Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

[Tanpa judul]

Orang Tua Tipe Helikopterkah Kita?





"It is not what you do for your children but what you have taught them to do for themselves that will make them successful human beings"


Suatu siang sepulang sekolah,

"Buk, Montase-ku dapat nilai 80"
"Alhamdulillah..bagus tuh!"
"Temanku ada yang dapat 90 Buk, ada yang 95 juga"
"Enggak apa-apa, 80 kan hasil buatanmu sendiri. Jadi harus bangga. Latihan lagi. biar bikinnya lebih rapi jadi nilainya lebih bagus nanti"
"Tapi aku sudah rapi, Buk...." (kekeuh)
"Dik, 80 itu hasil nilaimu sendiri loh..Yang 95 itu siapa tahu bukan bikinan dia, dibuatin orang tuanya. Sudah enggak apa-apa, bangga sama nilai kita sendiri saja yaaa!"
"Ya, Buk..." (masih gondok)


Apa Itu Orang Tua Helikopter?



Duh, dilema yaa!

Saya sebenarnya sudah tahu dari grup WA orang tua, kalau beberapa teman sekolah si Adik memang  tugas prakaryanya dikerjakan oleh orang tuanya. Maka enggak heran kalau hasilnya rapi jali sehingga guru memberikan nilai tinggi.

Inilah enggak bagusnya Pekerjaan Rumah, bisa saja yang mengerjakan orang tua, bukan anaknya. Sementara guru tahunya yang penting tugas dikumpulkan pada waktunya, tanpa mampu mengecek apakah benar  itu buatan siswa sendiri atau ada bantuan dari orang lain.

Tapi....ngomong-ngomong, teman-teman yang putra-putrinya sudah bersekolah, pernah kayak gini enggak ya?

PR anak, kita yang kerjakan, ada apa-apa dengan mereka langsung mengulurkan tangan. Juga selalu ada di samping anak setiap saaat mereka memerlukan bantuan.🙈

Duh, saya kadang juga masih begitu. Padahal ini ternyata enggak bagus lho. Karena berarti kita termasuk tipe orang tua helikopter kalau begini.

Tahu enggak istilah orang tua tipe helikopter?

Itu lho... orang tua yang terlalu protektif dan mengatur anak sampai ke hal terkecil sekalipun. Dan selalu membayangi kemana pun si anak pergi dan siap sedia untuk mengulurkan tangannya kapan pun diperlukan anaknya.

Nah, orang tua tipe ini bagai sebuah helikopter yang kapan pun dibutuhkan akan datang mengirimkan bala bantuan.

Padahal nih pola pengasuhan seperti ini akan menghambat proses perkembangan kemandirian anak sehingga akan berdampak pada kehidupannya kelak.

Memang, tiap orang tua punya pola pengasuhan yang berbeda-beda yang diyakini terbaik bagi anak-anaknya. Namun, seringkali tanpa disadari apa yang diterapkan selama ini hanya membawa kerugian pada tumbuh kembang anak itu sendiri.

Lalu, yakinkah bahwa kita bukan salah satunya?


pic: Pixabay


Ciri-ciri Orang Tua Helikopter


Nah, agar tahu lebih jelasnya, Kuy, simak berikut ini ciri-ciri orang tua yang termasuk tipe helikopter dari beberapa referensi :



1.   Over Protektif


Sejak anak buka mata sampai beranjak tidur banyak sekali pesan-pesannya. Jangan lari-lari di sekolah nanti jatuh! Jangan ikut-ikutan teman main di lapangan nanti sepatunya kotor! Jangan main tanah! Jangan hujan-hujanan! Jangan main ke rumah tetangga!

Aduh! Kalau kebanyakan “Jangan ini atau itu”, bagaimana anak akan menghadapi jatuh bangunnya hidup nanti.

Lebih baik kita beri kesempatan anak mencoba suatu pengalaman sehingga ia bisa belajar, tumbuh dan berkembang menjadi manusia dewasa yang kelak siap menghadapi berbagai tantangan.


2.   Selalu Melayani


Orang tua ibarat pelayan bagi anaknya sendiri. Anak sudah bisa mandi sendiri, masih dimandikan. Makan disuapi. Baju/sepatu dipakaikan. Semua keperluannya juga disiapkan.

