Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cek Fakta Dulu, Baru Percaya!

Temans, sejak kapan hari saya menarik diri dari media sosial. Biasanya saya aktif update status pun rutin berinteraksi di sana sebagai ganti silaturahmi yang secara fisik tak bisa dilakoni terlebih setelah pandemi. Tapi, karena medsos kini bukannya bikin happy malah bikin pusing sendiri, ya sudah, mending melipir dulu saja.

Gimana saya enggak minggir coba, hoaks bertebaran dimana-mana. Terutama informasi seputar kesehatan yang masif bermunculan di saat suasana sekitar sedang ambyar! Bikin bingung dan sulit membedakan mana yang salah dan mana yang benar. Sementara terus-terusan info itu tersebar, dibagikan orang yang berbeda tanpa tahu darimana sumber aslinya.

Sebut saja info tentang susu berkemasan gambar beruang - dengan iklan naga, yang kabarnya dapat meningkatkan kekebalan tubuh dan menyembuhkan diri dari serangan virus Covid-19 ini, yang membuat orang pun berebut membeli.

Begitu mudahnya orang percaya tanpa adanya fakta. Nyatanya susu tersebut serupa dengan kebanyakan merk lainnya, susu murni yang mengandung 100% susu sapi. Padahal untuk meningkatkan imunitas tubuh tidaklah cukup jika hanya mengonsumsi susu saja. Karena diperlukan juga asupan makanan bergizi lainnya, aktivitas fisik untuk meningkatkan kebugaran, mengelola stres dan taat pada protokol kesehatan. Demikian disampaikan beberapa ahli terkait info ini. 

Nah, menyoal hoaks yang berkeliaran khususnya perihal kesehatan, sebenarnya ada cara untuk cek fakta tentang kebenarannya. Sehingga, jika kita sudah tahu mana yang benar, fakta ini bisa kita sebar. 


Tapiii, Apa Sebenarnya Penyebab dan Dampak Hoaks Ini?


Adalah Mbak Ika Ningtyas, Pemeriksa Fakta Tempo yang mengampu Workshop Cek Fakta Kesehatan - yang diadakan oleh Learning Management System (LMS) Tempo Institute, bermitra dengan Facebook, yang saya ikuti pada 16-17 Juni 2021 lalu, yang menjelaskan bahwa: "Tingginya penetrasi internet secara global dan di Indonesia saat ini menyebabkan sirkulasi hoaks semakin cepat!"

Ini didasarkan pada data per Januari 2020 yang mana dari 272,1 juta populasi, ada 338,2 juta yang terkoneksi dengan mobile phone, sejumlah 175,4 juta adalah pengguna internet dan sebanyak 160 juta jiwa aktif di media sosial. Data ini menjadikan Indonesia sebagai pengguna internet keempat terbesar di dunia. Padahal tingkat literasi Indonesia hanya menempati urutan ke-70 di dunia. 

Ini artinya ada banyak orang Indonesia berkerumun di internet (lebih dari separuh populasi) dan terpapar oleh beragam informasi tanpa literasi yang memadai. Menyebabkan pengguna internet belum bisa membedakan informasi.

 







Enggak itu saja, polarisasi karena politik juga menjadi sebab sirkulasi hoaks menjadi lebih cepat. Fanatisme berlebihan pada kelompok, calon, atau ideologi tertentu merupakan penyebab mengapa orang mudah termakan hoaks. 

Teman-teman masih ingat kan, keriuhan pemilihan presiden pada tahun 2014 silam? 

Nah, fanatisme pada calon presiden idaman menjadikan hoaks ramai bertaburan. Lalu, berlanjut saat Pilgub DKI 2017 saat Ahok bertarung melawan Anies Baswedan, kemudian hoaks di Pilpres 2019 dan puncaknya pada hoaks kesehatan saat pandemi dari 2020 hingga kini.

