Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mental Health: Family Survival Mode

Mental Health: Family Survival Mode! Halohola, masih lancar kan puasanya? Alhamdulillah, semoga lancar jaya sampai akhir nanti ya. Seperti saya yang Insya Allah masih semangat menunaikan ibadah puasa di tengah wabah yang mengganggu kondisi kesehatan mental saya juga banyak orang di penjuru dunia.. Luckily, ngabuburit saya hari ini sungguh bergizi karena mengikuti Kulwap yang merupakan bagian dari program #BloggerHangout BCC (Bloggercrony Community). Sebuah free workshop untuk anggota BCC yang kali ini mengupas seputar kesehatan mental untuk keluarga, dalam hal ini relasi orangtua dan anak-anaknya. Kulwap diisi oleh pemateri psikolog Senja Kurnia Putri, M.Psi. Psikolog dan mengambil judul Mental Health: Family Survival Mode.


Mental Health Family Survival Mode

Mental Health: Family Survival Mode

About Mental Health: Family Survival Model 

Kondisi COVID-19 ini adalah suatu kondisi yang tidak wajar, maka WAJAR jika saat ini kita merasa bingung, sedih, khawatir, marah...kezel pada apa yang terjadi. Nah, semua respon ini adalah suatu respon yang wajar atas kondisi yang tidak wajar. Tetapi akan menjadi tidak wajar ketika emosi ini terekskalasi menjadi overthinking, overanxious dan overwhelmed saat menyikapi. 

Jadi it's okay not to be okay karena kondisi pandemi ini memang unpredictable dan uncertainty. Karena kita belum tahu kapan kondisi ini akan berakhir. Sehingga kecemasan ini sangat wajar. Dan emosi inilah yang akan melindungi kita untuk menjaga diri tetap aman. Misalnya dengan mengikuti anjuran pemerintahan untuk di rumah saja, memakai masker saat ke luar rumah dan lainnya.

Tidak bisa kita pungkiri bahwa pandemi COVID-19 ini makin memengaruhi kehidupan. Apalagi keputusan pemerintah untuk memberlakukan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) membuat orangtua harus bekerja dari rumah (Work From Home) dan anak melakukan pembelajaran dari rumah (School From Home). Ayah dan Ibu menjadi guru dadakan bagi anaknya, di lain pihak anak menjadi terbatas ruang geraknya dan harus menemui sosok "guru" baru yang tak biasa ditemuinya. Belum lagi segala drama yang ada yang dipicu keberadaan anggota keluarga saat di rumah saja. Wajar jadinya jika situasi seperti ini membuat orangtua dan anak sama-sama stress-nya.


Jenis-jenis Stress

1. Eustress

Eustress membuat kita bertindak efektif. Misalnya, saat sekolah dulu ada satu pelajaran yang ujiannya membuat kita enggak bisa jika belajar dadakan. Jadi jauh hari sebelumnya kita sudah siapkan diri untuk menghadapi ujian ini agar tidak gagal nanti. Nah terkait dengan kondisi saat ini, eustress ini terjadi karena ada kecemasan akan himbauan menjaga kesehatan untuk mengurangi risiko penularan maka kita jadi rutin mencuci tangan juga memakai masker jika bepergian.


2. Distress

Distress membuat kita tidak berfungsi secara optimal serta membuat kita tidak bisa berpikir secara efektif. Di mana gegara pandemi kita menjadi: kurang tidur atau tidur berlebihan, kurang konsentrasi (kerjaan WFH enggak kelar-kelar, ditanya anak enggak fokus dengan jawaban), pola makan berkurang atau sangat berlebihan, .......sehingga semua ini berpengaruh terhadap keseharian.


Mental Health: Family Survival Mode


Window of Tolerance

Ketika seseorang berada di window of tolerance secara umum otak kita itu dapat berfungsi secara baik. Dapat secara efektif memproses rangsangan, dapat berpikir secara rasional dan membuat keputusan dengan tenang tanpa merasa kewalahan. Nah ketika kita dalam kondisi stress, biasanya kita mengalami periode antara hyper atau hipo. Jadi ketika kita dalam kondisi ini maka kita tidak bisa memproses rangsangan dari luar secara efektif. Karena ketika kita merasakan emosi yang intens, otak kita yang bagian depan akan mengalami shutdown atau tidak berfungsi sementara. 

Dan yang mengambil alih adalah otak emosi. Ini dapat memengaruhi kita berpikir secara rasional. Maka penting sekali bagi kita untuk memiliki kemampuan meregulasi emosi ketika merasa kurang nyaman. Misalnya dengan teknik mindfulness juga teknik lainnya. Satu contoh, kita bisa mengolah napas dengan teknik 478. Kita menarik napas dengan hitungan 4, menahan dengan hitungan 7 dan membuangnya dengan hitungan 8. Supaya kita kembali pada window of tolerance kita. 

Nah, window of tolerance ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Seseorang secara umum bisa tepat berada di window of tolerance-nya jika mereka merasa aman dan didukung oleh yang lainnya. Maka di kondisi saat ini kita perlu Support System. Misalnya teman, pasangan atau siapa saja, yang bisa menjadi tempat sharing, yang hadir sehingga kita merasa didukung dan dipahami.

