Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

KASADA

KASADA, sebuah cerpen saya yang memenangi juara II Lomba Cerpen Islami Tema Ramadhan 2012 yang diselenggarakan IMSA (Indonesian Muslim Society in America) - 8 Sept 2012


Bulan Kasada, saat purnama ada di atas kepala, ribuan wong Tengger, laki-laki, perempuan, tua, muda, besar, kecil, bersama-sama menggotong ongkek menuju kawah Bromo. Dua ratus lima puluh anakan tangga dipijak sampai ke puncak. Beriringan pula tetamu ikut mengarak sesajen itu.

Di tengah dingin yang tak main-main, menyerbu hingga ke tulang dan membekukan malam. Tandur tuwuh Tengger dan hewan ternak siap dilarung ke dalam salah satu pusaran bumi, kawah Gunung Bromo. 

Meski sesaji tak serta merta kandas ke dasarnya. Akan ada orang-orang yang membentangkan jaring di tepian kawah yang mengaisnya. Lalu, semua ongkek pun akan dilempar sampai tak bersisa. 

Pertanda tunai sudah persembahan sedekah bumi sebagai wujud pengorbanan leluhur Suku Tengger dan ucapan rasa syukur kepada Sang Hyang Widi Wasa.


IMSA
Sumber: https://travel.tempo.co/read/598745/mengenal-upacara-yadnya-kasada-di-bromo



***
Usai Shubuh, tubuh kecilku meringkuk di dingklik di depan prapen, berbalut sarung menangkis dinginnya pagi.

“Isun, kasih namamu Bilal Romadhon itu ada maksudnya” kisah Mak selagi sibuk menambah kayu ke dalam prapen. “Bilal itu nama sahabat Rasulullah, pengumandang azan pertama di bumi. Budak berkulit hitam yang tetap teguh memegang iman meski disiksa majikan, pun sampai saat sudah dibebaskan". 

"Sebesar itulah harapan Mak dan Bapak agar kelak kamu bisa meneladaninya. Lalu, kenapa Romadhon, karena kamu Isun lahirkan di bulan Ramadan. Bulan suci saat bercermin diri, bertaubat memohon limpahan rahmat, juga berpuasa agar peka berzakat, infak dan sedekah pada sesama.”

Entah sudah berapa kali Mak menceritakan hal yang sama, tapi aku tak pernah bosan mendengarnya. Bangga rasanya menyandang nama itu. Apalagi tak banyak yang bernama sepertiku di Desa Wonokitri ini.

Tiap pagi, usai sholat Shubuh berjamaah, Bapak dan Mak menceritakan berbagai kisah Islami dengan kesahajaan bahasa mereka. Sambil menghangatkan diri di depan prapen sebelum mereka bersiap ke tegalan dan aku bersiap ke sekolah. Juga sembari menikmati nasi aron dan sambal krangean untuk sarapan pagi. 

Kisah favoritku saat itu adalah sejarah para nabi, juga cerita tentang kehidupan Rasulullah. Selain itu, selepas Maghrib, Bapak rutin mengajariku mengaji. Semua kebiasaan tersebut membuatku sadar bahwa ada perbedaan antara aku dan sebagian besar teman-temanku.

Perbedaan yang tidaklah mudah, seperti untuk menjalankan kewajibanku menunaikan sholat fardu sehari lima waktu, sementara temanku menjalankan sembahyang tri sandya tiga kali dalam sehari. 

Sulit juga buatku untuk tak ikut merayakan dua hari raya yaitu Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Karo. Dikarenakan dua-duanya berlimpah makanan, mainan, baju baru dan dedolan. Belum lagi godaan saat menjalankan ibadah puasa sebulan penuh di bulan Ramadan.

Terkenang di suatu Ramadan, sepulang sekolah, diam-diam aku minum air pancuran. Kutadahkan di tangan dan kureguk habis. Leganya! Panas sekali hari ini, Ramadan saat ketigo, musim kering yang terik dan berdebu. 

