Yuk, Muda-Mudi Bumi Bijak Kulineran Demi Dukung Kelestarian Lingkungan!
Kemarin siang, saya pergi di tengah hujan yang derasnya enggak karuan. Jadi ceritanya, saya ingin ketemuan dengan teman yang kebetulan sedang ada acara di sekitar tempat tinggal saya. Teman saya ini tinggal di Bogor, dan selama pandemi, jarang ke Jakarta lagi. Jadi kami janjian mau kangen-kangenan sekalian kulineran.
Eh, baru keluar dari rumah, hujan lebat pun turun. Padahal sebelumnya cuma nampak mendung biasa saja, enggak tahunya lanjut dereees bener hujannya. Kayak gini nih ngeri kalau pas di jalan. Karena seringkali, diikuti dengan pohon tumbang, banyak genangan, juga jalanan jadi licin yang membahayakan pengendara karena rawan terjadi kecelakaan.
Memang, sudah beberapa kali hujan deras terjadi di Jakarta akhir-akhir ini. Kalau dua hari lalu, hujan lebatnya waktu tengah malam. Meski rumah saya, Alhamdulillah, bukan daerah rawan banjir, saya kepikiran juga pas terbangun dan dengar suara derasnya hujan. Sambil berdoa, biar yang biasa kebanjiran enggak kenapa-kenapa.
Pasalnya, masih ingat saya, terakhir banjir besar di Jakarta itu waktu awal tahun 2020 lalu. Tepatnya wilayah Jabodetabek dilanda banjir yang membuat sebagian besar wilayah Ibu Kota terendam dengan ketinggian bervariasi.
Selain merendam banyak rumah, jalan-jalan juga ikut tergenang bahkan tak bisa dilalui kendaraan. Perjalanan KRL dan kereta api juga terganggu, hingga ada rute yang tidak beroperasi akibat jalur perlintasannya banjir. Banyak kendaraan baik mobil maupun motor terendam, juga terseret arus. Bahkan dilaporkan ada 67 korban meninggal karenanya. Beneran awal tahun baru yang kelabu!
Ini baru musim hujan yang saya amati makin ke sini makin ngeri. Belum pas musim kemarau, yang makin lama panasnya beneran terasa warbiyasa. Bahkan sering terbaca di layar HP saya, suhu udara itu 34, 35 hingga 36 °C! Pantesan panasnya cetarrr!!
Itulah hasil pengamatan amatiran ala saya, warga yang 'baru menetap' selama 15 tahun di Ibu Kota. Belum kalau ngomongin daerah lainnya. Ada yang dulunya enggak pernah banjir jadi kebanjiran. Sementara, area yang biasa enggak kurang air, mengalami kekeringan hingga gagal panen.
Memang jadi kacau ya perubahan iklim saat ini. Di mana terjadi perubahan signifikan pada iklim, suhu udara dan curah hujan yang disebabkan oleh naiknya temperatur bumi akibat dari peningkatan konsentrasi gas rumah kaca pada atmosfer bumi.
Karenanya, diperlukan serangkaian upaya (mitigasi) perubahan iklim, untuk mengurangi risiko terhadap peningkatan emisi gas rumah kaca ini.
Di antaranya dengan menanam pohon untuk mengatasi pemanasan global, memanfaatkan biogas sebagai sumber energi, memilih menanam padi varietas rendah emisi, pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT), pengembangan mikrohidro, dan lainnya
Terus kita bisa apa? Kok kayaknya upaya itu beratsss semua ya. Mau ikutan nanam pohon, halaman cuma sepetak. Pengin beralih ke biogas, eh enggak punya ternak. Ingin pindah ke varietas padi yang lebih ramah lingkungan, adanya sawah orang.
Dududu...enggak perlu gundah hatimu. Karena dari hal-hal sederhana saja, saya dan kamu pun bisa membantu! Misalnya nih, dari hobi yang dapat menjadi sebuah aksi dan kontribusi bagi mitigasi perubahan iklim ini.
Lah, kalau yang hobinya kulineran memang bisa juga?
Bisa dong...!!
Saya dan juga kamu pastinya - yang hobi kulineran - bisa menjadi #MudaMudiBumi yang ikut bergerak untuk mitigasi perubahan iklim saat ini!!
Tentang Perubahan Iklim (sumber: http://ditjenppi.menlhk.go.id/kcpi/index.php/tentang/tentang-knowledge-centre) |
Ini Dia Aksi dan Kontribusi dari Hobi Kulineran Bagi Mitigasi Perubahan Iklim!
