Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

PPN di 2025, Bagaimana Pendapat Konsultan Pajak Jakarta ?

Pemerintah Proyeksikan Kenaikan Inflasi 0,3% dengan Tarif PPN Baru 12% di 2025

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian memperkirakan inflasi akan naik 0,3% di tahun 2025 setelah penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% pada 1 Januari 2020.



Ferry Irawan, Deputi Bidang Pengelolaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, mengatakan dampak terhadap konsumsi rumah tangga tidak akan sebesar kenaikan PPN sebelumnya di tahun 2022, karena tarif yang baru ini tidak berlaku untuk semua barang dan jasa.

“Kami memperkirakan inflasi akan meningkat 0,3%. Saat ini, inflasi berada di bawah 2 persen, dengan angka tahun ke tahun di bulan November sebesar 1,55 persen, yang mencerminkan inflasi yang terkendali,” kata Irawan pada hari Selasa di Jakarta.

Kenaikan PPN diatur dalam Undang-Undang Pajak 2022, yang menaikkan pajak dari 10 persen menjadi 11 persen pada April 2022 dan mengamanatkan kenaikan lebih lanjut menjadi 12 persen pada Januari 2025.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), kenaikan PPN 2022 mendorong inflasi dari 2,64% di bulan Maret menjadi 3,47% di bulan April, dan akhirnya mencapai 5,51% di akhir tahun.

Untuk tahun 2025, pemerintah menargetkan inflasi sekitar 2,5 persen. Langkah-langkah pengendalian inflasi termasuk membangun cadangan pangan, program stabilisasi harga, dan kerangka kerja sama antar daerah, Irawan menambahkan.

Meskipun ada jaminan dari pemerintah, Pusat Studi Ekonomi dan Hukum bersama Konsultan Pajak Jakarta memperingatkan bahwa kenaikan PPN dapat memperburuk inflasi dan menekan rumah tangga berpenghasilan rendah dan menengah, sehingga memperburuk kerentanan ekonomi.

“Kenaikan PPN akan menambah Rp 101.880 ($6) pada pengeluaran bulanan masyarakat miskin dan Rp 354.293 ($22) untuk masyarakat menengah,”

Media berpendapat bahwa tarif PPN yang tinggi lebih cocok untuk negara-negara yang lebih kaya seperti Norwegia, Denmark, dan Jerman, di mana daya beli yang kuat dan inflasi yang rendah dapat mengurangi tekanan ekonomi.

“Di Indonesia, kelas menengah sudah berada di bawah tekanan. Pemerintah harus membandingkan tarif PPN dengan negara-negara ASEAN lainnya, di mana tarif Indonesia adalah yang tertinggi,” kata Media.

Untuk meringankan beban ekonomi dari kenaikan PPN, pemerintah telah menyiapkan paket stimulus senilai Rp 827 triliun ($51,65 miliar) yang menyasar berbagai sektor, termasuk rumah tangga, pekerja, usaha kecil, dan industri padat karya. Rumah tangga akan menerima bantuan pangan dan potongan tagihan listrik, sementara pembebasan PPN akan diterapkan pada tepung terigu, gula industri, dan minyak goreng bersubsidi. Pekerja akan ditawarkan akses ke skema perlindungan kehilangan pekerjaan untuk mengurangi risiko PHK. Usaha-usaha kecil diharapkan mendapatkan keuntungan dari perpanjangan tarif PPh final 0,5%, sementara industri padat karya akan menerima insentif pajak upah, bantuan pembiayaan, dan subsidi untuk asuransi kecelakaan kerja.

Pemerintah juga akan memperkenalkan insentif PPN untuk kendaraan listrik dan hibrida untuk mempromosikan pilihan transportasi yang lebih bersih. Di sektor perumahan, pembebasan PPN akan berlaku untuk rumah dengan harga antara Rp 2-5 miliar, meskipun pembeli masih harus membayar PPN pada bagian yang melebihi Rp 2 miliar.

Celios: Kenaikan PPN Dapat Meningkatkan Pengeluaran Bulanan Sebesar $22 untuk Kelas Menengah

Sementara, Pusat Studi Ekonomi dan Hukum (Celios) memperkirakan rencana pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% akan memperburuk kondisi ekonomi, terutama bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah.

Kenaikan PPN ini diperkirakan akan meningkatkan pengeluaran masyarakat miskin sebesar Rp 101.880 ($6,3) per bulan dan masyarakat menengah sebesar Rp 354.293 ($22) per bulan. Menurut Celios, hal ini berpotensi menyebabkan lebih banyak orang jatuh dari kelas menengah ke kelas menengah yang rentan.

