Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Rokok - Sebuah Ancaman untuk Kelompok Rentan

Rokok - sebuah ancaman bagi kelompok rentan! Hmmm, kelompok rentan? Yup, di dekat tempat tinggal saya di Jakarta Barat, ada sebuah komplek sekolah swasta yang mempunyai 2 jenjang, SMP dan SMK.

Lokasi sekolah ini beberapa ratus meter saja jaraknya dari rumah saya, sehingga setiap antar jemput anak atau mau pergi, saya pasti melewati sekolah ini. 

Dan, setiap hari itu pula saya merasa miris sendiri melewati anak-anak yang duduk di sekitar menunggu jam masuk sekolah berdentang. Pasalnya, beberapa dari mereka sepagi itu sudah asyik ngobrol sambil ditemani sebatang rokok yang terselip di bibirnya. 

Padahal, itu baru jam 6 pagi!






Dan mereka sudah meracuni diri dengan benda yang manfaatnya sungguh diragukan ini. Sampai saya kepikiran, mereka itu tadi sudah sarapan belum yaa? Atau memang rokok yang jadi menu sarapannya?

Hadeeehh!

Saya pastikan sih dari seragamnya, anak-anak ini masih pada kisaran usia 13-18 tahun. Jenjang umur yang mustinya berada dalam tumbuh kembang optimal dari sisi kedewasaan.

#ruangpublikkbr

Sebagaimana yang disebutkan di Wikipedia, pada masa remaja, terjadi perubahan fisik yang cepat, pertambahan berat dan tinggi badan yang dramatis, perubahan bentuk tubuh, dan perkembangan karakteristik seksual. Pada perkembangan ini, pencapaian kemandirian dan identitas sangat menonjol seperti pemikiran semakin logis, abstrak, dan idealistis dan semakin banyak menghabiskan waktu di luar keluarga.

Nah, tentu sayang sekali jika di usia yang sedang segar-segarnya ini, mereka sudah terpapar benda yang jelas-jelas bikin rugi!

Tapi mau bagaimana lagi, rokok sampai kini menjadi benda yang sangat mudah didapatkan oleh mereka. Saya sering menjumpai di warung sekitar sekolah, anak-anak ini bisa membeli dengan bebasnya. Tinggal bayar pakai uang jajan, beli ketengan seharga seribu sampai dua ribu rupiah dan ...sudah! Rokok bisa dinikmati dengan gembira..!😢

Padahal, saya yakin dari penampakan sekolah dan siswanya, mereka ini berasal dari kalangan masyarakat ekonomi bawah yang pendapatannya tentu di angka yang pas-pasan atau bahkan kekurangan.

Hiks!

Sehingga saya yang notabene tinggal di lingkungan keluarga bukan perokok, dimana Bapak saya tidak merokok dan kini suami saya juga sama, menyayangkan sekali hal ini bisa terjadi.

Apalagi, kini saya memiliki anak berusia remaja yang tentunya sedikit banyak menimbulkan kekhawatiran di hati, jika dia terpengaruh oleh teman-temannya hingga mencoba merokok dan akhirnya jadi adiksi.

Duh, Astaghfirullah, jangan sampai ya Allah...!

#rokok50ribu

Dan......., mata saya pun semakin terbuka saat mengikuti Talkshow serial #RokokharusMahal dari Program Radio Ruang Publik KBR, yang disiarkan langsung dari Hotel Cemara, Menteng, Jakarta Pusat, pada hari Selasa, 14 Agustus 2018 silam.

Memang kelompok miskin, menjadi salah satu kelompok rentan yang mustinya dijauhkan dari rokok, begitu bahasan dari talkshow ini.

Dimana menurut  Dr Arum Atmawikarta, MPHManager Pilar Pembangunan Sosial Sekretariat SDGs Bappenas, kelompok rentan ini adalah kelompok miskin yang berpendapatan pada kuintil 1 dan kuintil 2 (kelompok miskin yang merupakan dua populasi terendah dalam skala pendapatan rumah tangga di Indonesia).

