beruntung, sejak ada mesin penggiling beras dan pemarut kelapa, semua tak perlu dikerjakan sendiri lagi. Simbok juga mengajarinya cara memasak berbagai jenis jenang. Selain itu Sri pun diberi tahu masing-masing peruntukannya untuk apa. Kini, di saat tak semua orang bisa membuatnya sendiri, memesan jenang pada Sri bisa jadi solusi. Bagaimanapun tradisi sepatutnya diuri-uri. Dan Sri, bangga sekali bisa menjadi bagiannya.

Tak banyak orang yang tahu nama asli Sri. Sebenarnya, Sri Utami, itu nama lengkapnya. Berasal dari kata Sri, nama Dewi Padi yang mewakili simbol kecantikan dan kemakmuran. Dan Utami, yang berarti utama. Begitu indah arti namanya. Meski, Sri menyadari nasibnya tak secantik namanya. Bapak meninggal saat ia baru masuk SD. Simbok berjuang sendirian menghidupi Sri dan kedua kakaknya. Sedari kecil, sebagai anak bungsu ia selalu berada di bawah bayang-bayang dua kakak lelakinya. Sri tumbuh menjadi gadis pendiam yang manut. Berbeda dengan kakaknya yang melanjutkan sekolah ke kota, setamat SD, Sri membantu Simbok berjualan jenang. Kadang ia juga jadi buruh tani saat musim tanam atau panen padi tiba. Karena tak tahan dijuluki perawan tua oleh para tetangga, suatu hari ia pun menerima lamaran Bowo, anak juragan selepan dari desa sebelah. Dan, setelah menikah ia pun berpindah ke rumah mertuanya. 

Sayangnya sangkar emas yang diimpikan Sri belum menjadi rejeki. Hari demi hari, ia dirundung cibiran karena tak segera memberikan Bowo keturunan. Ibu mertuanya selalu bicara dengan nylekit. Menganggap Sri bagai ladang tandus yang membuat harapannya bercucu bakal pupus. Suaminya pun tak kalah kejam bikin hati Sri kelam. Ia selalu menunjuk kalau rahim Sri gabuk. Padahal Sri yakin, bisa jadi suaminya pun punya andil. Badan Bowo yang kegemukan dan kegemarannya menenggak minuman keras tentu cukup jadi alasan hingga tak mampu memberi Sri benih yang sempurna.

Namun, meski hidup tertekan luar biasa, Sri tetap sabar dan tak pernah mengadu pada Simbok. Sampai tiga tahun berselang, tiba-tiba Bowo meninggal mendadak. Kata Pak Mantri, ia terkena serangan jantung. Lalu, Sri pun pulang kembali ke rumah Simbok dengan menyandang status janda.

Wong urip ora bakal nampa coba luwih saka kasanggupane nyangga.” Itu yang selalu diucapkan Simbok sepeninggal Bapak. Keyakinan itu juga yang selalu dipegangnya dengan teguh. Sri percaya kalau Tuhan hanya memastikan kesanggupannya menghadapi cobaan.

Sri pun mengambil alih warung jenang Simbok. Sampai setahun yang lalu, tetangganya, Joko, meminangnya. Joko, duda cerai yang berpisah dengan istrinya tanpa ada anak. 

“Aku mungkin kedi, ngga bisa punya anak, Ko! Kamu nggak nyesel nanti?” jujur Sri dulu.

Ojo ngono, Sri. Anak itu hak Tuhan. Bukan kita yang menentukan,” Joko tak mempermasalahkan.

Sri pun merasa adem mendengarnya. Dan, yakin laki-laki inilah pelabuhan terakhir hatinya. 

Sri mengawali rumah tangganya dengan berbunga-bunga. Joko, pegawai di kantor kecamatan. Seorang laki-laki periang yang selalu ringan tangan. Rumah Simbok pun jadi hidup karena ada sosok laki-laki lagi. Joko mencukupi kebutuhan Simbok dan Sri. Bahkan Joko melarang Sri berjualan jenang lagi. Tapi Sri bergeming akan tetap membuat jenang karena ia merasa tak bisa dipisahkan dari kesibukan membuat penganan ini. Joko akhirnya tak keberatan. Simbok, demikian sayang pada mantu barunya yang sopan dan penuh perhatian. Simbok yakin, inilah jawaban atas doa-doanya untuk kebahagiaan Sri selama ini.

Tapi, Itu hanya yang nampak di muka. Kenyataannya Sri tetap resah. Bukan karena ia mulai mendengar bisik-bisik tetangga yang menyangsikan kesuburan rahimnya. Bukan juga karena Simbok yang makin menua sehingga Sri harus mengurusi semua kebutuhan hidupnya, lantaran kakak-kakaknya sudah berkeluarga di kota dan tak bisa banyak membantu. Bukan juga karena ada perlakuan kasar Joko yang membuat hatinya terluka. Bukan, …bukan itu semua!