Wah, kalau seperti itu terus, anak tidak akan mampu melayani dirinya sendiri. Biarkan anak melakukan sendiri dengan menyesuaikan tingkat usianya. Libatkan ia dalam pekerjaan rumah tangga. Beri tugas sehari-hari yang sesuai kemampuannya. Seperti membuang sampah, memberi makan hewan peliharaan, mencuci piring makannya sendiri, memasukkan cucian ke mesin cuci atau menjemur baju.


3.   Selalu Memantau


Anak sudah masuk SD yang keamanan sekolahnya bagus, tapi kita masih tak tega untuk meninggalkannya dan masih setia menungguinya seharian di kantin sekolah. Ada acara field trip di sekolah tanpa perlu pendampingan orang tua, kita masih juga menyusul di belakang rombongan atau bahkan sudah tiba lebih dulu di lokasi tujuan. Saat si remaja pergi ke undangan ulang tahun teman, kita menelepon beberapa kali ke ponselnya.

Ayo, beri kesempatan anak menjadi mandiri tanpa merasa diikuti terus oleh orang tuanya kesana-sini.


4.   Anti Gagal


Anak yang baru belajar makan sendiri pasti belepotan di sana-sini. Saat membantu mencuci piring bisa jadi piring pecah satu. Juga, mengikat tali sepatu untuk yang baru belajar itu, butuh waktu. Ada standar yang berbeda antara ibu dan anak dalam menilai kamar rapi atau tidak.

Kegagalan itu kunci utama dalam proses belajar. Biarkan anak salah di awal dan terus mencoba meski gagal. Ia akan belajar dari kegagalannya sampai bisa sempurna melakukannya.


5.   PR Anak = PR Orang Tua


Ada orang tua yang tiap malam mengerjakan Pekerjaan Rumah anaknya. Saat ada tugas membuat tulisan, orang tua mencari bahan, mengetik, menjilidnya dengan sempurna. Prakarya dapat nilai 100 karena malam-malam orang tua begadang mengerjakannya.

Latih anak untuk bertanggung jawab terhadap tugas sekolahnya. Tugas orang tua hanya sebatas mendampingi, membimbing dan membantu seperlunya. Meski hasil/nilainya nanti tak sesuai dengan harapan kita, tapi itu merupakan hasil karya anak sendiri. Sehingga kelak ia akan mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi.


6.   Selalu Membela


Anak main ke rumah tetangga, pulang-pulang nangis. Katanya si A nakal dan ia tak mau lagi main dengannya. Karena tidak terima, kita langsung ke sana dan tanpa tahu kejelasan masalahnya, marah-marah pada si A atau orang tuanya.

Coba cari tahu dulu, tanya pada anak kita dan dengarkan penjelasannya.  Jangan langsung membelanya. Ajari anak untuk meredakan emosi dan bantu untuk menemukan solusi.


7.   Protes Melulu

Anak cerita kalau kena hukuman dari wali kelasnya. Kita tak terima dan langsung menelepon menyampaikan keberatan. Atau, saat anak kecewa saat pelatih futsal memasukkannya jadi tim cadangan, kita langsung protes pada kebijakannya.

Lebih baik ajari anak untuk menyelesaikan konflik yang dihadapi. Ajak diskusi, sarankan anak untuk mengungkapkan pada guru/pelatih/temannya tentang apa yang dirasakan. Sehingga ia akan belajar memecahkan masalahnya sendiri.


People Sitting on Green Grass
pic by: pexels


Yuk, Perbaiki Diri!



Nah, jika ada ciri-ciri di atas ada yang pernah kita lakukan, yuk perbaiki!

Saya pun demikian, masih ada salah di sana-sini dan terus berusaha memperbaiki diri agar lebih baik lagi.

Jangan sampai anak-anak kita keterusan dengan mudahnya mendapat bantuan. Sehingga saat dewasa nanti ia jadi pribadi yang kurang mandiri. Cari kerja minta bantuan orang tua, sudah berkeluarga masih disokong dana atau sudah punya anak istri tapi masih minta beli itu ini sama mami papi.

Aaaaah, jangan sampai deh ya..!😉





Happy Parenting

Dian Restu Agustina



Dian Restu Agustina
Dian Restu Agustina Hi! I'm Dian! A wife and mother of two. Blogger living in Jakarta. Traveler at heart. Drinker of coffee

50 komentar untuk " "

  1. Alhamdulillah anak-anak menjadi mandiri jika kitanya memberikan contoh yang baik dan percaya pada mereka.
    Tentu saja kita tetap mengontrol mereka asal gak berlebihan. Anak-anak juga ingin menunjukkan bahwa mereka eksis dan bisa.