Etapi, sebenarnya mengapa sih sebagian dari kita mudah termakan hoaks? Ternyata karena:

  1. Terlalu mengagungkan atau membenci seseorang
  2. "Kelompok seberang" tidak layak dipercaya
  3. Sering muncul di linimasa sama dengan "benar" (gelembung filter)
  4. Bias perasaan

Nah, Mbak Ika yang juga Trainer Cek Fakta AJI_Google News Initiative ini, kemudian mengingatkan kami para blogger peserta workshop, akan kejadian-kejadian di mana hoaks mampu membutakan mata dan hati sehingga berakibat fatal, diantaranya:

Massa membunuh orang di India berdasarkan rumor palsu yang disebarkan melalui WhatsApp. Di mana lebih dari selusin orang telah dibunuh pada Mei 2018 oleh massa yang diyakinkan oleh pesan-pesan bahwa orang-orang yang mereka gantung bersalah atas perdagangan anak, pengambilan organ atau tindakan mengerikan.

Sementara, di Indonesia ada juga kejadian di awal pandemi, hoaks rumah sakit dan dokter meng-COVID19-kan pasien diikuti dengan intimidasi terhadap tenaga medis yang terjadi di antaranya saat warga Surabaya terekam mengambil paksa jenazah positif Covid dan nekat buka peti. Juga petugas medis di Sragen yang diintimidasi sehingga Bupati minta polisi ikut turun tangan dan usut tuntas kasusnya.




Nah, pada hoaks yang menyebar ini, ternyata ada berbagai tujuan di baliknya, yakni:

  • Jurnalisme yang lemah
  • Buat lucu-lucuan
  • Sengaja membuat provokasi
  • Partisanship (keberpihakan)
  • Cari duit lewat judul clickbait (menjual)
  • Gerakan politik 
  • Propaganda

Oia, hoaks sendiri terbagi atas 3 jenis, yaitu:

Malinformasi
Memenggal atau menyebarkan fakta obyektif tetapi dikemas sedemikian rupa sehingga merugikan pihak lain dalam kondisi tertentu. Misalnya: adanya kebocoran data pribadi pada aplikasi pinjaman online yang merugikan mereka yang tak ada sangkut pautnya dengan pinjaman tersebut.

Misinformasi. 
Ketika seseorang mendapatkan informasi dan belum tahu apakah itu benar atau tidak tapi sudah yakin bahwa itu penting kemudian memutuskan menyebarkannya. Contohnya: "dapat dari grup sebelah"

Disinformasi
Pembuat hoaks tahu bahwa informasi yang diciptakannya salah dan sengaja menyebarkannya. Misalnya: info terkait Covid-19 yang bisa disembuhkan dengan terapi ini atau itu yang "sengaja dibuat" dan disebarkan.

Kemudian, mis/disinformasi ini sendiri, menurut standar First Draft - sebuah organisasi riset yang berfokus untuk media di Amerika Serikat, terdiri dari tujuh macam, meliputi:

  1. Satire/Parodi: konten yang dibuat untuk menyindir pada pihak tertentu, dibuat sebagai bentuk kritik terhadap personal maupun kelompok dalam menanggapi isu yang tengah terjadi.
  2. Konten Menyesatkan (misleading): konten sengaja dibuat menyesatkan untuk membingkai sebuah isu atau menyerang individu. Beritanya "dipelintir" untuk menggiring opini sesuai kehendak pembuat informasi.
  3. Konten Aspal: sebuah informasi mencatut pernyataan tokoh terkenal dan berpengaruh atau bisa berbentuk konten tiruan dengan cara mendompleng ketenaran suatu pihak atau lembaga.
  4. Konten Pabrikasi: konten ini dibentuk dengan kandungan 100% tidak bisa dipertanggung-jawabkan secara fakta.
  5. Enggak Nyambung: judul yang berbeda dengan isi berita, biasanya diunggah demi memperoleh keuntungan berupa profit atau publikasi berlebih dari konten sensasional.
  6. Konteksnya Salah: memuat pernyataan, foto, atau video peristiwa yang pernah terjadi pada suatu tempat, namun secara konteks yang ditulis tidak sesuai dengan fakta yang ada.
  7. Konten Manipulatif: konteks aslinya dihilangkan lalu disebar. Akibatnya, orang menangkap informasinya di luar konteks sebenarnya

Contoh: Satire/Parodi

Contoh: Konten Menyesatkan

Contoh: Konten Aspal

Contoh: Konten Pabrikasi

Contoh: Enggak Nyambung

Contoh: Konteksnya Salah

Contoh: Konten Manipulatif


Well, dampak hoaks bagi masyarakat antara lain dampak polarisasi seperti yang terjadi pasca Pilpres 2014/2019, kebencian berbasis SARA, dampak bagi penanganan bencana, dan penanganan pandemi Covid-19.