Tapi, Sri tetap memendam segala gelebah hatinya sendiri. Ia masih bersyukur tak kekurangan apapun. Joko menafkahinya dengan cukup. Belum lagi hasil jualan dan pesanan jenang. Jumlahnya bahkan sisa untuk kebutuhan mereka. Hingga membuat uang tabungan yang disetorkannya ke unit bank pemerintah di kecamatan terus bertambah. 

Sri gundah lantaran Joko mungkin takkan bisa memberinya keturunan. Beberapa waktu setelah perhelatan pernikahan, Joko mendekapnya erat, Sri lirih mendengar : “Sri, aku bukan laki-laki sejati. Aku sudah berobat kemana-mana. Sepurane, baru bilang sekarang.” Sri pun tergugu.



Dingklik : bangku kecil 
Procot/mrocot : mudah lepas , mudah mengeluarkan sesuatu
Gusti Kang Murbeng Dumadi : Tuhan Yang Maha Esa
Ireng : hitam
Manut : penurut
Diuri-uri : dilestarikan
Nylekit : pedas
Gabuk : kosong/tak berisi apa-apa
Mantri : perawat
Kedi : mandul
Ojo ngono : jangan begitu
Tenan : benar
Sepurane : maafkan



Dian Restu Agustina
Dian Restu Agustina Hi! I'm Dian! A wife and mother of two. Blogger living in Jakarta. Traveler at heart. Drinker of coffee

22 komentar untuk "Jenang Procotan"

  1. kearifan falsafah jawa dalam simbol- simbol yang mulai dilupakan generasi sekarang, dikisahkan dg apik. twist pd endingnya juga bagus banget. kasihan sri 😭

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yup!..Kearifan yang seharusnya jadi pedoman.

      Semangat Sri!

      Hapus
  2. Cerpennya baguuus... Mesakke sri.. Eh, sri kuwi juga nama lengkapku.. Hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Oalah ada Sri nya to Mbak Lisa..Nama dan kejadian fiktif belaka yaa,,,hahaha:D

      Btw, thanks :)

      Hapus
  3. Pengen nangis..huh stigma selalu wanita yanh disalahkan!!! Kenyataan yang ditulis dengan manis Mbak Dian

    BalasHapus
  4. Realita kehidupan yang dikemas apik oleh mbak Dian. Salut ^^

    BalasHapus
  5. Wah cerpen berlatar budaya Jawa yang keren. Berasa lagi di desa Mbah saya :)
    Stigma masyarakat jika blm ada keturunan biasanya dialamatkan kepada perempuan. Hiks... Btw Sri Utami, mirip nama sahabat saya. Kapan2 tak suruh baca ini ahh... Makasih atas nasihat yang berwujud cerpen ini, Mbak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, perempuan yang selalu disalahkan.
      Terima kasih, Mbak:)

      Hapus
  6. Jenang procot...kmrn pas neloni sama mitoni ada jenang ini buat bingkisan ke para undangan. Hihi. Emang udah budayanya yah...
    Ups kasian Sri...ternyata para lelaki biangnya, tapi dia yg kena getahnya. Sabar, Sri..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya..jenang procot/procotan memang selalu ada di acara baby

      Iya, kasian ya..semoga dikuatkan:)

      Hapus
  7. Detail banget mbak...baguus...dan yang paling suka selalu menyajikan budaya Indonesia yang kental banget...sy nggak tahu apa itu jenang procot..baru tahu di sini... Hihi..

    BalasHapus
  8. kasihan banget kamu Sri. Aku kecil sering banget makan Jenang. Setiap ada pernikahan, selamatan selalu ada jenang, sekarang sepertinya udah jarang. MBak cerpenmu apik banget, ajariin

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maturnuwun..
      Ayo latihan terus ..tetap semangat pasti lama-lama bisa :)

      Hapus
  9. ini cerita sebenerannya atau hanay imajinasi tp sedih sekali ya nasib sri, apalagi kalau gak punya anak yg isalahkan apsti perempuan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Imajinasi mbak. Semua tokoh dan cerita rekaan semata. Yup.. Perempuan sering disalahkan 😁

      Hapus
  10. Kereeeeen banget mbak cerpennya. True banget keadaannya. Kalau lama belum dikasih momongan, selalu wanita yang dituding jadi penyebabnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak, begitulah kenyataannya ..😑
      Terima kasih apresiasinya 😊

      Hapus