Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Canang Sari

Canang Sari: cerpen ini memenangi juara II Lomba Cerpen Islami yang bertema Ramadhan, bagi masyarakat Indonesia di Amerika. Lomba dihelat oleh IMSA (Indonesian Muslim Society in America) pada tahun 2010)

"Emak…Mak Idah,” suara Luh Kerti terdengar memanggil namaku.
“Masuk..Luh, Mak di dapur ,” sahutku sambil berjalan ke ruang depan menemuinya.
“Mak, ini uangnya,” diangsurkannya selembar dua puluh ribuan ke tanganku.
“Suksma Luh.Bawa saja, pakailah untuk beli susu si Komang.”
“Ah..tak usah Mak, “ elaknya. “Mak sudah sering bantu saya, Mak pakai saja.”
“Sing Kenken. Anak-anak butuh makanan sehat. Bawa saja! Aku masih ada uang,” ujarku sambil mengelus kepala anaknya yang berusia empat tahun.
“Suksma Mak’” . Mata Luh Kerti basah.
Melihatnya, mengingatkanku pada Meme Luh Kerti, almarhum Mbok Wayan.


Cerpen Canang Sari



Bermula dari suatu pagi buta di bulan Ramadan, saat Azan Subuh pun belum bergema. Ramai orang datang dari arah pantai sambil berkabar, “Kapal Gus Merta tenggelam!” Bergegas pintu-pintu rumah terbuka, riuh rendah perempuan-perempuan bersuara, jerit terdengar, isak tangis membelah gelap. Ada sembilan awak kapal, terombang-ambing badai, dihantam kerasnya ombak, yang mengantarkan mereka ke haribaan-Nya. 

Innalillahi wa inna ilaihi rojiun! 

Hanya dua orang yang selamat. Duka mendera tujuh perempuan yang mematung, dengan bayi di gendongan dan buah hati di gandeng tangan, tak mengira kini harus hidup tanpa suami lagi. Dan, aku ada diantara mereka. Dengan dua orang balita, termangu tanpa air mata. Saatnya telah tiba, lelakiku telah kembali pada pemiliknya. Kusadar, betapa sesungguhnya semua yang datang dari Allah akan kembali kepada Allah.

Siang itu pun kesibukan berawal. Warga kampung berkumpul di masjid As-Syuhada. Baik warga Muslim maupun Hindu semua datang. Para lelaki sibuk menyiapkan tempat takziah. Kaum perempuan meredakan tangis anak dan ibunya. Tak banyak bicara Sholat Ghaib didirikan untuk empat Muslim yang meninggal. Doa-doa dilantunkan, ayat suci membahana menyibak riuh rendah suara bocah yang tak sadar mereka telah kehilangan ayah. Lalu, malam itu ada anak-anak yatim bertanya dimana gerangan ayahnya. Ada ibu yang menjawab dengan senyum bahwa Insya Allah kelak mereka akan berkumpul kembali di surga.

Esoknya, kesibukan berpindah ke bale banjar. Persiapan upacara yang akan diadakan untuk tiga lelaki Hindu yang turut menjadi korban. Warga Hindu bahu membahu menyiapkan berbagai keperluan upacara. Kaum Muslim ikhlas membantu sebisanya.

Langit hitam sekelam duka warga Kampung Bugis.

***

Kampung Bugis berada di Pulau Serangan, beberapa kilometer sisi Selatan Denpasar. Sejak tiga abad lampau, leluhurku telah bermukim disini. Dari Bugis, dengan tangguh mereka mengarungi lautan, sampai mendarat di pantai kerajaan Badung. Syeikh Haji Mukmin, begitu sosok pimpinannya yang akhirnya diijinkan tinggal di Pulau Serangan oleh Raja Badung. Mereka pun berketurunan dan tetap meyakini agama Islam. 

Sejak saat itu, warga Muslim hidup di tengah-tengah perkampungan warga Hindu. Hampir tak ada beda antara rumah kami dan mereka, hanya saja ada sanggah/merajan di halaman rumah mereka yang tak kami punya. Di tengah kampung berdiri masjid Asy-Syuhada. Dulunya hanyalah bangunan musholla yang sederhana Bergotong royong semua warga membangunnya hingga jadi bangunan masjid yang lebih besar.

Sejak kecil aku diajarkan menghormati teman-temanku yang beragama Hindu. Mereka menyebut kami nyama selam. Sehari-hari jika ada kemalangan, acara pernikahan, atau kegiatan banjar yang lain kami bersama-sama mengerjakannya. Mereka akan menolong saat kami mempersiapkan ketupat dan penganan khas hari raya Idul Fitri. Pun, ikut bekerja saat ada penyembelihan hewan Qurban di masjid. 

Sementara, kadangkala kami juga membuat canang sari sambil berbincang, bersenda gurau bersama para ibu dan gadis-gadis. Meski kami tak pernah tahu pasti apa arti masing-masing sesaji itu. Adapula tradisi ngejot yang mempererat tali persaudaraan kami. Walau begitu, selalu terngiang di benakku ajaran Mak Zainab, guru mengaji di masjid, Lakum dinukum waliyadin, untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku. Harmonis kami hidup berdampingan dengan keyakinan kebenaran agama masing-masing.