    BalasHapus
  2. aku bagian sering memantau nih mom, belajar buat gak menjadi orang tua helikopter buat anak. karena jangan mempermudah anak sekarang untuk mempersulitnya di masa mendatang.

    BalasHapus
  3. Ternyata ciri2 ini pernah aku alami �� tp kali aja mamaku blum tau �� gpp lah setidaknya sy gak boleh lanjutin teknik beliau yg lbh ke org tua helikopter �� toh skrg sdh gk gitu lagi

    BalasHapus
  4. Rasanya saya pernah berada dalam posisi ortu yang demikian, khusus di urusan tugas & PR sih... Tapi lama-lama saya arahkan anak saya untuk mandiri dan menyelesaikan tugasnya sendiri, saya hanya mendampingi. Jika dia melakukan kesalahan di sekolah pun, saya beri pengertian tentang konsekuensi mendapatkan punishment. Intinya sih sedari awal saya arahkan untuk bertanggung jawab atas dirinya sendiri sehingga kelak siap ketika tiba saatnya terjun di masyarakat.
    Anyway.. makasih banyak mba atas sharingnya, sangat bermanfaat, dan baru tahu sekarang tentang tipe ortu helikopter :)

    BalasHapus
  5. Aku juga pernah jadi ortu helikopter, karena tuntutan sekolah yang terlalu banyak jadi kadang anak kelelahan sampai di rumah. Masih harus ngerjain tugas, pr, prakarya atau nyiapin untuk ulangan besoknya. Itulah salah satu konsekuensi penerapan kurtilas. Sampe kelas 3 baru bisa lebih memberikan kelonggaran sama anak yang sulung. Sekarang sudah 80% mandiri dia, kecuali untuk bbrp hal yang memang belom saatnya.

    Untuk yang kecil aku masi nungguin di sekolah karena ada beberapa sarana sekolah yang kurang safety, terutama di ruang bermain. Aku sempet beberapa kali mergokin anak-anak dorong-dorongan dan anakku jatuh.jadi emang belum berani ngelepasin sendiri. Tapi untuk hal lainnya aku berusaha kasih kelonggaran biar dia mandiri juga.

    Thanks udah ngingetin ya mba Dian

    BalasHapus
  6. dulu aku pernga mengajar anak-anak di sekolah dasar, dan aku tuh paling gak setuju anak di berikan Pekerjaan Rumah, selain membebani ruang gerakmereka di rumah, biasanya yang mengerjakan juga orangtua nya. apalagi jam sekolah di kota ku dulu utk sekolah dasar sangat padat, jam 7 sampai jam 14.00, jadi PR bikin mereka lelah.

    BalasHapus
  7. Hehehe anakku masih bayik....masih belom sekolah tapi zuzur aku baru tau ada istilah orang tua helicopter inih....menarik...

    BalasHapus
  8. Wah alhamdulillah saya bukan type ortu helikopter. Dari kecil saya selalu membiasakan anak melakukan segalanya sendiri. Saya hanya sekedar memantau. Biar mereka belajar dr apa yg meraka rasakan sendiri.

    BalasHapus
  9. Ada mbak, adaaaaa. Sering liat kyk gtu, bahkan di lomba2, ortu bantuin anak, duh. Itu kan lomba buat anak.
    Kemungkinan krn sistem pendidikan kita msh menghargai nilai dan nilai, bukan prosesnya. Makanya aku maju mundur nih masukin anak2 ke sistem sekolah :( Krn pengennya anak2 dihargai sesuai kemampuan... Lha malah curcol :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ini Dema sama Maxy blm sekolah, mereka masih les bimba aja, kalau ada PR taksuruh kerjain sendiri haha, aku bantuin aja. Tapi memang ada kalanya ya, dr sudut ortu yg anaknya udah sekolah dan dikasi tugas banyak, ortu itu sbnrnya ngrasa kasian gtu kali ya, berawal dr kasian, lalu gak lama bantuin terus deh #tutupmuka

      Hapus
  10. Aduh ini nih. Dari semenjak tahu istilah ini aku selalu berusaha untuk gak jadi orang tua helikopter. Semoga kelak bisa dipraktekkan dengan benar.