Di mana salah satu sumber informasi palsu dan menyesatkan adalah situs abal-abal yang memproduksi informasi semata-mata demi uang! Kabar buruknya, menurut Menkominfo ada 900 ribu situs penyebar hoaks!

Lalu, Bagaimana Mengenali Situs Abal-abal Itu?


Berikut tips-tips untuk mengidentifikasi situs abal-abal, diantaranya:

1. Cek Alamat Situs

Cek alamat situsnya jika meragukan. Lakukan pengecekan melalui sejumlah situs, salah satunya: who.is dan domainbigdata.com. Biasanya situs abal-abal cuma beralamat di blogspot (gratis) tanpa kejelasan siapa pemiliknya.

Misalnya: saat kita cek alamat situs tempo.co semua informasi siapa di balik situs ini jelas dan lengkap ada.




2. Cek Perusahaan Media di Dewan Pers

Lakukan pengecekan perusahaan media melalui direktori Dewan Pers. Pengecekan ini bisa melalui https://dewanpers.or.id/data/perusahaanpers. Jika sudah terdaftar maka bisa kita yakini kredibilitasnya. Tapi perlu diketahui, ada beberapa media kredibel yang tidak berbadan hukum.

3. Cek Detail Visual

Misalnya gambar logonya jelek, hasil editing, atau menyaru mirip-mirip situs media mainstream.

4. Waspadai Jika Terlalu Banyak Iklan

Hati-hati dengan website yang banyak iklannya. Media abal-abal sekadar mencari click untuk mendapatkan iklan agar beroleh keuntungan. Motto mereka: pageview+iklan lebih utama daripada kualitas+kebenaran kontennya.

5. Bandingkan Ciri-ciri Pakem Media Mainstream

Bandingkan sejumlah ciri yang menjadi pakem khas jurnalistik di media mainstream. Misalnya, nama penulisnya jelas, cara menulis tanggal di badan berita, hyperlink-nya yang disediakan mengarah ke mana, narasumbernya kredibel atau tidak, dan lainnya. Sementara pada media abal-abal, informasi semacam ini enggak disebutkan.

6. Cek About Us

Cek "About Us" yang ada di laman situs media. Media abal-abal selalu anonim. Sedangkan media yang terpercaya akan menampilkan informasi seputar identitas mereka dengan jelas pada menu ini, misalnya: dewan redaksi, alamat, dan sebagainya.
  • Sesuai UU Pers mestinya sebuah media itu berbadan hukum dan ada penanggung jawabnya. Cek saja, ada alamat yang jelas dan siapa saja orang-orangnya.
  • Mencantumkan Pedoman Pemberitaan Media Siber.



7. Waspada Terhadap Judul yang Sensasional

Hati-hati jika menjumpai berita dengan judul-judul yang terlalu sensasional. Baca beritanya sampai selesai. Jangan cuma baca judul lalu komen di medsos. Pasalnya, judul yang lebay bin sensasional ini bertujuan orang tertarik membaca, sehingga orang akan mudah percaya hanya dari judulnya saja.

8. Cek ke Situs Media Mainstream

Untuk memastikan apakah informasi yang dimuat sebuah situs non-mainstream layak dipercaya atau tidak, bisa mengeceknya ke situs media mainstream. Jika ada, bandingkan bagaimana situs mainstream melaporkan. Selain itu penting melakukan verifikasi untuk memastikan sumber pertama dan melihat konten aslinya.

9. Cek Foto di Google Reverse Image

Cek foto utama di Google Reverse Image, apakah pernah dimuat di tempat lain, terutama di situs mainstream. Pasalnya, situs abal-abal biasanya selalu mencuri foto dari tempat lain. 

Kemudian, Kalau Cara Memverifikasi Foto Bagaimana?


