Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Surah Tanpa Basmalah

Surah Tanpa Basmalah
* sebuah cerpen untuk Bapak


Cerpen untuk Bapak


Dulu, ada delapan orang penghuni di rumah kami yang kecil itu. Dan tujuh diantaranya adalah perempuan yang selalu berebut bicara dan tak henti bercerita. Ya, Bapak adalah satu-satunya laki-laki yang selalu memilih untuk diam tanpa gumam. Ibu dan kami enam bersaudara perempuan semua, nyaris lupa kalau Bapak ada, saat kami ramai mengomentari siaran televisi. Kami abai meminta ide bapak kala ada pemungutan suara, hari Minggu ini mau masak apa. Atau tak peduli apakah Bapak suka atau tidak dengan pilihan kami akan kue hari raya. Memang, Ibu yang lebih banyak jadi penentu meski tetap Bapak yang ketok palu.

Bapak sudah yatim sejak kecil. Cerita yang kudengar, bapaknya meninggal karena ditembak penjajah Belanda. Mbah Kung, begitu aku mengingat nama yang tak pernah kutemui sosoknya, membantu memasok senjata bagi pejuang negeri ini di wilayah Singosari. Konon, senjata-senjata itu disusupkan di antara gerbong kereta yang diawasi Mbah Kung sebagai kepala stasiun. Sampai satu waktu Belanda memergoki, menahan dan mengirimkan jasadnya dengan butiran timah panas yang bersarang di dada. Meninggalkan Mbah Putri dengan delapan anak yang masih kecil. Anak-anakpun sebagian dititipkan untuk diasuh paklik dan buliknya. Sementara yang lain tetap bersama Mbah Putri, termasuk Bapak. Hingga Bapak pun bisa terus sekolah sampai menjadi guru.

Kerasnya hidup menjadikan Bapak sosok yang kuat dan tegar. Tanpa sambat mengemban amanah mencari nafkah. Gajinya selalu utuh diserahkan ke Ibu. Tentu jumlahnya sudah dikurangi dengan cicilan utang koperasi guru dan potongan iuran ini itu. Dan Ibu benar-benar bijak mengelolanya . Berapapun uang yang diterimanya tak ada keluhan yang terucap. Ibu membantu menambah uang belanja dengan berjualan kayu bakar di rumah dan membuat jajanan yang dititipkan ke warung sekolah. Ibu juga menerima pesanan kue untuk hidangan, jika ada tetangga yang hajatan.

Bapak tak mau menyerah begitu saja pada nasibnya dengan memutuskan untuk kuliah lagi. Bapak berangkat bersama kami saat pergi sekolah dan baru pulang kala maghrib menjelang. Kesibukan yang menyitanya dari pagi hingga senja, membuat aku tak bisa banyak menghabiskan waktu bersamanya. Semua merelakan Bapak istirahat diantara masa luangnya. Kalau ada perlu aku selalu bilang Ibu dulu. Kata Ibu, tak harus semuanya Bapak tahu. Sudah banyak beban yang diembannya, jangan ditambah dengan urusan rumah. Itulah alasan Ibu dan aku pun tak membantah. 

Kala itu bisa pergi jalan-jalan adalah hal yang langka bagiku. Tapi berkeliling kota dengan Bapak, mengendarai vespa, dan aku berdiri di depan sedangkan dua kakakku duduk di belakang, adalah sebuah kenangan yang sangat menyenangkan. Di tengah deru vespa dengan hembusan angin yang memapar muka, Bapak sesekali akan menunjukkan nama-nama tempat menarik yang kami lewati. Aku serasa sudah berkeliling dunia!

Satu waktu aku pernah diajak Bapak ke rumah saudara kami. Di mataku rumah itu begitu megah bagai istana, jauh sekali dibandingkan rumah kami yang sederhana. Bapak yang melihatku tengah terpana pun berbisik“Suk kowe mesti iso duwe omah koyo ngene iki…”.* Begitu lirihnya di telingaku, di tengah kerjap mata kecilku yang berbinar senang. Sebuah ucapan yang merupakan doa Bapak bagiku yang membekas di hati hingga kini.