***

Selepas Tarawih, Haji Umar memberitahu keempat perempuan yang suaminya jadi korban, tentang bantuan untuk meringankan beban mereka. Aku diminta membantu Mak Zainab mengajar anak-anak mengaji di masjid. setiap selepas Maghrib. Setiap bulan aku akan mendapatkan beras. Juga, kami berempat ditawari menyortir ikan di tempat pengepulan ikan milik beliau. Memang kami takkan memperoleh imbalan uang, tapi kami mendapatkan upah ikan segar yang boleh dibawa pulang ataupun dijual lagi. Alhamdulillah! Betapa teladan Rasulullah sebagai Abul Yatama benar-benar dicontoh oleh imam masjid kami itu.

Suatu siang saat pulang menyortir ikan, tetanggaku Mbok Wayan menawariku singgah. Saat itu ia sedang membuat canang. Sehari-hari dia memang berjualan canang di pasar. Sembari berbincang tanganku pun bekerja membantunya. 
Aku serut daun janur, kubuat bentuk segi empat, kutaruh porosan, seiris pisang, seiris tebu, boreh, kekiping, dan terakhir kububuhi bunga beraneka warna, putih, kuning, merah dan hijau. 

Saat melihat kebisaanku, Mbok Wayan pun menawariku untuk membuat canang di rumah, nanti dia yang membelikan bahan-bahan dan yang akan menjualnya di pasar.

Begitulah, tiap pagi aku bekerja menyortir ikan di tempat Haji Umar, selepas Maghrib mengajar mengaji anak-anak, dan di senggang waktu itu, di rumah aku membuat canang. Hari demi hari, Ramadan datang dan pergi, Alhamdulillah masih ada rejeki untuk anak-anakku. Beras yang kudapatkan dari masjid cukup untuk kami makan, ikan segar yang kuperoleh bisa aku masak, kadang aku asinkan, atau aku jual jika berlebih. Untuk membeli keperluan lain aku dapat uang dari hasil berjualan canang. 

Bertahun-tahun sampai mbok Wayan tak lagi berjualan dan digantikan anaknya, Luh Kerti..Si Hasan dan si Husin pun bisa terus sekolah. Hal yang jarang bisa didapatkan anak-anak di pulau ini. Mereka membantuku mencari uang dengan menjual cenderamata dan jaje pada wisatawan di Taman Penyu Kadangkala mereka juga mencari ikan di pesisir. Setamat SMA mereka melanjutkan kuliah di kota Yogyakarta sambil bekerja. Sedikit-sedikit aku masih bisa mengirimkan uang, selebihnya mereka berdua mencari sendiri biayanya. 

Aku memang mendidik mereka untuk gigih dalam mencari ilmu karena ia merupakan kemuliaan dunia akhirat dan pahala yang terus menerus sampai hari kiamat. Kuminta mereka selalu berpedoman pada firman Allah SWT bahwa“ Niscaya Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” dan selalu ingat pada sabda Rasulullah SAW bahwa Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslim.

***

Hari ke dua puluh enam Ramadan 1425 H. Entah kenapa pagi ini, langkah kakiku mengarah kearah pantai. Ada rindu yang menggelegak. Kenangan semasa bocah, bermain di pasir pantai yang kuning keemasan, berkilau diterpa sinar surya. Menebak-nebak bersama sekumpulan teman, di bawah pasir yang manakah induk penyu menyimpan telor-telornya. Meski begitu, kami takkan pernah mengusik kedamaian telor-telor itu. Betapa senang hati, saat melihat mereka menetas dan berbaris menuju arah pantai untuk menjadi penyu dewasa yang kelak akan memulai lagi lingkaran hidup yang sama. 

Entahlah, sejak penyu banyak diburu,dijual untuk dimakan dagingnya, kulitnya dijadikan souvenir, atau telor-telornya diambil dengan alasan untuk ditangkarkan, semua kenangan itu tinggal cerita saja Mereka telah enggan berlabuh disini. Pulau Penyu ini sudah tak punya penyu lagi. Astaghfirullah! Betapa kejamnya kami ya Allah!

Terbayang pula saat ratusan pamedek menyeberang dari Denpasar ke Serangan, dalam barisan jukung, yang kadangkala saat air laut surut, mereka harus turun dan berjalan sepanjang dua kilometer melewati semak belukar, menyusuri hutan bakau menuju Pura Sakenan saat piodalan agung yang bertepatan dengan Hari Raya Kuningan. Sejak ada jalan yang menghubungkan Pulau Bali dan Pulau Serangan, luntur sudah tradisi iring-iringan itu.

