Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kinanthi

KINANTHI (Sebuah Cerpen)



Dian Restu Agustina



Lobby hotel lengang. Tamu di sofa seberang, nampaknya sama sepertiku, sedang menunggu. Dentingan piano mengalunkan musik lembut senada dengan cahaya ruangan yang temaram. Bartender tampak menyibukkan diri di balik meja bar. Bell boy yang berjaga di pintu terlihat menguap beberapa kali. Terdengar sesekali suara langkah kaki memecah sunyi. Mungkin tak banyak tamu menginap karena ini bukan akhir pekan. Atau lantaran hujan yang turun sejak siang dan hingga kini belum berhenti, membuat tamu enggan beranjak dari kamar. 

Kusesap lagi cappucino. Sepuluh menit sudah menunggu. Tamuku akan tiba pukul delapan. Aku turun lebih awal dari kamar karena perasaan sedang tak tenang. Pagi tadi, aku baru tiba di Jakarta. Sejak terpilih menjadi wakil rakyat, aku dan suamiku pindah ke sini. Sementara ketiga anak kami diasuh Ibuku di kota kelahiranku. Jumat malam kami pulang kampung dan kembali ke Jakarta pada Senin pagi. Jalan tol yang baru, benar-benar membantu memangkas waktu perjalanan. 

Meski, agendaku makin hari makin tak bisa diajak kompromi. Jadwal pulang dari seminggu sekali, menjadi dua minggu, lalu molor sampai sebulan sekali bahkan lebih. Ibu mengingatkan kalau kali ini aku sudah kelewatan. Waktuku sangat kurang untuk anak-anak. Agendaku padat! Rapat komisi, rapat dengan kementerian, undangan seminar juga kunjungan kesana sini. Satu-satunya waktu yang bisa dicuri adalah kunjungan konstituen ke daerah pemilihan yang berarti sekalian bisa pulang.

Aku dan suamiku berjuang dari bawah. Kami merintis perusahaan pengadaan barang dan jasa untuk instansi pemerintah dan swasta. Awalnya dari proyek kecil seperti pengadaan bak sampah untuk tingkat desa, sampai mesin perontok padi di tingkat propinsi. Mulanya hanya merekrut tenaga honorer untuk desa, hingga akhirnya bisa memenangi tender jasa outsourcing di beberapa instansi. Selain itu, aku juga aktif di salah satu partai di bidang pemberdayaan perempuan. Sampai dua tahun lalu, partai mendukung untuk pencalonanku menjadi wakil rakyat dalam pemilu. Dan, aku pun sukses melenggang ke Senayan.

Hingga semalam, pertanyaan singkat putri sulung yang berumur lima belas tahun membuatku tercekat.

“Ibu nggak korupsi kan?” tanyanya dengan nada curiga.

“Nggak,” jawabku pendek.

Aku tak akan menceritakan hal buruk yang membuat harta kami menumpuk. Jangan sampai ia tahu jika aku mendapat suap dari pengusaha agar lolos proyeknya. Juga menerima kiriman ponsel pintar teranyar, voucher wisata atau tas bermerk dari butik ternama. Belum lagi aliran dana tunai ke rekening, membuat mobil mewah dan rumah di kawasan bernilai investasi paling tinggi di ibukota pun bsa kumiliki.

Kini, aku sedang memikirkan pertanyaan putriku. Teringat akan janji kampanye yang jangankan kutepati, memikirkan pun tak sempat. Banyak cita-cita untuk kemajuan kota yang belum kuwujudkan. Aku bagai kacang yang lupa akan kulitnya. Mendadak tersadar telah mengabaikan amanah yang kuemban. Gemerlap kemewahan dari jalan yang tak benar, telah membutakanku.

Dan. aku bertekad mengakhiri semua malam ini. Tak hendak lagi korupsi!

“Selamat malam, Bu..,” sebuah suara membuyarkan lamunanku.