Meski anaknya perempuan semua, Bapak dan Ibu tak lantas melarang kami untuk bersekolah tinggi. “Bocah wedok perlu nggolek ilmu, sekolah sing dhuwur, ora mung kanggo awakmu, tapi mbesuk iso kanggo mulang anak-anakmu”.** Pesan itu menjadi pemantik semangatku dan kakak-kakakku untuk menimba ilmu. Kami dilepas satu-persatu menuju bangku kuliah, bekerja lalu menikah. Bapak dan Ibu menyerahkan sepenuhnya keputusan pada kami saat memilih pasangan hidup. Dan, tak pernah mencampuri urusan rumah tangga anak-anaknya.

Memang tak banyak nasihat yang dituahkan lewat kalimat. Tapi kami diberi contoh nyata. Kami tak perlu jauh-jauh mencari panutan. Bapak dan Ibu yang selalu harmonis sampai usia senja menjadi teladan bagi kami dalam berkeluarga. 

Kini di renta usia, Bapak dengan penyakit gulanya, selalu setia menunggu kami pulang di rumah tempat kami berenam dibesarkan. Berdua bersama Ibu menghabiskan waktu dengan banyak silaturahmi kesana-sini. Diantara saudara, hanya Bapak dan Ibu yang masih sehat, jadi biarlah kami yang berkunjung agar panjang umur. Itulah alasan mereka. Meskipun, Bapak memang tak pernah bisa berlama-lama jauh dari rumahnya. Kata Bapak, kasihan ayam-ayamnya kalau terlalu lama ditinggal. 

Begitulah Bapak, yang masih tetap apa adanya pun bicara seperlunya. Tak pernah berburai kata untuk menceritakan keenam putrinya. Hanya mengabadikan kebanggaannya lewat enam foto bertoga di ruang keluarga. Kasih yang tak pernah dikatakan terwakili lewat tatapan mata penuh doa bermakna. Cinta yang terlupa diucapkan terwujud dalam kekhawatiran saat kami diliputi kesedihan. Diamnya Bapak telah mewalikan berjuta doa indah untukku. Meskipun kadang tetap ada tanya di hatiku, mengapa Bapak selalu diam seakan menyimpan selaksa rahasia. 

Di sepertiga malam terakhir, saat kurajut doa di bentang sajadah, melisankan ayat-ayat At Taubah, surah tanpa Basmalah. Membenamkan diri di dalam tafsirnya, menyeruak tanya mengapa tak ada Basmalah di sana. Surah yang meski tidak diawali dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, tapi diakhiri dengan nama kekasih hati yang penuh rindu dan sayang. Ayat-ayat yang di awal berisi pelepasan, di tengah tersebar berbagai kecaman, di akhir surah ditutup dengan sebuah ayat kebahagiaan, tentang kasih sayang dan kerinduan. Tapi mengapa Basmalah tak memulainya? Tak ada yang tahu pasti. Bukankah, kodrat manusia memang hanya mampu menangkap sedikit saja kemungkinan rahasia-Nya.

Ah, mengapa harus mempertanyakan begitu banyak mengapa dalam Al-Qur’an dan di kehidupan. Mengapa juga terlalu ingin tahu segala hal yang mungkin tak akan kita jumpai jawabannya. Karena di satu titik akhir, jawaban yang tepat adalah Wallahu a’lam bissawab, dan Allah lebih mengetahui yang sebenar-benarnya.

Dan, sesaat sebelum sajadah terlipat, kututup doa panjangku dengan ucap syukur pada Yang Maha Kuasa atas anugerah orang tua. Pun, sebaris permohonan semoga Allah mengampuni dosa-dosa dan mengasihani Bapak Ibuku. Seperti saat Mereka merawat dan mendidikku di masa kecil. Aamiin!



* Nanti kamu pasti bisa punya rumah seperti ini
**Anak perempuan perlu menuntut ilmu, sekolah tinggi, tidak hanya untuk dirimu sendiri, tapi kelak untuk mendidik anak-anakmu
Dian Restu Agustina
Dian Restu Agustina Hi! I'm Dian! A wife and mother of two. Blogger living in Jakarta. Traveler at heart. Drinker of coffee

Posting Komentar untuk "Surah Tanpa Basmalah"