Jumlah mereka ini, berdasarkan hasil survei BPS adalah sekitar 9,7 %. Selain itu, yang dimaksud kelompok rentan ini juga adalah kelompok marginal lain yaitu yang tinggal di daerah yang sulit dan terpencil.

Nah, dalam acara yang dipandu oleh Don Brady ini, Dr Arum juga menyatakan, data BPS, secara konsisten menunjukkan bahwa ternyata pengeluaran dari kelompok penduduk miskin untuk rokok itu besar sekali. Dimana rokok ternyata berada di posisi kedua setelah beras dan ini konsisten dari tahun 2004 sampai 2018.

(Whaaaat? Oh eM Ji!!😱)

Dan, berdasarkan data SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional), sampai sekarang, pengeluaran beras itu sekitar 22% sementara rokok sekitar 12-17%. (dengan jumlah konsumsi rata-rata 11 batang rokok per hari!!). Setelah itu baru pendidikan, sekitar 3% dan kesehatan yang sekitar 3% juga.

Berarti nih yaa..., jika pendapatan mereka 50 ribu rupiah per harinya, maka sekitar 11 ribu dari uangnya dibelikan beras, 7500 untuk rokok dan masing-masing 1500 untuk pendidikan dan kesehatan. Hmmm, coba yang 7500 ini dibelikan tahu, tempe, sayur, telur atau makanan sehat lainnya, tentu keluarga jadi lebih terpenuhi gizinya!

Kok saya jadi syeddiiih ya ngitungnya..! Hhhhhh..!

Tapi ngomong-ngomong, kenapa sih bisa begini? Kok angka belanja rokoknya bisa tinggi?

Sebabnya tak lain dan tak bukan, karena:
  • Akses rokok yang mudah
  • Harga rokok yang murah
Sehingga mudah sekali bagi kelompok rentan untuk mendapatkannya, termasuk anak-anak sekolah yang di dekat rumah saya.

Lalu, sebenarnya kategori umur berapakah yang termasuk kelompok rentan itu?

Menurut penjelasan Dr. Arum, indikator SDG’s atau Sustainable Development Goals  menyebutkan, kelompok rentan ini adalah anak usia di bawah 15 tahun. Dimana jika di usia ini mereka sudah mulai merokok maka cukup besar prevalansinya untuk merokok nantinya.

Jadi, kalau bisa, memang kita musti mencegah kebiasaan merokok ini sejak usia dini. Jangan sampai anak-anak terpapar dengan kebiasaan buruk ini. Karena kalau tidak, perilaku itu akan terbawa terus menerus sampai usia mereka tua dan akan sangat sulit sekali menghentikannya.

Hmm, bener banget ini, kalau sudah kadung...lebih susaaah nanti untuk membendung!

Kemudian, apa yang bisa dilakukan?

Kita bisa berusaha dengan:
  • Mengurangi iklan rokok di televisi. 
Tolong dong ditinjau lagi iklan yang bertaburan yang menyebutkan para perokok itu mempunyai energi yang kuat, aktif juga sukses. Kalau bisa dikurangi, ada pengaturan untuk jam penayangan atau bahkan dihilangkan sama sekali!

  • Mekanisme pengendalian harga
Dengan meningkatkan 10% harga rokok maka akan menekan jumlah perokok sekitar 16% pada penduduk miskin dan pada kelompok kaya bisa turun 7%. Mekanisme ini sendiri telah dilakukan di berbagai negara dan terbukti efektif keberhasilannya.


Ruang Publik KBR

Kemudian,    Dr. Abdillah Ahsan, Wakil kepala Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah FEB UI yang juga menjadi narasumber acara yang bisa disimak lewat 104 radio jaringan KBR, melalui aplikasi KBR Radio di Android dan iOS dan fan page Kantor Berita Radio KBR juga menambahkan beberapa hal.

Menurut Dr Abdillah, pemerintah sebagai mandataris rakyat bertugas mengemban keputusan rakyat yang ditulis di dalam konstitusi negara. Dan konstitusi mengamanatkan bahwa konsumsi rokok itu musti dikendalikan atau dikurangi. Karena tidak ada konstitusi yang mengamanatkan konsumsi rokok harus dinaikan!

