Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menggapai Asa


Kulirik arlojiku, jam 11 kurang 10 menit. Aku masih sibuk dengan notebook-ku sembari menunggu. Siang itu aku ada janji dengan seorang training consultant sebuah perusahaan pengembangan SDM. Jaringan restoran ternama tempatku bekerja, akan meminta bantuan mereka mengadakan pelatihan kualitas pelayanan untuk karyawan kami, mulai dari garda depan sampai manajemen puncak. Dan, perusahaan menunjukku menjadi penanggung jawab proyek ini.


Menggapai Asa


Kuhirup lagi teh hijau di depanku, saat seseorang berjalan ke arahku. Belum sempat saling menyapa, kami berdua saling terpana, mendadak lidahku pun kelu.

"Nina..”
"Fariz…”
"Assalamualaikum! Apa kabar Nin, lama sekali tidak bertemu ya!” terucap juga dari bibirku
”Waalaikumsalam, Riz! Alhamdulillah baik.” Hening menyelimuti.
”Duduk ,..Nin!!” gelagapku

Sejenak kutatap lekat dia, tak ada yang berubah, mata bening, wajah teduh, berpayung kerudung, tetap sama. Hanya nampak lebih dewasa.

“Eh…aku tidak mengira kamu orang yang akan kutemui siang ini. Oh ya ini kartu namaku,” kataku kikuk
”Eh..ya..ini punyaku,” kamupun membalasnya.
”Sudah sukses kamu Riz,” pujimu setelah membacanya.
”Ah nggak juga, kamu pun punya karier bagus,” balasku.

Sekilas kualihkan pandangan ke jarim, belum ada cincin melingkar disana.

”Kamu belum married, Nin?”
”Hm, belum kepikir Riz. Kamu sendiri?”
“Ah, mana ada yang mau sama aku,“ kilahku
”Ah, jangan bercanda!!” tertawa kami berdua

Pertemuan yang sama sekali tak terduga!
Nina Amalia! Ingatanku pun melayang ke masa beberapa tahun silam!


1995 - Singapura Kenangan Tak Terlupa

Aku baru tiba dari Denpasar kemarin. Selama 6 bulan aku akan mengikuti on the job training di Singapura bersama 10 orang teman sekampusku. Bersama beberapa teman aku ditempatkan di sebuah pusat konvensi internasional di Suntec City. Dan, pagi ini adalah briefing hari pertama kami. 

Ruangan masih sunyi ketika kami berlima sampai. Saat kami menunggu, beberapa peserta lain memasuki ruangan. Kami pun saling berkenalan. Ternyata mereka mahasiswa dari Jakarta. Seketika riuh rendah pun tercipta.

Sementara di sudut ruang aku tak banyak bicara, tak peduli siapa saja yang datang, sampai saat seorang tergesa tiba, nampak mencolok beda. Membuatku terkesima.

Ya, seorang gadis berkerudung biru. Sejenak pandangan kami beradu, dan dia tersenyum, anggun dan santun. Subhanallah, betapa jelita dan damai dia dengan busana muslimahnya. Matanya begitu bening dengan wajah yang teduh. Aku merasakan pendar-pendar kekaguman menyelimuti hatiku.

“Assalamualaikum, Fariz Nugraha,” ucapku saat kita berkenalan
”Waalaikumsalam, Nina Amalia,” sebutmu lembut 

Itulah awal perjumpaanku dengan Nina. Saat pertama kali aku merasakan getar hati yang tak pernah kurasa sebelumnya.


***

Sudah hampir jam 9 malam, aku masih berdiri di depan locker room, saat Nina keluar,

“Eh, belum pulang, Riz?”
“Baru mau pulang. Yuk sama-sama!”dustaku, padahal aku menunggunya.

Beriring kita berjalan menuju City Hall. Sesekali diselingi cerita dan canda. 

“Nin, aku nanti ikut turun di Eunos, biar kuantar kamu dulu!”
“Ngga usah Riz, aku berani jalan sendiri,”tolakmu
“Sudah malam Nin,”tegasku
”Biar kuantar dulu!”

Kamupun tak membantah lagi. Kita pun turun di stasiun MRT Eunos dan berjalan sampai di depan rumah landlord-mu di Lorong Sarina.