Sebuah perjuangan bagi anak seusiaku untuk berpuasa juga harus pergi pulang sejauh 6 kilometer menuju sekolah, disaat sebagian besar temanku tak berkewajiban menjalankannya.

Sesampainya di rumah Mak menatapku dengan curiga.

“Sira, minum di pancuran tadi?”

“Ngga Mak..cuci muka saja.”

“Bilal, Allah itu Maha Melihat! Tidak ada manusia yang mampu menyembunyikan perbuatannya dari penglihatan Allah SWT, baik yang dilakukan di tempat ramai maupun sepi Kalaupun kamu diam-diam minum saat sedang puasa dan isun ngga lihat, Allah yang Melihat.!.”

“Ya Mak, maaf…reang tadi haus sekali”

“Ingat Bilal, biasakan jujur. Jadilah wong Tengger yang prasaja, prayoga, pranata, prasetya, dan prayitna. Berwataklah jujur, bijaksana, patuh pada aturan,setia dan waspada.. Ya sudah sana, ambil wudhu, Sira sholat Zuhur dulu!”

Begitulah Mak yang selalu mengingatkanku untuk teguh menjaga akidah juga mengingat kearifan perilaku leluhurku.

***
Pukul tiga dinihari. Hardtop sudah siap kukemudi. Tamu nusantaraku kali ini pasangan muda dengan dua buah hatinya. Membuatku terkagum sesaat. Mengenang begitu banyak insan negeri ini yang telah mengabaikan kemolekan bumi pertiwi. 

Dimana negeri tetangga lebih banyak mereka sambangi dibandingkan menjelajah nusantara. Pun budaya luar makin dipilih hingga karya anak bangsa sendiri tersisih. Sedih!

“Malam, Pak! Reang Bilal, lare Tengger!” Itulah sapaan khas untuk para tamuku.

Dan, obrolan pun dimulai, mengalir dan cair. Aku tak pernah pelit berbagi kisah seputar tanah kelahiranku. 

Meskipun tak ada keharusan untuk itu, toh aku bukan pemandu wisata. Tapi bagiku bercerita pada tetamu adalah bagian dari suka cita atas kedatangan mereka. Tak berharap lebih. Hanya rasa yang membuncah saat mereka berucap puas dengan kunjungannya ke bumi Tengger.

Hardtop pun kupacu. Kelokan jalan terjal yang kulewati bagai di luar kepala buatku. Kapan saatnya aku membanting stir ke kiri, menghindari lubang di sebelah kanan, pun menjauhi jurang menganga lebar di sepanjang arah Puncak Penanjakan.

Sembari mengemudi, kuurai legenda tentang asal muasal nenek moyangku pada tamuku. Roro Anteng, sang putri Raja Majapahit yang bersuamikan Joko Seger, putra seorang Brahmana.

Mereka adalah pasangan penguasa Tengger yang budiman, tapi sayangnya tak jua dikaruniai keturunan. Sampai di tengah pertapaan saat memohon kepada Sang Pencipta, terucaplah janji, jika mereka berputra, akan dikorbankannya kelak sang putra bungsu ke kawah Bromo. 

Janjipun diikat. Sementara waktu berlalu dan janji itu tak bertepi. Sang Pencipta murka dan menjilat si bungsu Kesuma serta menelannya ke dalam bumi.

Titah terucap : “Hiduplah damai dan tenteram. Dan ingat akan persembahan tiap purnama di bulan Kasada”

***
Puncak Penanjakan. Di atas menara pandang, dalam remang, berpendar jutaan bintang di awan. Mewakili betapa tiada berartinya diri di hadapan Illahi. Subhanallah! Maha Suci Allah!

Semua orang tekun menunggu. Tetamu nusantara dan mancanegara bersiap menanti semburat merah kejinggaan nun jauh di ufuk Timur. Setiap orang sabar bertahan dalam helaan nafas panjang, untuk menyaksikan pertukaran singgasana antara rembulan dan sang surya. Sementara mentari pun naik perlahan. Tampak paling jauh, Semeru berdiri dengan gagah menjulang di pelukan awan. 