    BalasHapus
  11. Saya juga sering nemuin teman-teman kantor yang cariin bahan buat tugas buat anaknya, menyusun lalu ngeprint di kantor. Kadang mereka ngeluh sih, tapi herannya tetap dikerjain juga hehehe....

    Kalau saya tipe apa ya... Terlalu sering membiarkan anak mengerjakan apa-apa sendiri hehehe...

    BalasHapus
  12. Sebagai ibu baru, aku baru tau lho mbak ada orang tua type helikopter hehe. Sepertinya orang terdekat saya juga ada yg type seperti ini. Seneng banget mbak Dian Restu nulis artikel ini, jadi saya bisa belajar menjadi orang tua tanpa harus bertype helikopter hehe

    BalasHapus
  13. Anak saya rencananya sekolah tahun ini, semoga nanti ngga jadi orang tua helikopter ya. Saya sih tumbuh tidak dengan orang tua helikopter. Dulu pernah sih waktu SD, ada guru yang menyalahkan cara penyelesaian rumus matematika yang tidak sesuai ajaran padahal jawabannya bener., awalnya saya disuruh protes sendiri. Tapi karena berulang-ulang disalahkan, pas ibu saya ke sekolah buat ambil rapot, beliau ngobrol sama gurunya meski ngga langsung protes sih, cuma cerita aja saya suka sedih plus misuh misuh di rumah kalo ada soal yang disalahkan begitu. Cawu berikutnya, cara penyelesaian saya ngga dipermasalahkan lagi yeay.

    BalasHapus
  14. baru denger istilah orangtua helikopter. cuung mak, melihat beberapa poin di atas kok ya saya kadang-kadang jadi orangtua helikopter ya. Tapi inshaallah nggak semua poin sih. PR tetap anak yg kerjain, saya sebts mendampingi :)) inshaallah juga, ga selalu bela anak dan ga protes melulu hehe

    BalasHapus
  15. Bismillah, semoga saya sama suami ngga jadi orang tua tipe helikopter, mbak. PR anak, kami usahakan dia sendiri yg mengerjakan. Malah PR kami, menanamkan kemandirian untuk melakukan pekerjaan rumah sendiri.

    BalasHapus
  16. Kebetulan hari Rabu besok anak saya yg TK A akan outing class untuk outbound dan renang. Naik bus. Sedangkan anak saya mabukan anaknya. Saya tanya ke gurunya apakah saya boleh ikut mendampingi anak karena kondisinya itu. Takut merepotkan gurunya. Tapi ternyata tetap tidak boleh. Saya hanya disarankan untuk mempersiapkan kondisi anak sebelum berangkat (dikasih obat anti mabuk dan disugesti agar tidak mabuk).
    Saya bersyukur sekolah mendidik kemandirian sejak dini. Meskipun terlihat "tega nian" sama anak yang masih kecil, tapi saya setuju untuk mendidik mereka mandiri. Sedih tapi harus yakin anak-anak bisa.
    TFS, Mbak :)

    BalasHapus
  17. Ya ampun, jadi ini toh yg disebut orang tua helikopter dan jelas banget ya mba secara tidak langsung akan merugikan banget si anak di kemudian hari. Karena, si anak gk bisa mandiri dan segalanya harus dipenuhi. Otomatis, selama hidupnya bakal bergantung terus sama ortunya. Noted banget nih mbaa, thanks ya mba dian buat sharing nya yg berfaedah banget

    BalasHapus
  18. Waaah saya baru tahu bahwa ada istilah orang tua helikopter nih mbak. Beruntung dulu orangtua mendidik benar-benar mandiri sedari kecil, bahkan daftar sekolah dari SMP-kuliah udah dilepas. Sekarang sudah punya anak, mau coba niru prinsip orangtua dulu, belajar ngelepas si bocah :)

    BalasHapus
  19. aku malah cenderung kebalikannya, mba.
    sampai kadang ada yang protes, "kamu tega banget sih sama anak sendiri?"
    sebenarnya nggak tega ya, tapi kan demi kebaikan mereka juga. kadang malah kaya ada rasa bersalah, tapi dikuat-kuatin aja. karena sekali kita nggak konsisten, anak juga jadi terpengaruh.