Tamuku, dua orang pria, datang dan menempati sisi lain sofa. Mereka membawa bungkusan plastik hitam yang diletakkan di meja - yang aku tahu pasti isinya apa.

Belum lama kami berbincang, tiba-tiba dari arah pintu lobby, datang serombongan orang berseragam rompi bertuliskan nama lembaga yang paling ditakuti koruptor di negeri ini. Mereka mengepung tempat duduk kami. Salah satunya berucap tegas, “ Anda tertangkap tangan!”

Badanku limbung. Lemas. Hancur semua harapan dan impian. Lamat-lamat yang kudengar bukan lagi dentingan piano dengan lagu romantis. Tapi suara Ibuku yang nembang Kinanthi saat momong si bungsu. “Yen wus tinitah wong agung, ywa sira gumungggung dhiri, aja nyelakaken wong ala, kang ala lakunireki, nora wurung ngajak-ajak satemah anenulari..

***


- Tembang Kinanthi** (PB IV, Serat Wulangreh, Pupuh(2) Kinanthi(3) : Jika sudah ditakdirkan jadi pembesar, janganlah kamu menyombongkan diri. Jangan dekat dengan orang yang berwatak buruk. Karena nanti ia akan mengajak dan menularkan keburukannya padamu.
- nembang : menyanyi 
- momong : mengasuh


Dian Restu Agustina
Dian Restu Agustina Hi! I'm Dian! A wife and mother of two. Blogger living in Jakarta. Traveler at heart. Drinker of coffee

16 komentar untuk "Kinanthi"

  1. Kirim ke majalah atau koran mbak. Apik ini cerpennya, biar jadi reminder buat yang sedang berada dalam posisi si "aku".

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sudah pernah dikirim tapi mental, Mbak..kwkwkw...Sepertinya kurang panjang #menghibur diri :D

      Hapus
  2. aku baca syairnya kok dg nada spt nembang ya ☺️. Makin kangen pingin nonton wayang orang atau ketoprak. Dulu msh kecil sering diajak bapak nonton srimulat dan ketoprak di THR.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Mbak..kangen juga...Mbah Uti ku dulu suka nembang, jadi inspirasi cerita ini juga...:D
      Kangen nonton Ketoprak Siswo Budoyo dulu jaman kecilku tenar banget di Jawa Timur ..

      Hapus
    2. Siswo Budoyo jaman segitu pancen hits banget mbak. Gak pernah bosan nonton...

      Hapus
  3. Wahhhh saya kebawa dalam ceritanya. Tapi sayangnya klo dinegara kayak kita si "aku" ini banyak ya malah banyaknya yang nggak sadar 🙈

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lebih banyak yang pingsan daripada sadar ya Mbak..Hadeeh:(

      Hapus
  4. Tulisannya bagus banget. Disimpan di wall fb, bakal.byak yang share deh.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih, Mbak..
      Iyaa, ya..di share di FB aja yaa..baiar lebih banyak yang baca

      Hapus
  5. Suka sama tulisannya mba. Aku sampe terhayut dalam tulisannya.

    BalasHapus
  6. mantaapp mbakk cerpennya, sindiraannya begitu menyentill, hanya mungkin sedikit dikurangkan kata akhiran ku nya mnbak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih Mbak Rahayu masukannya..Done! benar juga, sudah langsung saya revisi :D

      Hapus
  7. Ceritanya bagus. Ini masuknya apa ya? Kalau FF kayanya kepanjangan, kalau cerpen kayanya malah kurang panjang.

    BalasHapus
    Balasan
    1. kwkwkwk...Sebenarnya cerpen, Mbak. Sempat dikirimkan ke harian Kedaulatan Rakyat. Persyaratan cerpen di KR memang maksimal hanya 5000 karakter. Ini sekitar 4600 karakter..Tapi karena nggak tembus, mau dikirim ke media lain rata-rata syaratnya 9000-12.000 karakter...Musti nambah banyak, jadi deh di publish sendiri aja hahaha:D

      Hapus