Nah, lho!! Jadi.....??

Yup, ada 3 pijakan sebagai perintah bagi pemerintah untuk mengendalikan konsumsi rokok, yaitu:
  • UUD 1945: hak sehat adalah hak asasi bagi semua warga. 
  • UU Cukai: tarif cukai bertujuan untuk mengendalikan konsumsi. 
  • UU Kesehatan: rokok dan tembakau adalah barang yang adiktif, menimbulkan kecanduan dan harus dikurangi konsumsinya.
Tuh...Tidak ada sama sekali perintah untuk meningkatkan konsumsi rokok, kan?


sumber: FK Universitas Gadjah Mada


Jadi pemerintah itu harusnya satu tekat, bulat, yakin, dan pede dalam mengendalikan konsumsi rokok ini.

Karena sepertinya, saat ini pemerintah enggak yakin ketika hendak menaikkan tarif cukai. Pemerintah ragu saat mau melarang iklan rokok ditayangkan. Dan bahkan pemerintah sudah kena candu pendapatan lewat produksi rokok itu.

Lha, kalau begini terus kapan konsumsi akan turun yaaak?

Yang ada, pengendalian malah kurang optimal, sehingga konsumsi makin naik dan naik lagi....

Hingga bakal makin banyak perokok di negeri ini! Hiiiiii!! Ngeri! 

Habis gimana lagi, mendapatkan rokok di Indonesia itu sangat mudah dan harganya juga sangat murah. Sebungkus 15 ribu saja! Bisa dibeli ketengan pula!

Kalau uang saku anak sekolah seharinya 10 ribu, harga per batang seribu, ya pasti bisa dibeli ituu..!

Beda cerita jika pemerintah mau menaikkan harga rokok melalui peningkatan cukai yang setinggi-tingginya kemudian mengurangi juga aksesnya. Janganlah beli rokok sudah macam beli popok. Enggak pakai ditanya KTP-nya atau dilihat dulu yang beli siapa. Asal bawa uang, main dikasih saja sama penjualnya.

Duh, piye,..piye?

ruang publik KBR

Akses penjualan rokok seharusnya juga tidak sebebas sekarang ini. Karena kalau berpegang pada filosofi cukai pengendalian, konsumsi rokok harus disamakan dengan alkohol. Sehingga kalau penjualan alkohol dibatasi, seharusnya penjualan rokok pun sama.

Kemudian yang perlu diingatkan ke pemerintah juga, bahwa pertumbuhan ekonomi itu tidak boleh diserahkan kepada industri rokok. Pemerintah harus yakin, bahwa mengendalikan konsumsi rokok membuat masyarakat sehat dan hal ini berguna bagi perekonomian.

Karena, ekonomi harus bertumbuh secara berkualitas. Sebab masyarakat yang panjang umur dan sehat, akan produktif, dan menambah GDP (Gross Domestic Product).

Apalagi, kini kita sering dengar banyak terjadi kematian dini...

Enggak seperti jaman kakek nenek kita dulu, kematian di usia di bawah 60-70 bahkan kurang dari itu,  kini banyaaaak sekali. Dan dari semua itu penyebabnya adalah penyakit yang terkait dengan rokok!

Hiks!

Jadi nih, mustinya ada keyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi, tidak boleh diserahkan kepada industri yang menyakiti tubuh masyarakat. Juga pemerintah harus lebih cerdas lagi menggali sumber-sumber pertumbuhan ekonomi yang sehat.

Ruang Publik KBR



Mestinya, menurut Dr. Abdillah, kita juga harus ingat bahwa cukai itu gunanya untuk membebani perokok supaya berhenti merokok. Ini yang harus diingat, bahwa aspek pengendalian harus lebih kuat daripada aspek penerimaan negara.

