Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jarik Gendong


Brrrrr…!! Angin menerpaku saat membuka pintu. Suhu dingin menyeruak masuk. Buru-buru kututup lagi. Kuurungkan niat mencari udara segar di halaman belakang. Kalau diteruskan, bukan segar lagi yang kudapati. Yang ada flu bakal mendera. Ini musim dingin pertama kali yang kualami di Metairie. Sebuah sub urban area dari kota New Orleans. Yang meski terletak di sisi Selatan benua Amerika, dan nyaris tak ada saljunya, tapi musim dinginnya bagiku sama saja. Sebagai orang yang lahir dan besar di daerah tropis, suhu pada kisaran 7-17 C, benar-benar sudah membuatku membeku. Hmmm, apalagi jika hidup di Antartika yang isinya es semua yaa… Bisa-bisa aku jadi es batu! Sambil senyum-senyum geli, kuhangatkan diri di ruang dalam yang dilengkapi pemanas ruangan. 


Jarik Gendong



“Oaaaa….,” tangisan si adik yang baru bangun tidur membuyarkan lamunanku.

“Iyaaa…,” segera beranjak naik tangga menuju lantai dua.

“Sayang,..sudah bangun yaa? Yuk, kita jemput Mas Adi!” kataku sambil meraih si bungsu.

Selalu saja pas waktunya. Saat dia bangun dari tidur siang, bersiap pula aku mengajaknya menjemput sang kakak. Kuambil jarik gendong yang terlipat di atas meja. Kuselempangkan di pundak kanan. Bagian belakangnya kutarik turun melewati punggung, ke arah pinggang kiri dan kulingkarkan ke depan badan. Hingga membebat tubuh bayiku yang berumur 5 bulan. Lalu, kubuat simpul pengikat di bahu kanan. Dan Aji pun terlihat nyaman bergelung dalam gendongan. Posisinya menggelayut hangat sembari tertawa riang. Aku kegelian melihatnya. Jadi macam kepompong saja dia. Setelah memastikan kami berdua hangat, barulah aku melangkah keluar dari apartemen.

Tonti Apartemen, tempat tinggalku di sini. Sebuah apartemen dengan deretan bangunan berbentuk persegi yang mengelilingi sebuah kolam renang di bagian tengahnya. Tiap sisi terdiri dari enam unit. Masing-masing unit berlantai dua dan memiliki dua kamar tidur, dapur, ruang keluarga, kamar mandi, ruang cuci serta halaman belakang. Di bagian depan unit, ada halaman yang dimiliki bersama, sebagai tempat anak-anak bermain di luar. Sementara di bagian depan apartemen, tersedia lahan parkir dengan jatah satu lot untuk masing-masing penyewa unit. Benar-benar sebuah hunian yang nyaman. Jauh sekali dari pengertian “apartemen” yang selama ini kubayangkan. Yang kutahu di Jakarta, bangunan apartemen itu menjulang setinggi puluhan lantai, terdiri dari ratusan unit dan dihuni oleh ribuan orang. Beruntungnya aku, di rantau ini, bisa tinggal di apartemen yang masih memiliki privasi hingga merasa seperti tinggal di rumah sendiri.

Di sini, setiap pagi dan sore, aku mengantar dan menjemput Adi, anak sulungku berangkat ke sekolah. Tapi, tak perlu jauh-jauh ke tempatnya. Hanya dengan berjalan kaki saja ke apartemen sebelah, tepatnya di tempat pemberhentian bus sekolah. Sekitar pukul 07.30 pagi bus sudah sampai di situ. Belasan anak yang tinggal di lingkungan sini dan bersekolah di tempat yang sama akan menaikinya. Sore sekitar pukul tiga, bus akan mengantar pulang anak-anak di tempat semula. Jadi orang tua tak perlu repot antar jemput sendiri anaknya seperti di Jakarta. Meskipun begitu, saat pertama kali melepas Adi yang masih TK untuk berangkat sendiri, aku merasa khawatir sekali. Karena di Indonesia, tak biasanya anak seusia dia berangkat ke sekolah sendiri. Memang di negeri ini kemandirian sudah ditanamkan sejak usia belia. Tapi, lambat laun kecemasanku pun pudar. Aku lihat anakku malah terlihat senang pergi dan pulang sekolah naik bus bersama teman-temannya.