Lebih dekat tampak bentuk pertautan antara lembah dan ngarai dengan kaldera lautan pasir yang maha luas, ada Gunung Bromo dikelilingi Gunung Batok, Gunung Widodaren, Gunung Kursi dan Gunung Watangan. Eksotik! Memukau! Cantik! Hamparan lautan pasir Nampak dengan malu-malu memantulkan bias mentari. 

Benar-benar lukisan abadi keindahan mayapada dari Sang Pencipta. Takjub! Meski telah berkali-kali kunikmati keindahan itu. Dalam bisikku, syukurpun teruntai akan kebesaran Al Khaliq.

***
Ramadan tahun ini, wong Tengger menyambut gawe besar Kasada. Mendhak tirta di sejumlah sumber air di kawasan Gunung Bromo mengawali ritualnya. Sementara di balai desa masing masing, warga melakukan mepak. 

Melengkapi perhelatan, pentas berbagai kesenian tradisional diadakan, tayuban, remo, reog, juga upacara penyambutan tamu yang digelar di Pendapa Agung Wonokitri untuk Brang Wetan dan Pendapa Agung Cemorolawang untuk Brang Kulon. 

Sampai menjelang tengah malam wong Tengger dengan baju adatnya turun untuk puncak upacara Kasada di Pura Agung Poten. Sebagai pendahuluan buka lawang digelar yang disusul dengan ujian dan pelantikan dukun adat. 

Lalu ongkek yang berisi berbagai hasil bumi dimantrai. Dan, Kasada pun berakhir saat hadirin berbondong-bondong melarung ongkek ke kawah gunung Bromo.

Sementara, di sebuah musala sederhana, beberapa kilometer dari ritual Kasada , aku sedang memimpin tadarus bersama kaum Muslimin di sekitarku. Sejak lama, diantara kesibukanku menjadi petani sayur dan pengemudi kendaraan wisata Bromo, aku mengenalkan Islam di lingkunganku. 

Bukanlah secara ekstrim, tapi dengan mudah dan lunak. Tak ada pembicaraan monoton mengenai konsep halal dan haram. Pun, jika mereka memilih jadi mualaf itu bukan karena paksaan. 

Meskipun uniknya saat Syahadatain telah terlafal,tak jarang kebiasaan setiap harinya belum mencerminkan sebagai seorang Muslim. Bersyukur banyak bantuan yang kami terima. Sebuah organisasi Islam membantuku mengoordinir kegiatan sunatan massal untuk kami. 

Ada pula wakaf mushaf Al Quran untuk masing-masing keluarga. Pun, nikah massal bagi pasangan suami istri Muslim yang masih terkendala aspek legalisasi dari pemerintah.

Ada haru biru di benakku jika kaum mualaf itu satu demi satu makin kokoh imannya dan tambah kuat pengamalan agamanya. Setiap selepas Ashar ada kegiatan mengaji bagi anak-anak agar mereka menjadi Muslim yang tangguh sejak dini. 

Seminggu sekali mushala kecil ini juga diramaikan dengan acara pengajian bagi bapak-bapak dan ibu-ibu secara terpisah. Berbekal tekad kami untuk bersama-sama membentengi diri agar menjadi Muslim yang lebih baik lagi. Tentu saja dengan tetap hidup berdampingan dengan masyarakat di sekitar kami.

Begitulah hidupku menjadi bagian dari Suku Tengger yang damai dan makmur. Bersama dalam perbedaan kami akan menjunjung budaya ini selamanya. 

Barakallah!

Hong Ulun Basuki Langgeng.