Ketika perasaan tidak nyaman ini muncul, saat cemas misalnya, ada perasaan yang kadang mencoba menekan untuk tidak memikirkan atau mengalihkan kita untuk bekerja lebih keras, makan lebih banyak dan lainnya. Padahal lebih sehat jika kita menyadari itu dan diberi nama. Misalnya ketika cemas, kita terima emosi kita dan rasakan saja. Terima, tapi jangan larut dan jangan lama-lama. Emosi itu seperti air. Misalnya jika ada aliran air kita bendung dengan batu maka suatu saat akan meluap dan bisa terjadi banjir. Berbeda jika itu kita biarkan mengalir, maka akan lancar jalannya sehingga kita bisa beralih ke emosi yang lainnya.


Family Survival Mode


Merawat Kesehatan Mental Pada Saat Pandemi
  1. Mengatur konsumsi informasi yang masuk ke dalam diri
  2. Mengatur mindset dan ekspetasi di masa-masa sulit ini. Be fleksibel. 
  3. Memanfaatkan teknologi agar tetap terhubung dengan yang lain lewat videocall supaya tetap bersosialisasi dengan orang lain
  4. Tidur yang cukup dan makan makanan bergizi untuk menjaga kewarasan dan meningkatkan kekebalan
  5. Melakukan gerak tubuh. Karena dengan bergerak dapat meningkatkan dopamine(hormon bahagia), membuat kita merasakan emosi yang positif
  6. Berlatih olah nafas untuk melatih emosi
  7. Me time


Ketika Perasaan Tidak Nyaman Muncul
  • Mengelola emosi kita dan merangkul emosi negatif. Kita terkadang terbiasa menekan, mengalihkan atau mengabaikan emosi negatif
  • Padahal emosi perlu disadari dan diberi nama
  • Emosi negatif juga perlu diterima
  • Beri nama pada emosi negatif yang kita rasakan
  • Terima emosi yang kita rasakan (namun jangan larut)
  • Hal ini dapat membuat emosi tersebut cepat beralih ke emosi lain

Mental Health: Family Survival Mode



Resume Kulwap Mental Health: Family Survival Mode 

Nah resume dari Moderator Kulwap Mental Health: Family Survival Mode, supaya kehidupan dalam keluarga bisa harmonis selama pandemi COVID-19 ini:
  1. Kenali diri kita. Gampangnya kalau suara kita sudah tinggi ke suami juga anak, artinya diri kita ini butuh perhatian juga. Nah, apa yang salah nih dalam diri sehingga bisa segitu emosi.
  2. Penuhi dulu kebutuhan kita. Kalau kebutuhan kita terpenuhi, biasanya emosi lebih terkendali. Sering dengar kan, orang kalau lapar jadi galak. Barangkali memang kita harus penuhi perut kita dulu, baru mengerjakan pekerjaan lainnya dengan tenang, bersama atau tanpa orang lain.
  3. Bangun koneksi antaranggota keluarga. Bisa dicoba mulai 5 menit per hari. Hadirkan diri kita secara utuh saat ngobrol atau menemani anak bermain. Hadir jiwa dan raga, tanpa nyambi main gawai atau masak atau pekerjaan lain. Dengan begitu, kita sama-sama diperhatikan dan dimengerti keadaannya.
  4. Jangan takut mencari pertolongan jika kita merasa sudah tidak bisa menanggulangi masalah emosi sendirian. Pertolongan bisa kepada siapa aja ASAL bisa dipercaya dan memahami kita. Tidak perlu malu juga untuk pergi ke profesional karena ada beberapa hal yang harus didiskusikan dengan ahlinya.

Penutup dari Kak Senja Kurnia Putri, M.Psi Psikolog: 

Ada sebuah quote yang disampaikan Bob Spencer: "The best thing you can do to a child at this pandemic time is to love their mother'. Maksudnya jika Ayah memberi bantuan, Ibu merasa terbantu dan merasa disayang, bebannya terasa berkurang, sehingga merasa lebih waras. Membuat tangki emosi terisi sehingga Ibu bisa kasih kembali ke anak-anak, lebih waras mengasuh anak-anak. Lebih tenang mengurus rumah tangga dan melayani suaminya. Terjadilah kondisi bahagia yang dibutuhkan bagi anak maupun anggota keluarga lainnya. 

See, Happy Mommy, Happy Family!

Baiquelah, semoga summary Kulwap Mental Health: Family Survival Model, program dari #BloggerHangout BCC ini bermanfaat ya, teman-teman. Semoga kita semua tetap semangat dan selalu sehat! See Yaaaaa!



Happy Sharing

signature-fonts
Dian Restu Agustina
Dian Restu Agustina Hi! I'm Dian! A wife and mother of two. Blogger living in Jakarta. Traveler at heart. Drinker of coffee

1 komentar untuk "Mental Health: Family Survival Mode"

  1. Wow langsung dibikin resumenya. Keren, mbak. Memang kondisi pandemi sekarang lumayan bikin stres ya, mbak. Entah itu mikirin virusnya juga kebosanan karena nggak bisa kemana-mana

    BalasHapus