“Hi!” kusapa beberapa ibu penjemput yang sudah menunggu lebih dulu di halte.

“Hi!” ada yang membalas, ada pula yang tersenyum.

“Nice baby sling!” komentar Mama Mahail yang anaknya sekelas dengan Adi di Kindergaten. Dia rupanya memuji jarik gendong yang sedang kupakai.

“Thank you!” sambutku tersipu.

Jarik gendong yang kupakai menggendong Aji adalah sehelai kain yang lampai, sempit dan panjang. Ukurannya sekitar dua kali satu meter. Pas untuk membuai bayi dalam dekapan saat ingin menidurkan, menyuapi, menyusui, menenangkan atau membawanya bepergian. Meski ada berbagai jenis kain gendongan, dan memilikinya juga, aku merasa lebih nyaman memakai jarik gendong ini. Hingga ada empat buah yang kubawa serta ke Amerika.

Aku dan suamiku serta dua anak kami, sampai di sini sejak tiga bulan lalu. Suamiku mendapatkan bea siswa untuk program MBA dari kantornya. Keluarga diperbolehkan ikut serta. Jadilah, aku yang baru saja melahirkan secara sesar, bersama anak-anak ikut berangkat mendampinginya. Saat itu bayiku belum genap berusia dua bulan. Sedangkan, kakaknya jalan lima tahun. Masih terbayang, pulasnya si Aji dalam dekapanku dengan berjarik gendong, selama sekitar 30 jam perjalanan sampai ke tujuan. Untunglah aku memberinya ASI yang membuat dia anteng sekali. Aku jadi tak kerepotan menyiapkan apa-apa saat dia kelaparan.

Selama di perjalanan, beberapa orang melihatku dengan heran. Karena memakai kain gendongan tradisional yang memang tak biasa. Ada pula yang nampak kagum pada kain jarik yang kupakai menggendong bayi, juga caraku mengenakannya. Bagiku sendiri, jarik gendong ini unik dan klasik.

“Jarik itu berasal dari ungkapan aja gampang serik yang berarti jangan mudah iri atau sirik, Nduk,” tutur Ibuku dulu.

Tangannya yang lembut sambil membalurkan pilis di sekitar keningku. Waktu itu, aku baru saja melahirkan anak pertamaku. Rasa hangat langsung menjalari kepalaku. Pilis, ramuan bahan alami yang terdiri dari kunyit, ganthi, kenanga, kencur dan peppermint, yang berkhasiat mengurangi rasa pusing dan melancarkan peredaran darah.

“Jarik menjadi pengingat diri bagi si pemakai akan sifat iri dan dengki yang semestinya dijauhi. Karena sifat iri bisa menimbulkan rasa marah yang membuat kita terburu-buru saat menyelesaikan masalah. Pengguna jarik hendaknya bertindak lembut dan hati-hati dalam tutur kata dan perilaku. Seperti kehati-hatian berjalan saat mengenakan jarik sebagai baju bawahan.”

“Wah, filosofi yang indah!” seruku kagum.

“Tapi sebenarnya jarik kan nggak cuma dipakai sebagai bawahan, nggih Bu?”

“Iyo, Nduk! Jarik kui dalam budaya Jawa, melekat sejak lahir sampai saat maut menjemput. Bermula ketika menghirup napas pertama di dunia, jarik menjadi alas tidur dan gendongan bayi. Hingga jarik akhirnya menutupi jasad sebelum masuk ke liang kubur. Jarik itu punya peran istimewa yang sarat makna. Termasuk jarik gendong kang kebak piwulang,” jelas Ibu panjang lebar sambil mengoleskan param di kakiku.