“Oke, aku pulang dulu ya, selamat istirahat Nin, sampai jumpa besok. Assalamualaikum,” pamitku
“Waalaikumsalam. Thanks ya Riz!” 

Begitulah kita, jika berada pada shift yang sama, aku selalu mengantarmu, meski harus kembali lagi ke stasiun Eunos dan pulang ke tempat kosku di Pasir Ris. Aku selalu mengkhawatirkanmu dan ingin menjagamu. Seringkali aku merasa perjalanan itu begitu singkat. Rasanya kuingin memperlambat waktu agar lebih banyak tawa tercipta. Entah kenapa kadang aku merasa tawamu tak pernah lepas. Adakalanya kamu termenung, diam tanpa kata. Kadang kamu hanya tersenyum penuh makna saat kutanya kenapa. Ah..Nina, kamu begitu berahasia. 

Aku memang tak punya banyak waktu bersama Nina. Kadang kami bekerja pada shift yang berbeda. Walaupun aku selalu berusaha mencari jeda untuk sekedar menatapnya diam-diam. Tak pernah lebih. 

“Nin, aku punya banyak asa,” kataku suatu hari
“Aku juga”
“Aku ingin membahagiakan ibuku. Aku akan berjuang keras untuk itu. Kamu?”

Hanya ada senyum yang sarat sejuta makna. Tapi aku tak tega mengusiknya. Andai dia juga tahu, ada asa untuknya. Apapun yang menjadi dukanya, satu hari nanti Insya Allah, aku ingin menjadi pelipur lara Nina.

Suatu siang saat makan siang di canteen,

”Teman-teman ada rencana ikut tour ke Sentosa akhir Minggu ini, kamu ikut Nin?”
”Nggak Riz, kan sudah pernah. Sekali saja cukup. sekedar tahu. Kita kesini bukan untuk jalan-jalan lho! Lebih baik uangnya ditabung“
“Ya, aku juga nggak ikut kok, buang-buang uang saja.”

Memang kami berbeda dengan teman-teman yang lain. Jika mereka sering mengisi hari libur dengan hang-out ke Orchard, Mustafa atau ke tempat wisata lainnya, kami lebih memilih untuk menghemat uang kami.

Selama di sana kami memang mendapat trainee allowance yang besarnya memadai untuk biaya hidup, meski bagiku nilai itu sangat besar. Bagaimana tidak, aku sudah terbiasa hidup pas-pasan bahkan kekurangan sedari kecil. Jadi, di saat seperti itu aku tidak akan menghambur-hamburkan uang. 

Lain hari, kami isi dengan diskusi, tentang pergerakan mahasiswa yang mulai menggeliat di Nusantara, soal kebiasaaan berdisiplin orang Indonesia dibandingkan penduduk Singapura,…dan tentang banyak hal.

Nina adalah teman diskusi yang berwawasan luas.
Lain waktu, kami habiskan dengan berburu buku di library.

Alhamdulillah. Enam bulan berlalu sudah. Saat yang melegakan karena satu tahap menuju akhir masa studi telah terlewati. Kembali ke tanah air, merampungkan tugas akhir dan wisuda sudah di depan mata. Sudah kubayangkan betapa senyum akan menghias wajah teduh Ibu. Betapa tidak, Beliau berjuang membesarkan aku dan Kak Fani seorang diri sejak Ayah berpulang di dua tahun usiaku. Satu pesan Ibu yang selalu kuingat, “Allah akan memberi peluang bagi hamba-Nya untuk mengubah nasibnya melalui usaha dan doa”.
Pesan itulah yang membuatku tak pernah menyerah pada nasib.


Penghujung Tahun 2007


Sejak berjumpa lagi dengan Nina, hidupku jadi makin berwarna. Kami berbincang lagi, berdiskusi tentang banyak hal, bukan hanya soal pekerjaan, tapi satu hal, masalah pribadi tetap tak mau diungkitnya.

Jumat sore, sesi terakhir pekan ini baru saja usai. Kuhampiri Nina..