Well, makanan yang kita santap saat kulineran bukan hanya soal mengenyangkan, juga enak atau tidak rasanya. Tapi lebih jauh lagi, kulineran juga berperan dalam perubahan iklim dan efek rumah kaca.
The Climate Reality Indonesia, organisasi nirlaba yang terlibat dalam pendidikan dan advokasi terkait perubahan iklim menyebutkan, jika cara produksi pangan dan konsumsi sangat berpengaruh pada krisis iklim, dari hulu ke hilir. Mengingat setidaknya 30 persen perubahan iklim disebabkan karena sistem pangan.
Lalu sebagai #MudaMudiBumi pegiat kulineran sejati, apa yang bisa kita lakukan terkait hal ini?
1. Pesan Sesuai Kemampuan
Pernah enggak saat ke rumah makan, karena lihat gambar menu makanan yang menggoda iman ditambah perut sedang keroncongan akhirnya semua kita pesan? Kita lupa bahwa kapasitas perut kita terbatas.
Ujung-ujungnya enggak habis makanannya. Beberapa dari kita mungkin malu atau enggan membawanya pulang. Mikirnya, nanti dikira pelit pula, tinggal sedikit minta dibawa. Akhirnya, ditinggalkan di meja, dan berakhir deh makanan di tempat sampah restoran.
Coba, kalau kamu mikir dulu sebelum pesan makanananmu, enggak akan terjadi tuh...
Jangan lapar mata, kemampuan perutmu lah yang jadi ukurannya. Mending, pesan secukupnya, kalau kurang baru nambah, biar sisa makananmu enggak jadi sampah!
2. Habiskan Makanan
Memang kenapa kalau nyisain makanan, kan udah kita bayar?
Enggak gitu juga ya, Gaess.
Jadi FYI, gara-gara kita tak menghabiskan makanan, Indonesia jadi negara nomor 2 penghasil limbah makanan terbanyak di dunia! Padahal sampah makanan ini berbahaya bagi lingkungan.
Pasalnya, sampah makanan yang terbuang akan menumpuk dan tertimbun di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Ketika makanan mulai membusuk dan terdegradasi, gas metana akan dilepaskan ke lingkungan. Gas metana ini merupakan salah satu gas rumah kaca yang turut berdampak pada pemanasan global yang memicu perubahan iklim.
Maka, ingat...ingat...habiskan makanan yang kamu pesan! Jika tidak mampu, bawa pulang dan makan nanti saat lapar lagi.
Terus, usahakan tidak minta dibungkus pakai kemasan dari rumah makan. Karena, akan ada sampah yang terbawa kita (bungkus kertas, plastik, dan lainnya).
Jadi?
Ya, bawa bungkus sendiri!
Saya membiasakan diri membawa tas belanja, wadah juga botol minum saat pergi.
Nah, saat kulineran, ini bisa buat wadah saat beli makanan yang ingin dibungkus saja, bukan dimakan di warungnya. Juga, saat makanan yang saya pesan kebanyakan, saya tinggal masukkan saja ke wadah itu, lalu di jalan atau di rumah nanti dimakan lagi. Begitu juga dengan jus atau kopi. Sehingga makanan enggak terbuang sia-sia.
3. Kulineran yang Dekat
Jadi gini, kalau kamu sengaja kulineran bebek betutu di Bali, ya bakal gede nyumbang krisis iklimnya dibandingkan kalau beli di salah satu gerainya di Jakarta. Lebih bagus lagi kalau pesan bebeknya ke tetangga, jika ada.
Maka, salah satu cara saya berkontribusi dalam mitigasi perubahan iklim saat ini yakni, kulinerannya yang dekat saja. Misalnya, ibu yang tinggal di sebelah rumah saya, sejak pandemi 'dirumahkan' dan enggak ngantor lagi. Akhirnya bebikinanlah dia camilan sama si Mbak asisten rumah tangganya. Mereka produksi beberapa varian camilan. Lumayan, kalau saya butuh, tinggal japri dan diantarlah ke rumah jalan kaki.
Belum lagi aneka kulineran hasil karya penuh cinta Ibu-ibu di komplek saya, yang biasa ditawarkan via grup WA. Sebut saja, lontong sayur Padang, mie ayam, siomay, aneka jajan pasar, ayam Hainan, nasi bakar...Duh, ngetik ini saja, jadi lapar saya hahaha..