Kemudian, sebaiknya ada promosi kesehatan pada tingkat keluarga, yaitu supaya kepala keluarga tidak merokok. Atau jangan merokok di dalam rumah, karena dampaknya terutama kepada bayi, anak-anak dan ibu hamil besar sekali. Karena terbukti pada keluarga yang merokok, tingkat kematian bayi itu lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga yang tidak merokok.

Lalu bantuan program pemerintah yang dikhususkan kelompok rentan dan kelompok miskin, semacam BLT (Bantuan Langsung Tunai), kalau bisa tidak digunakan untuk membeli rokok. Misalnya ada semacam peraturan peruntukan bantuan dimana syarat tidak merokok ada di dalamnya. Mungkin saat ini sudah ada, tapi sifatnya baru himbauan bukan larangan.

Hmmm....coba jika semua kepala keluarga yang mendapatkan bantuan mendengarkan yaa?

Tapi, kalau mau diulik lagi, apa saja sih sebenarnya dampak positif dan negatif pelarangan rokok ini?

Begini...

Awalnya, dulu kala produksi rokok memang belum tinggi. Lalu ketika produksinya sudah tinggi di beberapa negara, baru ketahuan lah dampak buruknya. sehingga kalau rokok mau dilarang pun sudah telaaaat.

Ruang Publik KBR

Akhirnya, solusinya apa?

Ya, satu-satunya menurut Dr. Arum adalah dengan mengendalikan dan menurunkan konsumsi rokok dengan berbagai kebijakan, diantaranya:
  • #RokokHarusMahal
Menaikkan harga cukai rokok supaya harga rokoknya mahal. Rokok harus tidak terjangkau oleh anak sekolah dan orang miskin. Uang beli rokok 15 ribu sehari itu berarti 450 ribu sebulan lho... Artinya sudah 6 jutaan setahun. Sehingga 10 tahun berarti 60 juta uang dibakar percuma!! Dan dapatnya apa coba? Rusak paru-parunya! Belum lagi kalau penyakit yang lain bermunculan juga. Bisa dibilang membeli rokok itu sama dengan membeli penyakit. Yang benar saja lah, masak penyakit dibeli!!
  • Iklan rokok harus dilarang
Sering enggak teman-teman mengamati kalau kini iklan rokok itu enggak etis. Masak disebutkan dan dituliskan besar-besar kalau harga rokok merk ini murah! Banyak lho kota yang sudah melarang iklan rokok dan PAD-nya itu justru lebih tinggi, karena spot-spot yang dikuasai oleh industri rokok, digantikan oleh barang-barang lain. Jadi kebijakan pelarangan iklan rokok ini sebenarnya tidak pelu menimbulkan kekhawatiran tersendiri.
  • Ada peringatan kesehatan bergambar dan kawasan tanpa rokok di berbagai tempat
Ruang Publik KBR


Lalu, keuntungan kebijakan pelarangan ini apa saja sih yaa?
  • Masyarakat hidup lebih sehat
  • Tidak ada pemborosan uang
Tapi, bagaimana dengan tenaga kerja industri rokok? Bagaimana dengan nasib mereka?

Yuks, kita ingat dulu, rokok itu, ada yang dibuat dengan mesin, ada juga yang dibuat tangan.

Saat ini, rokok buatan mesin jauh lebih laku daripada buatan tangan sehingga turunnya pekerja bisa saja disebabkan karena ada perubahan dari tangan ke mesin. Kalaupun ada dampaknya, harus ditangani bersama-sama oleh kementerian terkait.

Jadi, kalau ada penurunan tenaga kerja di rokok kretek tangan sebenarnya bukan gara-gara pengendalian rokok, tapi karena gara-gara pabriknya memang ingin pindah ke mesin.

Nah, dengan cukai rokok yang disebutkan mencapai 150 Triliun hasil dari rokok dibikin semurah-murahnya, tapi dengan konsekuensi semua anak dan orang miskin jadi bisa merokok yang ujung-ujungnya rusak jiwa raga...apa masih tega?

Coba yuk, dipikir...! Masih mau generasi penerus bangsa teracuni seperti ini? Enggak kan yaaa?