Media Wahyudi Askar, Direktur Kebijakan Publik Celios, mengatakan bahwa meskipun pemerintah dan DPR mengklaim bahwa kebijakan ini progresif dengan membebaskan PPN untuk barang-barang kebutuhan pokok, pada kenyataannya, banyak barang yang dikonsumsi rumah tangga berpenghasilan rendah masih dikenakan PPN.

Menurut Media, tarif PPN yang tinggi lebih sering diterapkan di negara-negara berpenghasilan tinggi dengan ekonomi yang stabil, seperti Norwegia, Denmark, dan Jerman, di mana daya beli masyarakatnya kuat. Sebaliknya, ekonomi Indonesia masih lemah, terutama untuk kelas menengah, dan kenaikan PPN akan menambah beban masyarakat.

“Masalah di Indonesia adalah ekonomi, terutama kelas menengah, sedang mengalami kesulitan. Agar adil, pemerintah harus membandingkan Indonesia dengan negara-negara ASEAN lainnya, dan Indonesia memiliki tarif PPN tertinggi,” tambah Media.

Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Celios, mengatakan kenaikan PPN akan berdampak luas pada berbagai barang, termasuk elektronik dan suku cadang otomotif.

Dia meyakini kebijakan tersebut tidak akan berkontribusi signifikan terhadap penerimaan pajak karena pelemahan daya beli masyarakat akan menurunkan omzet pelaku usaha, yang pada akhirnya akan menurunkan penerimaan pajak lainnya, seperti PPh Badan dan PPh 21.

“Bahkan deterjen dan sabun mandi pun dianggap sebagai barang kebutuhan pokok bagi masyarakat yang kurang mampu. Narasi pemerintah semakin kontradiktif mengenai keadilan pajak. Selain itu, kenaikan PPN menjadi 12% tidak akan berkontribusi banyak terhadap penerimaan pajak karena pelemahan konsumsi akan mempengaruhi omzet bisnis, yang akan berdampak pada penerimaan pajak lainnya seperti PPh Badan, PPh 21, dan bea masuk,” ujar Bhima. Pemerintah memperkirakan kenaikan PPN akan menambah penerimaan pajak sebesar Rp 75 triliun.

Bhima menyebutkan bahwa paket kebijakan ekonomi pemerintah cenderung berfokus pada langkah-langkah jangka pendek dan kurang inovatif. Insentif dan stimulus pemerintah hampir sama dengan sebelumnya. Pembebasan PPN untuk perumahan, kendaraan listrik, dan PPh final 0,5% untuk UMKM sudah ada sebelumnya.

“Bentuk-bentuk bantuan tersebut juga bersifat sementara, seperti diskon listrik dan bantuan beras 10 kg, yang hanya berlangsung selama dua bulan, sementara dampak negatif dari kenaikan PPN akan berdampak jangka panjang,” katanya.

Nailul Huda, Direktur Ekonomi Celios, menilai kebijakan pemberian insentif PPN untuk kendaraan hybrid menunjukkan ketidakkonsistenan, karena kendaraan ini lebih terjangkau untuk kalangan menengah ke atas, bukan menengah ke bawah. Selain itu, insentif yang bersifat sementara dan dapat dicabut sewaktu-waktu menimbulkan ketidakpastian bagi konsumen.

“Dampak kenaikan PPN terhadap pertumbuhan konsumsi rumah tangga juga negatif. Saat tarif PPN 10 persen, pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya 5 persen. Setelah tarif naik menjadi 11 persen, pertumbuhan melambat dari 4,9 persen pada 2022 menjadi 4,8 persen pada 2023. Diperkirakan akan melambat lebih lanjut pada tahun 2024,” katanya.

Secara keseluruhan, Celios berpendapat bahwa kebijakan ekonomi pemerintah berorientasi jangka pendek dan tidak memberikan solusi jangka panjang yang efektif.

Untuk meringankan beban ekonomi akibat kenaikan PPN, pemerintah telah menyiapkan paket stimulus senilai Rp 827 triliun ($51,65 miliar) yang menyasar berbagai sektor, termasuk rumah tangga, pekerja, usaha kecil, dan industri padat karya. Rumah tangga akan menerima bantuan pangan dan potongan tagihan listrik, sementara pembebasan PPN akan diterapkan pada tepung terigu, gula industri, dan minyak goreng bersubsidi. Pekerja akan ditawarkan akses ke skema perlindungan kehilangan pekerjaan untuk mengurangi risiko PHK. Usaha-usaha kecil diharapkan mendapatkan keuntungan dari perpanjangan tarif PPh final 0,5%, sementara industri padat karya akan menerima insentif pajak upah, bantuan pembiayaan, dan subsidi untuk asuransi kecelakaan kerja.