“Meski kini, banyak ibu yang enggan memakai kain gendongan karena lebih suka pakai dorongan. Mereka lupa kalau dengan menggendong itu, kehangatan dan kedekatan batin ibu dengan anak akan terjalin erat. Apalagi pakai jarik gendong seperti ini. Ukurannya sempurna untuk menyangga tubuh bayi. Kainnya adem, membuatnya nyaman tak kepanasan. Bentuknya ringkas hingga mudah dibawa dan cepat kering saat dicuci!” lanjut Ibu lagi.

“Jarik gendong motifnya beda dengan jarik biasa, nggih, Bu!” Sambutku sambil merem melek keenakan dengan pijatan Ibu. Param yang mengandung jahe, kencur, klabet dan sereh memang manjur meredakan rasa pegal yang kurasakan seusai melahirkan.

“Iyo, beda! Kalau jarik gendong, ada motif garis berbentuk pagar di ujung kain. Itu makna hujan dan kesuburan. Harapannya, kelak bayi dalam gendongan akan hidup dalam kesejahteraan. Lalu, motif gambarnya ada bunga, naga, ikan, kupu-kupu atau burung. Bunga itu lambang keindahan, burung mewakili kebebasan dan kebahagiaan, kupu-kupu melambangkan cinta dan kasih sayang, ikan dimaknai sebagai generasi penerus dan naga sebagai lambang keberuntungan. Semuanya untuk menggambarkan kalau dunia anak-anak itu bahagia, cerah dan indah. Itulah sebabnya jarik gendong berwarna cerah seperti merah, kuning, hijau atau ungu. Dan, tak pernah berwarna gelap atau kelabu!” Ibu melanjutkan sambil meratakan tapel, krim yang mengandung sirih, jahe, jeruk nipis dan kayu putih di perutku. Krim ini akan mengurangi rasa sakit di perut dan membantu mengencangkan kembali perutku yang kendor sehabis melahirkan. Dan terakhir, Ibu akan membantuku memakai bengkung.

Satu hal yang paling membuatku bersyukur adalah, saat melahirkan bisa ditunggui dan dirawat oleh Ibu. Menjelang melahirkan, kami berdiskusi banyak hal tentang perawatan pasca melahirkan dan pengasuhan anak. Banyak saran Ibu yang kujalankan, meski ada juga yang kutinggalkan karena bertentangan dengan nasihat dokter.

Hingga kini, meski jauh di negeri orang, beberapa tradisi yang diajarkan Ibu masih kuikuti. Seperti tetap setia memakai jarik gendong. Posisi menggendong dengan bayi di bagian depan benar-benar menciptakan keintiman antara aku dan bayiku lewat degup jantung yang kami rasakan.

Seperti saat ini. Sejak pagi si Aji rewel sekali karena sedang demam. Meski sudah kuminumi obat penurun panas, dia masih menangis saja. Sampai tengah malam aku masih menggendongnya agar dia tetap terlelap. Setiap kubaringkan, dia menangis lagi. Entahlah, sepertinya ada gigi yang mau tumbuh. Aku menenangkannya sambil mendendangkan sebuah tembang Jawa yang dulu sering kudengar dari Ibu saat menimang cucu-cucunya.

Tak lela lela lela ledhung, Cup meneng aja pijer nangis,

anakku sing bagus rupane, Yen nangis ndak ilang bagus e

Tak gadhang bisa urip mulya, Dadiya satriya utama

Ngluhurke asmane wong tuwa, Dadiya pandekare bangsa

Wis cup meneng o anakku, Kae mbulane ndadari

Kaya buto nggegilani, Lagi nggoleki cah nangis

Tak lela lela lela ledhung, Cup meneng anakku cah bagus

Tak emban slendhang bathik kawung, Yen nangis mundhak Ibu bingung



“Sayang, bangun…!” suara lembut suamiku membangunkanku.

Ternyata aku tertidur semalaman di sofa dengan Aji masih dalam gendongan. Kuraba dahinya, syukurlah sudah reda demamnya.

“Maaf ya, aku nggak temani kamu kemarin. Pagi ini ada presentasi di kampus. Itu aku sudah bikin teh dan roti bakar,” lanjutnya.