    BalasHapus
  20. Hihi. Kirain tipe helikopter tuh yg suka tiba2 ngomel karena berisik. Sejauh ini, saya bukan ortu helikopter sih. Walau babyZril masih 2 th kurang, sudah saya latih mandiri. Misal ambil mainan sendiri dan menatanya dalam box mainan. Kadang gak tega, tapi demi masa depan yg cerah karena terbiasa mandiri kan?

    BalasHapus
  21. Duh saya bukan orang tua tupe helikopter kalau gitu. Membaca ciri-cirinya saja aku sudah capek. Dan saya termasuk orang tua yang selalu membiarkan anak-anak mengerjakan PR sendiri. Kadang malah tak memeriksa juga. Hanya saya menanamkan kepada mereka bahwa PR itu tanggung jawab mereka. Jika tak dikerjakan mereka yang akan tanggung resiko sendiri. Saya hanya memastikan bahwa PR sudah dikerjakan. Gimana hasilnya biar guru yang kasih nilai

    BalasHapus
  22. Anak memang harus diajarkan mandiri dari kecil ya, mba. Kita cukup mengawasi. Aku sering berpikir kalau Jasmine besar nanti bakalan over nggak ya. Karena sekarang saja tanpa sadar suka ngelarang ini-itu. :D

    BalasHapus
  23. Saya sendiri produk dari didikan yang apa-apa harus bisa dikerjakan sendiri. Mudah-mudahan saya bisa menerapkan pola didikan mandiri juga pada anak saya. Banyak memang orang tua model helikopter ini, apalagi nanti kalau pas masa bagi rapot tiba, wuih hebohnya liar biasa.

    BalasHapus
  24. Kebetulan anakku masih TK dan belum ada PRnya tapi sepanjang jaman sekolah aku dulu ya PR dikerjakan sendiri dengan pantauan orang tua sih. Dan dirumah sekarang pun aku membiasakan si anak mencoba membuat prakarya yang dibuat sebelumnya disekolah.

    Aku juga baru tau nih ada tipe orang tua helikopter, agak ngeri juga ya itu beberapa ciri2nya.

    BalasHapus
  25. Wah ternyata istilahnya orangtua helikopter ya yang over protektif begini, jadi khawatir nanti kelak anak nggak bisa mandiri huhu sedih..ayo semangat memperbaiki diri..

    BalasHapus
  26. salah satu proses nggak jadi ortu helikopter itu adalah berusaha menahan diri pake bangeeet untuk tidak memperbaiki tugas prakarya anak yang belepotan hehehee. makasih sharenya mbak dian, saya mendarat dulu #eh

    BalasHapus
  27. wkwkwk, lucu ya orangtua helikopter saya malah baru denger heu. ternyata begitu toh ortu helikopter pengen anaknya selalu sempurna tapi bukan dari diri sendiri hanya karena keinginan ortu heu. Kasian sih si anak nanti enggak mandiri, kalo ortunya udah enggak ada si anak gimana? duh semoga kita enggak jadi ortu helikopter untuk anak2 kita nanti ya. makasih bun sharingnya.

    BalasHapus
  28. Haha sebagian kena di aku sih terutama tugas bikin prakarya anak karena mang agak susah menurutku jadi perlu bantuan

    BalasHapus
  29. Artikelnya noted banget mbak.. terutama no 2 buat saya masih PR banget ni. Anak udah mau masuk SD masih disuapin, dimandiin, hadeh2. Sepertinya memang dari mamanya sendiri yang harus bener2 niat memandirikan anak ya..

    BalasHapus
  30. terkadang jadi helikopter, terkadang jadi panser...hihihi...

    BalasHapus
  31. Happy Parenting to raise a child.

    Iya banget niiih...
    Dari mulai melek, dilayani terus menerus. Bener-bener bikin mamak gak bisa bebas.
    Hahha~

    AKu baru belajar setelah anak kedua lahir, jadi lebih tegaan.