Pemerintah juga akan memperkenalkan insentif PPN untuk kendaraan listrik dan hibrida untuk mempromosikan pilihan transportasi yang lebih bersih. Di sektor perumahan, pembebasan PPN akan berlaku untuk rumah dengan harga antara Rp 2-5 miliar, meskipun pembeli masih harus membayar PPN pada bagian yang melebihi Rp 2 miliar.

Well, tetap semangat ya, Gaes...! Biar makin semangat yuk berpantun dulu kitaaa....:

Pergi ke pasar membeli kurma
Sekalian beli ikan brengkes
Selamat Tahun Baru 2025
Semoga kita makin berjaya dan sukses.💙


Salam 

Dian Restu Agustina
Dian Restu Agustina
Dian Restu Agustina Hi! I'm Dian! A wife and mother of two. Blogger living in Jakarta. Traveler at heart. Drinker of coffee

11 komentar untuk " PPN di 2025, Bagaimana Pendapat Konsultan Pajak Jakarta ?"

  1. Saya yang tidak bekerja dan tinggal di pedesaan, ga tahu apa² tapi tiba² kena dampaknya juga karena harga sembako dll kok langsung pada naik?

    BalasHapus
  2. Stimulus ini kalo gak salah hanya 2 bulan aja ya? Terus selanjutnya kek gimana hihi. Soalnya walau katanya untuk barang mewah pajaknya, tapi kan dampaknya terasa ke yang lain juga, seperti barang kebutuhan pokok

    BalasHapus
  3. Saya melihat fenomena ini sempat miris banget deh, soalnya media makin memperkeruh dan pemerintah cenderung sering memberi kejutan deh. Ya semoga kita semakin diberi kekuatan ya menghadapi ini semua.

    BalasHapus
  4. Inflasi di atas 2% itu udah enggak sehat sih, setauku. Jadi, ya sebaiknya pemerintah tahu betul efek dari kebijakan ini dan punya solusi jangka panjang juga sebagaimana dampak yang diakibatkan oleh kenaikan pajak

    BalasHapus
  5. Berdampak banget memang kenaikan pajak ini.. kita semakin terjepit tapi yang di atas semakin kuat...

    BalasHapus
  6. Sampe sekarang masih Gedeg klo inget keputusan naikin pajak ini mbak, enak bangeeeet bikin peraturan itu.
    Jadinya bawaan suuzon Mulu, ga ikhlas klo pajak dikorupsi utk foya2 mereka 🙃

    BalasHapus
  7. Pemerintah sepertinya ingin mengambil "jalan pintas" dalam mengisi dan mengurusi APBN yang carut marut karena mis-manajemen dan membayar hutang yang begitu menumpuk selama sepuluh tahun terakhir. Lagi-lagi yang "diajak susah payah" ya rakyat. Padahal saat ini rakyat banyak yang terjepit. Golongan menengah yang sempat stabil sekarang harus mengecangkan ikat pinggang agar fresh money tetap terjaga.

    Saya berharap bahwa - katanya - kenaikan PPN dikenakan "hanya" kepada barang mewah dapat dipertimbangkan kembali. Atau setidaknya pemberlakuan tersebut benar-benar dilaksanakan sangat selektif. Jangan sampai merambat pada semua sektor kehidupan yang mendominasi nafas hidup orang banyak, publik kebanyakan, khususnya mereka yang berada di level bawah.

    BalasHapus
  8. sebetulnya PPN pernah naik dari 10 % pada April 2022, tapi masyarakat tenang-tenang aja karena gak diblow-up
    Imbasnya ya seperti ditulis di atas
    Bedanya sekarang diblow-up sehingga rame banget. sebagai pelanggan listrik 2200 W saya dapat diskon 50 % walau cuma 2 bulan, Januari dan Februari
    Lumayan lah ^^

    BalasHapus
  9. Untung pajak gak jadi naik jadi 12%. BAyar pajak yang sekarang aja sudah gak ikhlas... Apalagi kalau lihat kebrobrokan para penegak hukum, kekurangdisiplinan para ASN... Rasanya gak ikhlas aja.... Apa mereka gak nyadar kalau dibayar pakai uang pajak rakyat?
    BTW, semoga perkiraan inflasi gak sampai menyentuh angka 2% ya...

    BalasHapus
  10. Kena prank pemerintah, dadakan ga jd naik pas tahun baru. Padahal uda banyak email dr perusahaan reminder kalo PPN naik.

    BalasHapus
  11. Walaupun katanya cuma berlaku untuk barang mewah, tapi ada juga yang uda kedampak loh.. Contohnya jual beli pulsa hp, coba deh perhatikan atau tanya ke bagian counternya. Itu uda mulai naik harganya.. Dan kayak hampers anak juga uda naik harganya. Kata org toko memang dampak dr pajak..

    BalasHapus