Caranya:

Crop fotonya agar kita bisa menganalisa. Lalu, coba perhatikan tanda-tanda khusus yang bisa diidentifikasi antara lain nama gedung, toko, bentuk bangunan, plat nomor kendaraan, nama jalan, huruf-huruf yang menandakan bahasa, tugu atau monumen, dan bentuk jalan. Adakah di antaranya yang bisa jadi petunjuk pencarian. Utamakan sumber foto pertama karena itulah yang paling absah untuk diyakini kebenarannya.

Oia, beberapa tools yang bisa digunakan untuk memverifikasi foto di antaranya:

  • Reverse Image dari Google bisa digunakan untuk mencari unggahan foto pertama pada sebuah website. Tools ini berguna untuk menelusuri foto-foto yang diambil dari internet.
  • Reverse image dari Yandex. Yandex adalah sebuah search engine dari Rusia yang sangat bagus untuk penelusuran foto, terutama untuk mengeksplorasi situs-situs dari Eropa Timur.
  • Reverse image dari Tineye bisa digunakan untuk penelusuran foto dengan kelebihan memiliki filter berdasarkan urutan waktu.
  • Alternatif tools lainnya adalah Bing.com milik Microsoft dan Baidu.

Seperti foto di bawah ini? Coba tebak ini peristiwa di negara mana? Apa yang jadi petunjuk teman-teman menyimpulkan demikian?


Lalu, Bagaimana Cara Memverifikasi Video?


Nah, ada dua langkah untuk memverifikasi video:

1. Menggunakan kata kunci di mesin pencari atau di media sosial (Youtube, Facebook, Twitter, IG)

Ketika teman-teman mendapatkan video di media sosial, tonton dan dengarkan video tersebut sampai habis. Kemudian, cari petunjuk di dalam video seperti bentuk bangunan, rambu-rambu jalan, plat nomor kendaraan, nama-nama jalan, nama-nama bangunan, dan lain-lain. Dengarkan juga audionya, terkait bahasa, obrolan orang-orang dalam video atau dialeknya. Apabila teman-teman menemukan petunjuk-petunjuk di dalam video, gunakan itu sebagai kata kunci. 

Misalnya, pada akhir Januari beredar video yang diklaim suasana pasar hewan di Wuhan, yang dianggap sebagai asal-usul menyebarnya virus Corona jenis baru. Dalam detik ke-15, terlihat papan nama kantor yang tertulis “Kantor Pasar Langowan”. Setelah ditelusuri di Google, Pasar Langowan ternyata terletak di Tomohon, Sulawesi Utara.



2. Memfragmentasi video menjadi gambar lalu menggunakan reverse image tools

Cara kedua adalah dengan menjadikan video menjadi potongan gambar lalu ditelusuri dengan reverse image tool. Untuk memfragmentasi video menjadi gambar bisa menggunakan cara manual dengan screen capture atau menggunakan tool InVID.

InVID memiliki beberapa keunggulan yakni memiliki fitur fragmentasi video dan reverse image tool sekaligus, dapat memfragmentasi video dari seluruh tautan media sosial dan file lokal dan dilengkapi fitur lain seperti memeriksa metadata dan analisis forensik foto.

Jadi, Bagaimana?


Semoga teman-teman makin tercerahkan akan cara cek fakta sebuah berita ya? Sehingga tak lagi asal percaya apalagi menyebarkannya. Oia, khusus untuk cara cek fakta kesehatan, saya tulis terpisah di sini.

Well, sejak pandemi Covid-19 melanda, arus informasi bergerak begitu cepat, terutama di dunia digital. Sayangnya tidak semua informasi tersebut valid dan akurat. Informasi yang salah akan semakin menambah rumitnya penanganan pandemi Covid-19. Maka diperlukan keterlibatan publik dalam mengatasi mis/disinformasi terutama terkait info kesehatan sangat penting. 

Kita semua yang secara aktif berinteraksi di dunia digital dapat berperan sebagai "komunitas anti hoaks". Mari kita perangi hoaks! Yuk, cek fakta dulu, baru percaya!💖



Salam Semangat

signature-fonts
Dian Restu Agustina
Dian Restu Agustina Hi! I'm Dian! A wife and mother of two. Blogger living in Jakarta. Traveler at heart. Drinker of coffee

25 komentar untuk "Cek Fakta Dulu, Baru Percaya! "

  1. Bener banget, Mba.. 4 ciri orang mudah termakan hoax tuh kebanyakan yang terlalu mengagungkan seseorang, jadi kadang suka buta dengan kebenaran berita.