    In syaa Allah gak ada kata terlambat yaa..
    Dan alhamdulillah~
    Anak-anak bisa mandiri sedikit demi sedikit. Bikin mama bisa bernafas.
    Fyuuh~

    BalasHapus
  32. Wah baru dengar istilah ortu helikopter mba. Aku jadi inhat zaman aku sekolah sering dibantuin ortu bahkan mbahku ketika mengerjakan tugas khususnya prakarya yg emang aku kurang mahir bgt :( untungnya cuma dibantuin, bukan dikerjain semuanya hehe

    BalasHapus
  33. wahh aku ngga mampu malah mbak klo jadi ortu helikopter.. mgkin gara2 dulu kebiasaan apa apa sendiri tapi akhirnya kadang aku lupa kalau naufal masih terlalu kecil yang sering butuh tempat bermanja

    BalasHapus
  34. Baru tahu istilah ortu helikopter mba, inget dulu ibuku bantuin PR mewarnai aku waktu TK hahaha.. tapi ibuku cuma sebatas PR aja, kalau sisanya dari point-point tadi nggak dilakuin sih, karena masih ngurusin adik-adik juga hihi

    BalasHapus
  35. Bisa dipastikan saya bukan termasuk tipe prang tua helikopter hehehe...

    Karena saya lebih mengutamakan kemampuan anak, berapa pun nilainya. Kadang anak yag minta dibantuin, tapi saya selalu memberi alasan, kalau dia akan lebih bangga mendapatkan nilai dari hasil karyanya sendiri, berapa pun itu.

    Lihat dari pengalaman orang lain juga sih, ada yang bener-bener over protectif dan mengerjakan PR anaknya, malah kurang mendidik kalau menurut saya.

    BalasHapus
  36. Duh,masalah PR iki emang aku geregetan Mbak. Lha aku sama bapak e Najwa emang tipe hanya membantu, wegah nek kon membereskan tanggung jawab PR anak. Akhirnya ya gitu deh, anak sok berkecil hati krn merasa nilainya rendah dibanding teman-temannya. Tapi aku selalu bilang, semua hal kalau terus dilatih juga suatu saat akan bagus. Hasil kerja hari ini gak akan sama dengan besok, asalkan mau berlatih. Gpp skrg jelek, sapa tahu besok jadi baik. Ya awalnya berat, tapi kami tega demi dia bisa survive dan gak selalu mengandalkan orangtua

    BalasHapus
  37. Mba Dian, makasih sharing dan ilmu parentingnya kece banget. Iya nih aku dari kecil bisa dibilang lumayan dimanja dan semua serba ada, makanya pas mama meninggal berasa banget keilangannya. Mulai sekarang harus belajar ilmu parenting lagi demi kemandirian anak anak.

    BalasHapus
  38. Kalau PR atau tugas prakarya sih saya sudah tidak tergoda untuk membantu. Tapi kalau yang nyuapin makan, huhuu saya masih sering melakukannya. Si perjaka kecil kami itu kalau tidak disuapi lama makannya.
    Padahal ternyata gak bagus ya , mbak memposisikan diri kita sebagai orang tua tipe helikopter seperti itu. Thanks sharingnya

    BalasHapus
  39. Sudah tahu tipe ortu seperti itu tapi baru tahu kalau istilahnya adalah ortu helicopter :)
    Insya Allah sejauh ini saya berusaha ga seperti itu. Pun karena si sulung tipe yg ingin serba tahu, jadi maunya ngerjain apa2 sendiri.

    Trus kalau PR semacam prakarya atau menggambar gitu jarang, sih. Biasanya dikerjakan di sekolah. Pernah sih ada proyek melukis pot besar pakai sistem kelompok. Jadi dikerjakan bareng2 temannya, ortu ga ikut2.

    Insya Allah, keputusan dia untuk mondok selepas SD nanti juga bagian dari belajar kemandirian. Walau sudah membayangkan kangennya, saya tentram karena dia sendiri sudah menunjukkan kesiapannya.

    Thanks for sharing, Mbak :)

    BalasHapus
  40. Masya Allah, noted banget ini mbak. Saya pun masih tertatih melatih sifat mandiri ini ke anak-anak. Semoga kita semua dimudahkan oleh Allah dalam mendidik amanah dariNyA

    BalasHapus
  41. Hahaha... jadi inget ketika masih sekolah. PR saya banyak yang dikerjakan oleh ayah. Khususnya ketrampilan dan matematika.