Ruang Publik KBR
sumber: Kemenkes RI


Kemudian, tindakan nyata apa yang bisa dilakukan? 
  • Mencegah
Mencegah konsumsi rokok bagi yang belum merokok. Oleh sebab itu, kalau bisa sih anak-anak yang di bawah 15 tahun tadi, presentasi merokoknya diturunkan. Jangan sampai yang muda-muda itu merokok. Jauhkan dan hindarkan!
  •  Memperkecil akses 
Misal, rokok hanya dijual di supermarket pada box khusus. Jadi kalau mau beli rokok itu, pembelinya ditanya usianya berapa dan diminta menunjukkan kartu identitasnya. Jangan sampai ada penjual rokok di sekitar kelompok-kelompok muda ini.
  • Membantu
Membantu orang yang sudah kecanduan rokok. Jangan teruskan budaya kalau kita memberi uang pada orang bilangnya untuk membeli rokok. Bilang, untuk beli beras ya..atau apalah, hal yang lain yang bermanfaat.

Kemudian, apa yang bisa disampaikan pada perokok yang teteup kekeuh merasa dengan merokok dia sudah menyumbang pada penerimaan negara?

Sejatinya ini bisa digabungkan: sehat sekalian menyumbang penerimaan negara,. Caranya dengan berhenti merokok, lalu produktif bekerja dan jika ingin menyumbang ya bayar pajak saja. Selesai perkara!

Jadi apa yang bisa saya dan teman-teman lakukan?

Yuks... kita terlibat aktif dalam kampanye pengendalian konsumsi rokok ini!

Caranya? Mudah sajaa....

Kuy, kita serukan dengan tagar: 

#Rokokharusmahal
#Rokok50ribu

Juga, mari bantu keluarga miskin dan anak-anak untuk berhenti membeli rokok, dengan menandatangani petisi #rokokharusmahal di Change.org

#RokokHarusMahal, sebuah petisi yang ditujukan kepada pemangku kebijakan agar membuat aturan untuk pengendalian konsumsi rokok ini.

Ingat, kontribusi kecil kita, akan menetukan masa depan bangsa!😍


Dan, saya sudah menandatangani petisinya!



Salam Sehat,

Dian Restu Agustina
Dian Restu Agustina
Dian Restu Agustina Hi! I'm Dian! A wife and mother of two. Blogger living in Jakarta. Traveler at heart. Drinker of coffee

6 komentar untuk "Rokok - Sebuah Ancaman untuk Kelompok Rentan"

  1. Lah piye ya kak .. , satu sisi rokok penyumbang pajak bea cukai terbesar negara.
    Harga rokok sejak lama akan dinaikkan juga akhirnya hanya sebatas wacana dan ramainya pemberitaan.
    Mungkin solusinya pembeli rokok harus disertai menunjukkan KTP.

    BalasHapus
  2. Miris memang mbak, setiap survei sosial ekonomi nasional (SUSENAS) saya selalu ngelus dada. Dari sampel yang pengeluarannya di bawah sejuta per bulan konsumsi rokoknya bisa ratusan ribu per minggu, padahal untuk makan saja ngirit.

    BalasHapus
  3. Sebagai emak-emak yang juga anaknya cowok semua, selalu was-was ama rokok ini, mana bapak saya juga perokok berat, suami sih Alhamdulillah sudah lama gak ngerokok saking kupingnya gak kuat dengar omelan saya.

    Semoga anak-anak kita bisa melawan pengaruh buruk seperti rokok ya, dan yang paling penting semoga pemerintah mengabulkan peraturan rokok harus mahal, aamiin

    BalasHapus
  4. rokok , zat nikotin bikin nagih. sesungguhnya rokok itu candu seperti narkoba. seram lihat tubuh perkokok aktif.

    BalasHapus
  5. Kayaknya peraturan sekolahnya kurang ketat ya Bun. Sampai anak berani merokok di deket sekolah gitu bahkan masih lingkungan sekolah. Saya jadi kasian ke anak-anak itu. Semoga suatu hari nanti mereka sadar akan bahaya rokok

    BalasHapus