Nah, kesempatan deh, saya enggak perlu keluar rumah, tinggal pesan dan makanan diantar di depan pagar. Lebih hemat pasti. Juga, akan menekan emisi karbon alias gas yang dikeluarkan dari hasil pembakaran senyawa yang mengandung karbon.
Di antaranya gas pembuangan dari pembakaran bensin dan bahan bakar lainnya yang mengandung hidrokarbon, yang merupakan salah satu penyumbang pencemaran udara yang berdampak pada perubahan iklim.
Maka, pilih kulineran yang dekat, biar lebih hemat, dukung ekonomi sekalian silaturahmi, plus berkontribusi pada mitigasi perubahan iklim, sebab mengurangi jarak tempuh transportasi.
4. Jaga Tradisi Kuliner Lokal
Let's Eat locally! Well, memang di tengah kehebohan aneka rupa makanan saat ini, mengajak mengonsumsi bahan pangan lokal itu enggak gampang.
Tapi, coba kita telaah, misalnya terigu yang jadi bahan roti kekinianmu, itu bukan pangan asli Indonesia. Meski bisa ditanam di sini, tapi minim dibudidayakan karena gandum, tanaman penghasil tepung terigu adalah tanaman subtropis.
Konsumsi gandum yang tinggi membuat Indonesia menjadi salah satu negara pengimpor gandum terbesar di dunia. Bahan pangan lokal serupa jadi tersisihkan. Padahal kita punya aneka sumber karbohidrat yang lainnya, seperti jagung, ubi, singkong, sagu, ganyong,..
Nah, disebutkan oleh Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim (DJPPI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sebesar 30% emisi gas rumah kaca global berasal dari sektor pertanian dan produksi makanan yang merupakan gabungan antara pengangkutan produk makanan, pendinginan, perilaku konsumen dan pengelolaan sampah.
Beberapa faktor yang berdampak terhadap iklim termasuk posisi produk yang dikonsumsi dalam rantai makanan, energi yang digunakan untuk produksi, metode organik atau dengan bahan kimia, dan seberapa jauh makanan tersebut diangkut sampai ke meja makan kita.
Berbagai hal ini secara langsung meningkatkan jejak karbon baik jejak karbon individu, organisasi, kegiatan, maupun produk.
Maka, yuk pahami sumberdaya yang digunakan untuk produksi makanan dan lebih peduli terhadap hubungan antara makanan dan perubahan iklim sehingga pilihan yang kamu ambil akan lebih ramah iklim.
Nah, kini jadi punya alasan untuk kulineran juga tiwul, gatot, getuk, wajik, bubur sumsum, talam jagung, apapun yang jadi hasil pangan di daerahmu, kan?
5. Bergeser ke Pola Makan Ramah Lingkungan
Next, buat dukung mitigasi perubahan iklim ini, dirimu bisa bergeser ke pola makan yang lebih ramah lingkungan. Misalnya nih, jangan juga kulineran steak melulu, nyate kambing atau jajan kebab. Tapi, makan juga pecel, karedok, gado-gado, rujak, asinan sayur/buah atau tahu gejrot!
WRI (World Resources Institute) Indonesia, lembaga kajian lingkungan global yang berbasis di Washington D.C. menyebutkan jika membatasi peningkatan konsumsi daging global—khususnya daging sapi, domba, dan kambing—menjadi isu penting dalam mengendalikan pemanasan global.
Pasalnya, daging hewan pemamah biak membutuhkan sumber daya paling besar di antara semua jenis makanan yang kita konsumsi. Produksi daging sapi, misalnya, membutuhkan lahan 20 kali lebih besar dan menghasilkan emisi 20 kali lebih banyak dibandingkan dengan produksi kacang-kacangan, untuk tiap gram protein.
Bahkan penelitian terbaru menyatakan bahwa penurunan emisi gas rumah kaca hingga 80% bisa terjadi jika kita mengurangi 70% konsumsi daging dan 65% produk olahan susu.
Sehingga, selain berdampak positif bagi perbaikan sektor pertanian dan pengurangan limbah pangan di masa depan, perubahan pola makan ke bahan pangan nabati juga penting bagi mitigasi perubahan iklim ini.
6. Ubah Kebiasaan Penggunaan Plastik
Jadi, Gaess...kantong plastik adalah salah satu penyebab utama perubahan iklim. Karena, sejak proses produksi hingga tahap pembuangan dan pengelolaan, sampah plastik mengemisikan banyak gas rumah kaca ke atmosfer.