“Reang Bilal. Lare Tengger”

***


Indonesian Muslim Society in America
saya menjadi anggota IMSA saat tinggal di Amerika dan mengikuti  Lomba Cerpen Ramadan IMSA 1433 H. Alhamdulillah jadi juara 2 - hadiahnya sertifikat dan uang $75



Catatan:
Kasada : upacara adat suku Tengger yang diadakan pada hari ke 14 dan 15 pada bulan Kasada penanggalan Tengger.
Wong: orang
Ongkek : aneka sesaji hasil bumi dan hewan ternak yang dipikul untuk dilarung ke kawah Bromo
Tandur tuwuh : hasil bumi
Reang : aku (laki-laki)
Isun: aku(perempuan)
Sira: kamu
Lare: anak
Dingklik ; bangku kecil dari kayu
Prapen : perapian
Tegalan : ladang
Nasi Aron: nasi jagung khas Tengger
Sambal Krangean: sambal terasi ditambah buah krangean yang tumbuh di Tengger(seperti merica)
Tri Sandya : sembahyang 3 kali sehari (pagi, sore, malam)
Karo : upacara yang digelar setiap tahun pada bulan kedua/Karo kalender Tengger
Ketigo : kemarau dedolan: jalan-jalan
Mendhak Tirta : mengambil air suci mepak:ritual di masing-masing desa
Brang Kulon :warga suku Tengger yang bermukim di sisi Barat (Pasuruan,Malang)
Brang Wetan : warga suku Tengger yang bermukim di sisi Timur ( Probolinggo,Lumajang)
Buka Lawang ; ritual awal Kasada untuk meminta ijin leluhur sebelum digelar upacara.
Hong Ulun Basuki Langgeng : Semoga Tuhan memberkati dan makmur selamanya


Dian Restu Agustina
Dian Restu Agustina Hi! I'm Dian! A wife and mother of two. Blogger living in Jakarta. Traveler at heart. Drinker of coffee

32 komentar untuk "KASADA"

  1. Keren mba :) semoga terus berkarya y mba

    BalasHapus
  2. Indahnya menjadi muslim tapi tetap tahu akarnya ya mbak TFS

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yup!Benar sekali Mba April Hamsa. Btw, thanks yaaa :)

      Hapus
  3. Keren banget Mba Dian, bahkan sejak dulu udah memenangkan banyak lomba ih :D

    Btw saya gagal fokus dengan cerita Bromo ini, karena dulu saya pernah baca di buku, entah fiksi atau sejarah beneran, saya lupa.
    Diceritakan bahwa Bromo itu ditemukan oleh keturunan kerajaan di Mojokerto, mereka terdesak oleh masuknya ajaran Islam di mana-mana, demi mempertahankan ajaran Hindu, mereka pergi membelah hutan, berhari-hari kemudian sampailah mereka di tanah yang subur yaitu dekat Bromo itu.

    Memang asal usulnya dari Hindu ya, jadinya sebagai muslim di Tengger sungguh kudu bisa beradaptasi lebih ya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, karena pendatang, pernikahan...kini sudah ada kampung Muslim di sana Mbak Rey

      Hapus
  4. Aku terhanyut baca kisahnya. Suku Tengger memang kuat banget ya tradisinya, bisa dipahami bagaimana sulitnya berdakwah di sana dalam cerita

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, mbak...saya dapat cerita ada Kampung Muslim di sana jadi saya kembangkan idenya

      Hapus
  5. Mba Dian ini emang selalu bikin aku merasa takjub ih.. beneran bisa apa aja.. puisi iya, nulis cerpen iya, pokoknya semua dilakoni deh.. bagus banget ceritanya mba.. pantesan juara...

    BalasHapus
  6. Saya suka dan merinding pas baca paragraf ini:

    Setiap orang sabar bertahan dalam helaan nafas panjang, untuk menyaksikan pertukaran singgasana antara rembulan dan sang surya. Sementara mentari pun naik perlahan. Tampak paling jauh, Semeru berdiri dengan gagah menjulang di pelukan awan.