“Iya, nggak apa-apa. Trims ya. Aku mau baringkan Aji dulu!”

Setelah mengantarkan Adi naik bus sekolah, aku mengemasi pakaian kotor dan memasukkannya ke mesin cuci. Aji masih terlelap. Aku merasa meriang setelah begadang semalaman. Tapi rumah yang berantakan setelah seharian kemarin tak sempat kupegang, sudah menungguku. Setelah mesin cuci berhenti, kupindahkan cucian ke mesin pengering. Adanya dua mesin ini membantuku sekali. Apalagi dengan dua anak kecil yang pakaiannya cepat sekali kotor. Mesin yang membuat pakaian langsung kering tanpa perlu dijemur ini benar-benar meringankan pekerjaanku.

Saat akan melipat pakaian yang sudah kering, kulihat jarik gendong di tumpukannya. Aku ambil dan kuselimutkan badan. Rasa letih menderaku. Aku jadi ingat Ibu. Aah, dua anak saja sudah membuatku mengeluh! Sedangkan Ibu dengan enam anak tak pernah kulihat pelik. Semua bisa diurusnya dengan apik. Padahal Ibu berjuang sendiri membesarkanku dan saudara-saudaraku karena Bapak meninggal saat aku masih kecil. Ya Tuhan, ampuni aku! Betapa kurang bersyukurnya aku atas semua nikmat-Mu. Hhh, ternyata begitu banyak yang masih harus diperbaiki oleh diri ini. Aku bergumam sendiri sambil menghangatkan diri dengan jarik gendong. Meringkuk di sofa dan memejamkan mata. Kenangan masa kecil berhamburan. Ingatan samar akan kehangatan pelukan Ibu. Membayangkan alunan tembang saat dininabobokan diiringi timang-timang sayang. Juga harapan dan doa yang mungkin Ibu senandungkan saat aku nyaman dalam gendongan.

Tak lela lela ledhung, Cup meneng aja pijer nangis, Anakku sing ayu rupane, Yen nangis ndak ilang ayune, Dak gadhang bisa urip mulya, Dadiya wanita utama, Ngluhurke asmane wong tuwa, Dadiya pendekare bangsa…

Dan kini, aku ingin mengeja ulang harapan dan doa yang sama untuk anak-anakku. Semoga!

*** 

jarik gendong
Ibu Iriana Jokowi menggendong cucunya menggunakan jarik gendong (dream.co.id)

keterangan:

baby sling : gendongan bayi / kui : itu / kebak piwulang : banyak pelajaran / bengkung : kain panjang pembebat perut

“tak lela lela ledung, diamlah anakku jangan menangis terus, anakku yang ganteng/cantik, kalau nangis hilang ganteng/cantiknya.”

“kudoakan bisa hidup mulia, jadilah laki-laki/wanita utama, mengharumkan nama orang tua, jadilah pahlawan bangsa.”

“sudah diamlah anakku, lihatlah bulan purnama itu, seperti raksasa menakutkan, sedang mencari anak yang menangis.”

“ tak lela lela ledung, cepat diamlah duhai anakku yang ganteng/cantik, kugendong dengan selendang batik kawung, kalau menangis Ibu jadi bingung.”

Cerpen ini saya tulis beberpa tahun lalau, daripada berdebu di file, ditayangkan saja di blog 




Stay Home-Stay Happy

signature-fonts
Dian Restu Agustina
Dian Restu Agustina Hi! I'm Dian! A wife and mother of two. Blogger living in Jakarta. Traveler at heart. Drinker of coffee

2 komentar untuk "Jarik Gendong "

  1. Kadang dengan ngikutin nasehat atau arahan ortu sangat membantu juga secara psikologis ya. Kita merasa ortu kita ada di dekat kita utamanya saat2 lagi krisis.


    Btw saya mupeng banget ngajak keluarga ke LN euy. Keren mb Dian pengalamannya bersama keluarga

    BalasHapus
  2. mba diannn aku padamuuu...ya Allah kalau aq jd mba dian blm tentu bs mandiri tgl di negeri orang hiks

    BalasHapus