Nah, dijelaskan dalam laman Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim (DJPPI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bahwa plastik terbuat dari minyak bumi dengan proses mengubah komponen minyak bumi manjadi molekul kecil yang disebut monomer. Kegiatan memproduksi plastik membutuhkan sekitar 12 juta barel bahan baku minyak. Untuk mengubah minyak bumi menjadi monomer digunakan cara pembakaran. Dari metode inilah banyak gas rumah kaca diemisi ke atmosfer.
Terus yang bisa saya dan kamu lakukan apa? Di antaranya:
- Kurangi penggunaan tas plastik dengan membawa dan memakai tas kain setiap kali berbelanja
- Apabila terlanjur mendapat kantong plastik, pakai kembali untuk keperluan lain di kemudian hari
- Hindari take away, atau bawa dan gunakan tempat makanan dan botol minuman sendiri kalaupun harus membungkusnya. Seperti bawa wadah (tumbler/collapsible cup) saat beli kopi.
- Bawa peralatan makan/cutlery set (sendok, garpu, sumpit, sedotan) sendiri, yang bisa dipakai lagi, tolak jika ternyata diberi peralatan berbahan plastik yang sekali pakai saja
7. Daur Ulang Makanan dan Kemasan
Btw, pernah enggak dirimu kulineran terus makanan yang kamu pesan ternyata jauh dari harapan? Misalnya nih kok rotinya keras bukan main ya? Atau ini sambal, pedasnya warbiyasa sampai enggak kuat makannya?
Nah, kenapa enggak didaur ulang saat dibawa pulang. Misalnya, roti diolah lagi jadi pudding roti. Sambal yang pedas tadi ditambahin tomat, jadi deh sambal balado tinggal digandengkan dengan telor, udang atau kentang. Atau dijadikan bumbu nasi goreng. Jadi enggak ada makanan yang terbuang...
Demikian juga dengan kemasan.
Well, plastik tidak selalu pilihan buruk. Beberapa pilihan kemasan lainnya, seperti kaca, sangat berat dan rentan pecah, juga hanya bisa sedikit diangkutnya. Ini berarti transportasi membutuhkan banyak energi per satuan makanan.
Nah, beralih ke plastik, yang lebih ringan, bisa menurunkan emisi karbon. Tentu saja, pilih plastik yang bisa kita daur ulang saat pengemasan makanan tak terhindarkan. Sehingga memilih bentuk kemasan yang paling sederhana adalah pilihan terbaik.
Lalu, daur ulang sampah-sampah plastik itu. Misal daur ulang botol minuman menjadi pot tanaman, wadah plastik yang aman bisa untuk menyiapkan bahan pangan di kulkas, gunakan kembali jadi tempat printilan di laci, atau kumpulkan dan serahkan ke bank sampah terdekat untuk didaur ulang.
Kini Saatnya #TimeforActionIndonesia!
Nah, Gaesss...kini sudah makin tahu kan dirimu tentang mitigasi perubahan iklim ini?
Semoga ya!
Yang pasti enggak bisa pemerintah atau badan terkait saja yang bergerak untuk mengupayakan kelestarian lingkungan. Kita semua mesti bahu-membahu mewujudkannya demi kebaikan di masa depan. Kini saatnya anak muda bergerak untuk mitigasi perubahan iklim, melakukan aksi dan kontribusi dari hal sederhana di keseharian pun bisa juga.
Dengan bijak saat melakukan hobi kulineran kita pun bisa berkontribusi nyata!
Ya, #UntukmuBumiku: "Saya bersumpah ketika kulineran akan lebih pilih yang ramah lingkungan"
Oia, bagaimana dengan dirimu? Apa yang sudah kamu lakukan untuk dukung mitigasi perubahan iklim demi bumi lestari ini?
Apapun itu tetap semangat melakukannya ya! Percaya, bersama-sama kita akan bisa mewujudkannya!💖
Artikel ini diikutkan dalam Kompetisi Blog #MudaMudiBumi.
Yuk ikuti juga kompetisinya! Info lengkapnya di sini ya:
IG: @bloggerperempuan | FB: @bloggerperempuan
Salam Semangat
Yuk, kita dukung mitigasi perubahan iklim!
BalasHapusKu bacanya manggut2, epakat banget Mak dengan ini ..
BalasHapusYa, #UntukmuBumiku: "Saya bersumpah ketika kulineran akan lebih pilih yang ramah lingkungan"
Beberapa tips di atas pun udah aku lakukan, semoga saja hal kecil yang dimulai dari diri sendiri bisa membantu bumi tercinta kita ini.