Aku terus berjalan di tepian pantai.,.kakiku merindukan pasir yang lembut. Mataku mengenang indahnya alam, tapi..saat ini sejauh mata memandang hanya hamparan gurun kapur putih yang menyilaukan mata. Reklamasi yang terbengkalai, telah membunuh semua kenangan pantaiku yang indah. Endapan lumpur dan sampah membuat para lelaki di pulau ini kesulitan mencari ikan di pesisir, juga beternak ikan hias. Membuat mereka tak punya pilihan lain dengan mengusik terumbu karang tempat berbagai makhluk yang hidup di laut yang semasa kecil bisa kami nikmati hanya dengan melihat dari atas jukung. Sekarang, semua itu musnah, rusak. Masya Allah!

Kulemparkan pandangan ke laut lepas, teringat berpuluh tahun silam saat Ramadhan juga, suamiku meregang nyawa di tengah badai yang menghantam kapalnya. Ah, betapa cepat waktu berlalu, anak-anakku telah mandiri dengan keluarga mereka. Si sulung tinggal di Medan, si bungsu berada di Semarang.Tiap lebaran mereka menjengukku Satu waktu mereka membujukku untuk tinggal bersama mereka. Aku menolaknya. Aku masih sehat, masih sanggup mengajar mengaji, pun membuat canang. Inilah yang diributkan Hasan dan Husin. Mereka bilang kenapa harus mencari uang dari membuat canang, sesajen yang bertentangan dengan syariat Islam. Untuk hal ini aku turuti pendapat mereka. 

Mereka berdua akan mengirimkan uang untuk biaya hidupku. Tapi, aku tak mau hanya berdiam diri saja. Bersamaan sepinya tangkapan nelayan,Luh Kerti mengajakku membantunya memasak untuk warung ikan tongkol dan tuna bakar yang dijajakannya di dekat pos masuk pulau. Aku memasak sayur bulung, beberapa jaje Bali, dan kerupuk kulit ikan tuna. Tiap pagi, sepulang dari berjualan canang, Luh mengambil hasil masakanku. Sebenarnya , lagi-lagi anak-anak memprotesku. Tapi aku bersikukuh, aku masih kuat bekerja, karena aku masih ingin membantu sesamaku. Aku masih ingin berzakat, infaq, sedekah dari hasil keringatku sendiri. Selain itu, aku tak mau jadi pikun dan sakit karena hanya duduk berdiam diri saja. Untunglah, untuk alasan tersebut anak-anakku mau mengerti.

***

Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuuh. Sholat malam aku lanjutkan dengan Sholat Witir. Malam dua puluh tujuh Ramadan yang tenang dan hening. Aku bersujud memohon ampunan atas semua dosa..

Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul afwa fa’fuanni. Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, Engkau senang memaafkan kesalahan, maka maafkanlah aku. 

Kupujikan syukur atas dikabulkannya berbagai pinta. Istighfar tak henti kubisikkan. Zikir kurangkai panjang. Saat khusyu menguasai diri, terasa ringan hati ini seperti tak ada beban. Juga, tiada rasa sakit di badan yang belakangan sering menyerang. Aku merasa bagai tak berjarak dengan-Nya.

***

Suasana pagi hari itu di Kampung Bugis tenang. Mentari tak tersebar sinarnya, pun tidak menyilaukan. Bergegas dua wanita paruh baya berjalan ke rumah Mak Idah. Terheran kenapa ia tak datang ke masjid Subuh tadi. Mungkinkah ia tiba-tiba sakit ataukah ketiduran tanpa mendengar suara Azan. Meski yang terakhir hampir mustahil adanya. Mengingat Mak Idah hampir tak pernah melewatkan Sholat Subuh berjamaah di Masjid.

Masuk lewat pintu dapur yang terbuka, di kamar tidur mereka menjumpai sesosok wanita masih mengenakan mukena, Nampak dalam posisi setengah bersujud dengan senyum dan mata terkatup, tak bernyawa lagi. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun!

***

Keterangan:


Canang Sari : sesajen sehari-hari dalam persembahyangan umat Hindu Bali
Suksma : terimakasih
Sing kenken : tidak apa-apa
Mbok : kakak ; Meme : ibu 
Nyama selam : saudara Islam
Sanggah/merajan : tempat pemujaan satu keluarga inti
Piodalan agung : upacara besar
Ngejot : tradisi mengirim makanan dari tetangga Muslim ke non-Muslim dansebaliknya
Porosan : sebentuk kecil daun janur kering yang berisi kapur putih
Boreh : sejenis bubuk berbau wangi
Kekiping : sejenis kue dari ketan yang kecil dan tipis
Pamedek : umat yang akan bersembahyang
Jaje : kue 
Bulung : sayur dari rumput laut



Dian Restu Agustina
Dian Restu Agustina Hi! I'm Dian! A wife and mother of two. Blogger living in Jakarta. Traveler at heart. Drinker of coffee

2 komentar untuk "Canang Sari"

  1. suka ceritanya...
    kebersamaan dalam perbedaan, tidak ada perpecahan, yang seperti ini sudah sangat jarang di Indonesia.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih Mbak Lusiaoktriwini...Semoga Indonesia jadi lebih baik lagi yaa

      Hapus