    BalasHapus
  2. ini nih, kadang kalau kita mau baik share info ttg itu hoax dan bukan real malah jd dibilang sotoy. padahal sekarang cek berita tu mudah banget ya. cuma ya gitu skrg media juga banyak yg nakal dan berita aneh2 dipotong gt lah.

    BalasHapus
  3. Hoax makin serem ya...dan seremnya lagi ada aja yang percaya. Padahal semuanya bisa dicek dulu kebenarannya..

    BalasHapus
  4. Aku jadi tau deh sekarang, ternyata ada 3 macam informasi yang beredar di masyarkaat. Misinformasi, disinformasi dan malinformasi :) Semua kayaknya berseliweran deh hehehe apalagi via WAG duuuuuhhh buanyaaaak pisan. Kudu dicek faktanya dulu deh jangan asal forward ya :D

    BalasHapus
  5. Makin banyak bergaul di medsos ya makin banyak info misinformasi, disinformasi dan malinformasi. Kudu tihati untuk cek keberanannya melalui situs resmi yah

    BalasHapus
  6. Ada banyak cara buat cek fakta suatu informasi, dan langkahnya cukup panjang. Meski terkesan ribet, tapi penting banget dilakukan ya mbak.

    Hoax ini mulai marak sejak media sosial populer digunakan oleh masyarakat Indonesia karena sifatnya yang memungkinkan akun anonim untuk berkontribusi. Sudah semestinya, adanya kemajuan teknologi informasi, diiringi kemajuan literasi.

    BalasHapus
  7. Berita-berita clickbait yang menggoda juga perlu diwaspadai ya mam, salah satu ciri hoax. Apalagi hoax kesehatan, efeknya mengerikan. Banyakin konten baik untuk memerangi hoax dan mengedukasi masyarakat.

    BalasHapus
  8. Memang mengkhawatirkan ya, Mbak, Indonesia sebagai pengguna internet keempat terbesar di dunia tetapi tingkat literasinya hanya menempati urutan ke-70 di dunia. Jadi masih sering ditemukan informasi hoax yang beredar. PR besar untuk terus mengedukasi masyarakat supaya cerdas literasi

    BalasHapus
  9. Yang miris memang karena beritanya terus menerus ditampilkan, sering muncul di linimasa (gelembung filter) dan diblow up sambil dikasih bumbu rendang, pedes .....

    BalasHapus
  10. Parah banget sih dampak hoax. Bisa sampai nyawa taruhannya. Makanya penting juga untuk meningkatkan kesadaran di dunia digital. Terus lakukan cek dan ricek sebelum sebar informasi

    BalasHapus
  11. Sekarang tuh, baca judul aja sudah langsung percaya. Zaman canggih tapi kadang gak didukung sama kemampuan literasi. Asal share padahal hoax. Kesel banget. Tapi ya kita harus tetap edukasi mereka

    BalasHapus
  12. supaya enggak bingung dengan berita hoax atau fakta, aku membatasi informasi yang masuk. Enggak terus-menerus main HP malah jadi panik. Bukan apatis yah tapi jaga kewarasan diri juga karena hoax itu banyak banget apalagi via WA yang mudah untuk diteruskan.

    BalasHapus
  13. Miris banget nih orang gampang percaya hoaks kesehatan yang nggak jelas yang beredar di WAG asal ikut saja misalnya minum vitamin C dosis tinggi hingga semaput, bisa membahayakan nyawa kan ya

    BalasHapus
  14. Edukasi seperti ini sangat penting ya mba. Soalnya di rumahku banyak bener yang suka share informais yang kebenarannya diragukan. Makasih sudah berbagi

    BalasHapus
  15. Memang saat seperti ini kemampuan cek fakta itu penting ya mbak, karena pandemi jumlah hoaks yang beredar makin banyak
    bahaya klo kiya sampai kena jebakan hoaks ya mbak