Hal2 yang kadang ga kita sadari pun suka lengah, kek pesen sesuai kemampuan dan menghabiskan makanan masih banyaak yang lapar mata, hihi.
makasih udah reminder kembali yaa.
Saya sepakat dan setuju dengan upaya cerdas dari rangkaian aksi dan kontribusi dari hobi kulineran yang mbak Dian paparkan. Penting untuk bijak kulineran, karena dari sana bila konsisten dan dilakukan oleh seluruh masyarakat dunia, dampaknya besar bagi bumi. Lanjutkan mbak!
BalasHapusSetuju mba. Kelestarian lingkungan itu bukan hanya tanggung jawab pemerintaj atau badan. Tapi tanggung jawab kita semua termasuk masyarakat dan diri kita sendiri ya.
BalasHapusAku juga salah satu cara melestarikan lingkungan dengan minim sampah. Jadi kalau belanja kayak belanja dikit bawa kantong sendiri atau ga usah pakai plastik. Kalau makan di luar terus masih ada sisa aku minta bungkus juga. Sama kayak saran di atas. Untuk menghhindari kerusakan lingkungan yang lebih parah lagi yang berefek pada perubahan iklim juga, mending dimulai dari diri sendiri ya
Sisa sampah makanan tuh buanyaaakkk banget ya mba Dian.
BalasHapusNgeri deh, apalagi kalo lihat orang barbar pas pesta kawinan.
Pengin nangis lihat sampah makanan karena sama aja kita dzolim kalo berbuat kaya gitu yak.
Aih bener banget mba. Kadang liat tampilan makanan online mau pesan semua berasa mau makan semua. Tapi harusnya tahu diri alias kemampuan perut seperti apa. Makasih sudah mengingatkan, mba
BalasHapusSetuju, enggak perlu usaha yang muluk-muluk untuk menjaga kelestarian lingkungan... Bisa dimulai dari diri sendiri dan keluarga dengan cara mengatur cara kita makan...
BalasHapusSuka sedih tuh kalau di resepsi nikahan, liat orang ngambil makanan seenaknya tapi enggak dihabisin, huhu...
Perubahan iklim ini memang butuh perhatian dan penanganan yang serius ya..dan gak bisa bergerak sendiri harus bareng2..biar dampaknya kerasa. Mulai dari perlakuan kmita terhadap makanan ternyata bisa berdampak...
BalasHapusSetuju lah ini mah. Sedih bener negara kita jd penyumbang limbah sampah makanan udah gitu kalo abis jajan plastik nyebar dimana2. Padahal simple aja klo mau berkontribusi utk bumi dan negara dimulai dari kulineran yg bijak. Makasih tipsnya.mbak
BalasHapusKelestarian lingkungan bisa dimulai dari diri sendiri dan keluarga hingga masyarakat. Kini sudah mulai orang2 sadar daur ulang sampah dan berusaha ga membuang sisa makanan. Kita dapat beraksi mulai sekarang, misalnya bawa wadah bekal sendiri. Setuju deh kalau di resto tertentu kta makan ga habis, maka akan dikenakan denda. Itu rujak petisnya kelihatan enak, Mbak Dian hehehe :D
BalasHapusBetuul, yang harus menjaga kelestarian lingkungan bukan hanya pihak pemerintah saja, tetapi semua pihak yang berhubungan. Bahkan anak muda pun seharusnya hidup dengan pola melestarikan lingkungan. Selalu membawa wadah bekal dan minum sendiri dari rumah. Supaya terbiasa hidup meminimalisir sampah
BalasHapusUntuk menjaga lingkungan memang dari diri sendiri dulu ya. Tampaknya hal sederhana dari menghabiskan makanan yang kita pesan. Tidak membuang buang makanan. Ini penting, biar kita gak nyumbang sampah yang mengakibatkan gas-gas makin banyak.
BalasHapusSemoga makin banyak yang paham, bahwa membuang makanan itu salah satu merusak lingkungan.
#UntukmuBumiku aku juga udah daur ulang botol bekas air mineral untuk pot tanaman. Udah sejak lama kalo pesan makanan juga membatasi. Misalkan sisa ya dibawa pulang, aku sih enggak malu karena duit kita sendiri.