”Pulang sama-sama Nin,”ajakku
”Nggak Riz, terimakasih, aku ikut sopir kantor saja,” tolakmu untuk kesekian kalinya
”Nin, ayolah, ada yang ingin aku sampaikan, sekalian makan malam, sekali ini saja, please!” pintaku
”Oke deh, tapi jangan lama-lama ya, ada pekerjaan yang kubawa ke rumah nih..,” akhirnya kamu menyerah
”Iya..ya.,” sahutku riang

Saat kita makan malam, 

”Tahu nggak Nin, sejak pertama jumpa aku sudah mengagumimu. Enam bulan di Singapura jadi kenangan terindahku, meski tak pernah ada yang istimewa di antara kita. Saat kembali ke Bali aku terus mengingatmu, aku berjanji satu saat aku akan mencarimu kembali. Cuma kamu menghilang entah kemana. Aku mencarimu Nin...Aku menunggumu...Sampai kita bertemu lagi 3 bulan yang lalu....rasa itu belum pergi, asa itu tetap utuh, tak berubah, tak lekang oleh waktu. Niatku sudah mantap. Ijinkan aku menjadi pendamping hidupmu Nin,” lega kuakhiri kalimatku

Sejenak senyap. Kamu termangu. Aku masih menunggu. 

”Kalau kamu belum siap menjawabnya, pikirkan saja dulu, tidak harus sekarang..”
”Nggak Riz, bukan itu..,” kamu menghela napas panjang
”Ada satu hal yang kamu belum tahu tentang aku,” lanjutmu lirih
”Riz, sebenarnya aku adalah ibu dari dua gadis kembar kelas 3 SMP....”

Aku ternganga. Jawaban yang sama sekali tak kuduga.
Mana mungkin, sedangkan Nina sebaya denganku. Aku menatapnya tak percaya.

”Setamat SMA, aku salah langkah, aku hamil di luar nikah. Pacarku lari dari tanggung jawab. Aku bertobat dan bertekat mempertahankan bayiku, kembar perempuan. Susah payah aku melanjutkan kuliah. Anakku kutitipkan pada kakek neneknya. Aku berjuang demi anak-anakku. Itulah sebabnya aku selalu menutup hati untuk sebuah pernikahan. Aku tidak pantas untukmu Riz...Maafkan aku!”

Sunyi mewarnai.

”Riz, aku pulang dulu ya, aku naik ojol saja, Assalamualaikum,” kamu pun beranjak meninggalkanku.
”Eh...Waalaikum salam,” gagap kujawab.

Alasan yang tak pernah terbayang olehku sebelumnya. Pantas saja Nina begitu rapat menutup hatinya.

*** 

Kuakhiri salat malamku dengan doa panjang..

”Ya Allah, aku memohon kepada-Mu, pilihan dengan pengetahuan-Mu, karena Engkau Maha Mengetahui, sedangkan aku tidak. Ya Allah, jika memang Engkau telah mengetahui bahwa perkara ini baik bagiku, maka putuskan, mudahkan dan berkahilah. Tapi jikalau berakibat buruk bagiku, kumohon tangguhkan, jauhkan dan putuskan dariku.....” 

 Senin sore, aku menemui Nina lagi

”Ada apa lagi Riz...”
”Nin, ijinkan aku menjadi pelindungmu dan anak-anakmu. Tekatku sudah bulat. Aku ikhlas....siapapun kamu dan bagaimanapun masa lalumu aku tidak peduli. Mari kita menggapai asa bersama!”
Kamupun tergugu....!
Ada bulir bening mengalir dipipimu.
Ada senyum merekah di sana, tapi kali ini bukan senyum penuh makna atau rahasia!
Alhamdulillah!!

Menggapai Asa



*Saya sedang bersih-bersih file dan menemukan cerpen lama ini yang saya tulis tahun 2008. Terinspirasi kisah nyata dari seorang sahabat, perempuan kuat yang memiliki mimpi-mimpi hebat. Berlatar Singapura, tempat saya pernah on the job training selama 6 bulan di tahun 1998




Happy Reading!


signature-fonts
Dian Restu Agustina
Dian Restu Agustina Hi! I'm Dian! A wife and mother of two. Blogger living in Jakarta. Traveler at heart. Drinker of coffee

Posting Komentar untuk "Menggapai Asa"