    Tadinya baca blog Mba Dian cerpen ini juara lomba, jadinya saya gak pengen skip satu kata pun. Akhirnya disave buat dibaca terakhir pengantar tidur malam ini. Alhamdulillah, semoga saya mimpi indah wisata ke Bromo malam ini. Keren keren keren sekali mbaaaaa. Terima kasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih, Mbak Mutia
      Itu sensasi yang saya rasakan saat berkesempatan mengunjungi Bromo dan menikmati terbitnya matahari...maka feel-nya dapat waktu nulis ini hihi

      Hapus
  7. Kisah yang belum banyak diketahui masyarakat umum ya, soal minoritas di negara kita juga ini hehehe.
    Selamat Mbak udah jadi juara dalam lomba cerpennya

    BalasHapus
  8. Pantesan juara, bagus sekaliiii.....
    Keren mbak Dian, ini bahasa jawa Tengger ya?
    Pastinya udah melalui riset mendalam sehingga cerpen mbak Dian sangat memukau.
    Selamat mbak

    BalasHapus
  9. Kereen. Aku ternhanyut sama ceritanya. baca dari atas sampai bawah. Ini cerpen sekaligus nambah wawasan.

    BalasHapus
  10. Aihh kerennya mbak, walau udah lama..tapi Selamat yaa atas kemenangannya. PR banget nih buat saya, selalu pengen bisa bikin cerpen, tapi tiap nulis kok ga kelar kelar juga ya. Masih berantakan bikinnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih, Mbak..lagi mood ngalir cepernnya, kalau sekarang lebih ngalir kalau nulis non fiksi hihi

      Hapus
  11. Memang layak menjadi juara, tulisannya mengalir indah enak di baca. Terima kasih sudah berbagi ya mbak, senang bisa membaca cerpen juara di Lomba Cerpen Islami Tema Ramadhan 2012 yang diselenggarakan IMSA (Indonesian Muslim Society in America). Keren mbak :)

    BalasHapus
  12. Memang layak menjadi juara, tulisannya mengalir indah enak di baca. Terima kasih sudah berbagi ya mbak, senang bisa membaca cerpen juara di Lomba Cerpen Islami Tema Ramadhan 2012 yang diselenggarakan IMSA (Indonesian Muslim Society in America). Keren mbak :)

    BalasHapus
  13. Wah keren loh Mbak Dian. Selamat ya. Semoga dengan kemenangan ini memberi semangat lebih untuk tetap berkarya dalam dunia literasi.

    BalasHapus
  14. Luar biasa sekali Mbak Dian. Selamat ya.
    Saya sangat menikmati alurnya. Banyak juga informasi baru.
    Sekali lagi, selamat ya.

    BalasHapus
  15. Wah mbak dian keren, jago nulis cerpen juga ya...
    Cerpennya inspiratif

    BalasHapus
  16. Mbak Dian ki memang dari dulu tulisannya sudah menghanyutkan. Bagus banget! Aku suka sekali sama tulisan fiksi yang mengangkat budaya dan kesenian nusantara kita. Apalagi tulisan seperti ini dibawa ke mancanegara. Pasti disukai. Lah, orang luar aja selalu antusias kok dengan beragam budaya yang kita punya.

    Kapan nulis cerita begini lagi, Mbak?

    BalasHapus
  17. Wuih Mbak Dian keren banget. Lengkap deh jago nulisnya. Ya keren tulisan di blognya, ya jago nulis fiksinya. Saluuut.

    BalasHapus
  18. Jadi itu tiap tahun ada ada acara larung ya Mbak. Ngebayanginnya pasti sangat rame, diikuti hampir semua masyarakat sekitar.

    BalasHapus
  19. Ini bagus banget cerpennya. Aku sempet bingung dengan arti beberapa kata, ternyata ada keterangan di bawah. Hehe.

    BalasHapus
  20. Wah asik.. berkesempatan baca cerpen yang udah menang lomba. Cerpen ini memang bagus banget dan aku belajar beberapa hal serta kosakata baru juga.

    BalasHapus
  21. Ceritanya enak banget dibaca, ngalir dan seakan menghadirkan suasana Kasada di hadapan mata. Aku masih penasaran karena sampai sekarang belum sempat ke Bromo, gagal terus nih dari dua tahun lalu.

    Oiya, selamat ya mbak Dian, meski udah lama tapi masih tetap menarik untuk diceritakan saat ini.

    BalasHapus
  22. Keren kak. Semangat terus ya dalam berkarya.

    BalasHapus