BalasHapusBanjir awal tahun 2020 itu, sehari sebelumnya aku dalam perjalanan dari Bogor ke Semarang. Sempat ngalamin banjir sampai sandal hanyut waktu istirahat shalat dhuhur di rest area
Nah, masih ada aja yang merasa udah bayar. Berarti bebas melakukan apapun. Padahal ya gak gitu jugaaaa. Semena-mena itu namanya.
BalasHapusSuka sedih kalau lihat makanan yang mubazir. Padahal di luar sana masih banyak yang kelaparan. Selain itu sampah makanan yang menumpuk juga bisa mempengaruhi perubahan iklim yang efeknya bisa mengerikan
Iya kadang ngeliat hp suhu nya sering tinggi banget ya bahkan ada notif juga kalau sinar UV nya tinggi dan berbahaya. Dampak perubahan iklim memang nyata dan udah kita rasakan. Di lokasi ku saat ini di Binjai cuaca benar tak menentu, kadang angin kencang tanpa hujan, kadang hujan tapi panas. Suka deg2an sendiri jadinya.
BalasHapussetiap order makanan selalu inget Bumi yang kita tempati ya, no more kalap-kalap pesen makanan yang cuman laper mata padahal belum tentu diabisin ya kan.. makasi mak buat ulasannya
BalasHapusSetuju banget dengan permasalahan plastik. Ke kampung saya pun sekarang sungainya sudah kotor dengan sampah plastik. Jadi risih mau mencuci apalagi mandi. Padahal biasanya kami nyuci mandi di sungai itu kalau pulang dari sawah atau kebun
BalasHapussetuju mba kadanga emang suka laper mata akhirnya kebuang sia2 beneran harus bijak plus juga ganti semua peralatan yang ramah lingkungan
BalasHapusTernyata ada lomba di BPN. Duuh tiap kali ada lomba tentang kelestarian bumi hatiku tuh tergerak buat ikutan tapi terkadang tangan dan fikiran tidak sejalan. Sukses Mbak. (Komen kedua nih, yang pertama tadi takut nggak terkirim)
BalasHapusSeuju banget perilaku bijak bisa di mulai dari diri sendiri dan hanya dari hal-hal yang sederhana seperti perilaku saat memesan makanan. Sejak dini, aku juga ajarkan pada anak-anak agar pesan makanan secukupnya, soalnya foto-foto pada daftar menu makanan memang mengoda sih.
BalasHapusNah bener ini mbak, suka banget sama ajakannya untuk yang doyan kulineran untuk bijak saat kulineran demi kelestarian lingkungan. Miris banget lihat anak-anak muda yang meninggalkan sampah di tempat makan dan gak menghabiskan makannya. Ditambah lagi sampah yang ditinggalkannya itu non organik. Kalau kebiasaan di rumah, kalau makan di luar, kami bawa tupperware, kalau gak habis dibawa pulang. Begitu juga sampah, kalau bisa dibawa pulang, kami bawa pulang dan buang di tempat sampah dekat rumah.
BalasHapusIya nih banyak lokasi yang dulunya aman dari banjir eh malah skr jadi kebagian banjir juga. Kadang cuaca ga bisa ditebak juga ya sekarng jadi kacau akibat perubahan iklim.
BalasHapusKulineran boleh aja tapi harus bijak ya, beli sesuai kebutuhan biar ga bersisa makannnya sebagai salah satu jaga bumi.
Kalau bungkus makanan yang ga habis itu wajib ya kan kita udah bayar, gak usah malu
iya mbak, upaya menjaga bumi itu bisa dilakukan oleh siapa saja termasuk untuk para muda mudi bumi
BalasHapuscara yg dilakukan juga bisa yang simple tapi berdampak
Lah, pas banget ini baru kelar ikutan webinar yang membahas perubahan iklim. Salah satu pembahasannya ya agar kita senantiasa bijak dalam kulineran. Sebagai yang doyan kulineran, saya kena tabok banget nih sama postingannya. Hiks. Sering banget tetap pesan di aplikasi resto yang jauh, karena emang udah suka sama menunya. Eh ternyata itu juga berdampak pada kerusakan iklim. Ya gara-gara motor si kurir meski menempuh jarak yang jauh yaa :(
BalasHapusTernyata gerakan dari seorang foodies bisa berdampak besar untuk lingkungan yaa..
BalasHapusSuka banget sama hal-hal kecil yang seringkali aku gak perhatikan nih.. Soalnya kalau uda laper, beneran jadi semua dipengenin. Padahal mah...yang dimakan cuma segitu-gitunya.