    BalasHapus
  16. ngeri ya mbak, teknologi makin canggih dampaknya berita hoaks pun merajalela. terutama di masa pandemi ini yaa.bikin puyeng kalau udah masuk wag, banyak banget konten berita yang bikin takjub dan geleng-geleng kepala. moga dengan edukasi cek fakta ini masyarakat jadi lebih aware pada konten berita yang sesat

    BalasHapus
  17. Aku sempat parnoan mbak di awal-awal pandemi baca berita isinya buat takut gitu karena ga tau kebenaran beritanya, hoax di mana-mana.
    Nah kemarini nih tanteku isoman juga keukeuh banget loh maunya susu yang itu sampai anaknya kebingungan deh cari-cari.
    Untungnya kemarin ini ikutan kelas untuk tau bagaiaman cara cek fakta jadi bisa ikutan mencari kebenaran dari sebuah berita. Biasanya sih aku ga pernah membagikannya lagi.

    BalasHapus
  18. Iyes bener, sekarang mah kalo nerima kabar baru, jangan langsung percaya, apalagi langsung nyebar-neybarin. Tapi harus cek faktanya dulu. Bahaya ya hoax zaman sekarang. Bikin pandemi semakin berlarut-larut deh ih. Semoga dengan banyaknya tulisan tentang Cek Fakta, hoax-hoax bisa ditangkal.

    BalasHapus
  19. Memang harus telaten ya Mbak untuk cek kebenaran berita/foto/video. Tapi semoga akan semakin banyak yang teredukasi mengenai hal ini. Ngeri banget sekarang hoaks tersebar di mana-mana. Bahkan pengajar/pendidik di lingkungan sekolah/kampus pun masih banyak yang sering termakan hoaks. Padahal betapa besar pengaruh mereka pada orang lain :(

    BalasHapus
  20. Wah iyaa..
    Banyak masyarakat yang mudah sekali terprovokasi dengan beredarnya berita-berita hoax. Terutama yang topiknya panas. Jadi bolak-balik digoreng sana-sini, sehingga makin jauh dari kenyataan.

    Cek fakta ini penting banget.
    Jadi tahu bagaimana langkah-langkahnya.

    BalasHapus
  21. Ya sih..kecewa baca berita..yang ternyata cuma dibuat2 karena terlalu benci atau terlalu cinta..jadi mengada2..dan banyak pula yg ikut ngeshare tanoa disaring..sehingga banyak lula yang percaya.

    BalasHapus
  22. Berita satire ini riskan banget loh. Emang kalau gak paham bisa jadi naik darah, terprovokasi. Di grup ibu-ibu RT di lingkunganku sering ada yang senewen gara-gara satire begini. Ya wajar, di sosmed aja yg nota bene banyak tulisan satire juga masih banyak yg terjebak kok. Kapan hari itu rame juga di sosmed burung biru, ya gara-gara satire begini.

    BalasHapus
  23. penting banget sekarang untuk menyaring berita sebelum dikonsumsi
    waktu aku isoman, aku nuruti aja apa kata sesepuh bilang, coba ini itu.Tapi rasanya aneh aja, aku coba googling dan ternyata di ilmu kesehatan nggak ada hasil risetnya.
    bisa bikin bahaya tubuh juga kalau lama-lama dipraktekin

    malah ada yang bilang minum minyak kayuputih, aku ngebayanginnya aja udah kayak mau eneg gitu. ternyata memang nggak ada penelitiannya sampe kesana

    BalasHapus
  24. Saya senang sekali membaca artikel Bu Dian, Cek fakta Dulu, Baru Percaya. Terlalu banyak berita bohong "baca hoax" yang beredar tanpa ada sanksi. Ternyata masih banyak orang orang yang berbuat jahat demi kepentingan dengan memberikan informasi salah untuk membentuk opini. Saya sekarang lebih senang membaca surat kabar daripada medsos yang hanya sekedar share share yang tidak jelas. Surat kabar - Koran- lebih dipercaya beritanya karena kalau menyampaikan berita yang tidak benar, akan dikenakan sanksi, jadi palinmg tidak berita yang disampaikan sudah difilter terlebih dahulu. Terima kasih sharingnya Bu Dian, salam sehat, sehat badan dan sehat informasi.

    BalasHapus