    BalasHapus
  42. Jangan sampai terjadi, kasihan besarnya. Sudah terlalu banyak buktinya yang terjadi akibat type seperti ini

    BalasHapus
  43. Alhamdulillah saya bukan tipehelikopter, tapi terus memperbaiki diri sih, Sadar kalau masih banyak kekurangan

    BalasHapus
  44. Iya, PR prakarya anak2 sekarang banyak yang dibuatin orang tua, ya? Dan sepertinya guru pun mencoba tutup mata, walaupun dengan melihat hasilnya sebenarnya wajar bila mengundang tanya. Padahal zaman saya kanak2 dulu, kalau ada tugas gini semua dikerjakan sendiri, mulai cari bahan sampai pengerjaan. Bodo amat hasilnya belepotan, tapi murni karya si anak. Dan kita mengerjakannya pun dengan senang, dan bangga sama hasilnya.

    BalasHapus
  45. Alhamdulillah, aku jauh dari orangtua tipe helikopter. Sulung sudah dilatih mengerjakan ini itu sendiri. Sebagai anak laki-laki dan nantinya akan menjadi pemimpin, dia harus tumbuh lebih cepat. Bungsu sudah dipaksa untuk mengerjakan sendiri juga. Kadang masih agak manja karena dia baru lepas dari tengah transisi dari menjadi raja ke prajurit.

    Sekolah hanya punya satu PR, berupa LKS yang namanya Study With Parents. Jadi orangtua memang wajib mendampingi saat mengerjakan. Ini diberikan 4x per semester. Tapi tetap anaknya yang mengerjakan. Orangtua sebatas mengarahkan saja. PR lainnya sih hanya diminta membawa ini atau itu untuk nanti dikerjakan di sekolah. Jadi sama sekali memang nggak punya kesempatan membuatkan prakarya buat anak, wkwkwkwk ...

    BalasHapus
  46. Kalau dibaca semua ciri-ciri ini aku jadi inget mendiang ibuku masyaAlloh bener2 deh sampe aku waktu kegiatan kemah beliau ngutilin dari jauh dong mba wkwkwk aku ya jadi malu :p

    Dan untuk saat ini sih aku justru kebalikannya, PR karya juga aku bebasin anakku mau bikinnya awut2an terserah semenatar aku hanya bisa ngarahin atau menyediakan peralatannya

    BalasHapus
  47. Hihi baru dengqr mb Dian ada istilah ortu tipe helikopter. Kalau saya masuk gk yaa..?

    Ngaca dulu ahhhh...hehe...kyknya nggak masuk mb...Klau poin2nya sih saya kira semua ortu melakukan semua. Tapi eits porsinya gk segitu amat kyk tipe helikopter.

    Aq protektif pasti tp gk terlalu bnget, sdg2 aja skalian membelajari anak tanggung jwb dgn dirinya. Intinya sih tarik ulur gitu. Adakala narik adakalanya ulur sambil mmberi arahan yg positif jg mnjelaskn hal knp gk blh melakukan sesuatu dgn pnjelasan yg gmblang sesuai usia anak.

    Thx y mb info ttg ortu tipe helikopter. Hehe...

    BalasHapus
  48. Aku nih takut jadi helicopter parent karena aku merasa agak bossy dan controling hahahaha. Kadang emang harus mundur dan biarkan anak yang melakukan sendiri ya mbak

    BalasHapus
  49. Alhamdulilah aku gk begitu mba ,pas ankku yg pertama masuk SD jugak yah aku tu heran deh liat ibuk2 kan anknya cowo yah jd dsklh ankku tuh cowo cewe kelasnya dipisah masa tuh ibu2 msh nungguin anknya depan kelas ampun deh anakku mah tak tinggal hri pertama tuh tak tunggu bukan krna mau nungguin jd aku lg ribet beli buku paket maknya aku dsklh,trus anak ku yg kedua tahun ini kan msk TK A yah udah hari pertama aja aku tungguin besok2 yah udh anter jemput doank gk ada aku tunggu2in,paling ankku nih masalah makan ampun deh klo makan yg namnya nasi tuh susah bgt lain deh klo ngemil mah gk disuruh kerjaannya seharian bolbal buka tutup kulkas makanya aku klo mkan lbh srg aku suapin soalny klo makan sndri 3 jam jg gk habis2 nasi yah klo pasta mie mah makan sendiri doyan😆.mudah2an aku gk msk ortu helikopter deh soalnya harapan aku biar anak2 mandiri aku mau siapin semoga anak2 mau smp tak masukin pesantren disana kan hrs mandiri

    BalasHapus