Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Review Buku: 9 Perempuan Berbicara

Review Buku: 9 Perempuan Berbicara

Judul: 9 Perempuan Berbicara ~ Penulis: Hera Budiman, dkk ~ Penerbit: Stiletto Indie Book ~ Cetakan: 1/2017 ~ Halaman: 258 ~ ISBN: 978-602-66480-07-5

"Being a Mother, The Best Job Ever!"
(Hera Budiman, hal 55)



Buku 9 Perempuan Berbicara ini sukses membuat saya menitikkan air mata, menyimpulkan senyum, menuturkan syukur, melebarkan tawa dan menutup muka saat membacanya. Sebegitu lengkapnya ekspresi saya lantaran kisah yang disajikan oleh 9 perempuan hebat ini benar-benar menyentuh hati. Ada kisah sedih penuh inspirasi. Semangat yang awalnya redup lalu kembali meletup. Cerita duka yang berakhir suka. Sampai air mata yang berujung pada tawa bahagia. Semua ada!

Sembilan orang perempuan dengan beragam latar belakang, melukiskan tentang kelembutan dan ketangguhan makhluk bernama perempuan dari sudut pandang pribadi. Baik didasari pengalaman sendiri maupun kisah perempuan terdekatnya. Hingga menjadikan pembaca terutama perempuan seperti saya termotivasi dengan semangatnya. Tertular dengan optimisme yang ada. Juga, tergugah untuk kembali kuat melangkah.

Adalah Anita Anoraga yang mengenang Ibunda tercinta dalam "Dear Ibu..". Betapa penulis bersyukur pada Tuhan, karena telah diberikan seorang Ibu yang luar biasa, yang begitu menyayangi putra-putri pun kuat bertahan dalam segala kondisi. Ibu yang tangguh membesarkan kelima anaknya setelah berpisah dengan sang Ayah. Yang kemudian jatuh sakit, lalu meninggal karena kanker payudara. Ibu yang banyak memberinya pelajaran berbagai nilai kehidupan, tentang bagaimana seharusnya menjadi perempuan dan orang tua pada satu masa. Ibu yang meninggalkan pesan, "Ingatlah beban menjadi perempuan itu besar. Banyak masalah, banyak kesulitan, banyak kesusahan yang harus diatasi perempuan. Dan, hati perempuan itu besar sekali, isinya adalah kesabaran, cinta dan kasih sayang." (hal 18)

"Jangan Bersedih, Allah Bersama Kita", begitu kisah milik Diah Kusumawati. Perempuan yang diamanahi dua anak cerdas dan dua anak kembar autis yang kini sudah dewasa dan berkondisi non-verbal (tidak bisa bicara dan belum mandiri). Penulis mengawali cerita tentang keraguan akan nasib anak kembarnya jika satu saat nanti ia berpulang. Meski ia yakin bahwa autisme pada kedua anak, maupun kecerdasan kedua anak yang lain, semua adalah ujian Allah semata. Sehingga sama sekali tidak bisa menjadi ukuran apakah ia dimuliakan atau dihinakan oleh-Nya. Perjuangan bersama suaminya untuk mencari kesembuhan buat si kembar benar-benar tak berujung. Dimulai saat mereka sekeluarga tinggal di Jepang karena mendampingi Ayah yang sedang sekolah dimana si kembar mulai terdeteksi keistimewaannya. Berlanjut segala warna warni kisah sampai mereka dewasa kini. Di sini, pembaca disuguhi tentang apa itu autisme dan suka duka menjadi orang tua dengan anak terdiagnosanya. Meskipun berat, penulis tetap merasa bahagia dan selalu berprasangka baik pada Allah, ia bertekad "Saya memilih untuk bahagia. Apa pun yang sedang dihadapi. Berbahagialah tanpa syarat. Dengan hati yang gembira maka berkarya bisa lebih optimal. Sukses pun lebih mudah dicapai." (hal 47)

Hera Budiman, penulis yang berbagi dalam "Being a Mother, The Best Job Ever!" Sebuah kisah tentang proses belajar menjadi ibu yang tengah dijalani, yang baginya tak pernah ada akhirnya. Ia merasa, semakin belajar makin banyak pula yang tak diketahui dan dipahami. Dikisahkannya, bagaimana hidup telah membawanya ke tahapan karir menjadi seorang ibu baru, guru sekaligus terapis, manajer rumah, a Chauffeuse (driver) dan yang tertinggi menjadi Ibu Bahagia. Penulis menceritakan tentang 3  guru kehidupan sekaligus anugerah terindahnya yakni, Si Sulung, Si Tengah dan Si Bungsu. Si Sulung yang saat bayi mengalami keterlambatan perkembangan dan memerlukan beberapa terapi yang membuat tahun-tahun awal menjadi kenikmatan terberat yang berhasil terlewati. Si Tengah yang tumbuh kembangnya lancar tanpa hambatan berarti, yang mampu membuat penulis yakin bahwa ia bisa menjadi ibu yang lebih baik lagi. Lalu, ketika Si Bungsu hadir, membuatnya makin percaya bahwa betapa Tuhan Maha Baik dalam mengabulkan doa. Janji untuk menstimulasi agar tumbuh kembangnya tak terlambat seperti si kakak terjawab juga. Karena Si Bungsu perkembangannya lebih cepat dari usianya. Lalu, ia berkesimpulan bahwa menjadi ibu hanya perlu 3 syarat utama, yaitu selalu sehat, selalu bahagia dan dapat mengatur waktu. Ujarnya, "Saya percaya kalau ibu yang bahagia akan memancarkan dan menularkan rasa bahagianya pada anak-anak. Keluarga adalah hal pertama yang membuat saya bahagia, berikutnya adalah kesempatan untuk mengembangkan potensi diri" (hal 66).

"Suka Duka Ibu Rumah Tangga Tanpa Asisten Rumah Tangga" dituliskan oleh Ike Dian Puspita. Penulis membagikan bagaimana ia terus belajar untuk menjadi ibu dengan menjadi pribadi yang lebih baik lagi, belajar memahami orang lain, lebih ikhlas, sabar dan bermanfaat untuk sesama. Ia bercerita tentang suka duka mengurus rumah tangga sendirian tanpa asisten, dengan 3 buah hati. Sembari membuka usaha pesanan kue, lalu lapak nasi uduk sampai bekerja di toko serba ada. Meski, sempat punya asisten sebentar namun ternyata tak sejalan dengan yang diharapkan. Proses berdamai dengan diri sendiri dilaluinya dengan cara mengarahkan pikiran ke hal-hal yang positif. Bahkan kemudian membuatnya berani merangkai mimpi, yakni menjadi mompreneur. Ini didasari keyakinannya bahwa perempuan itu, meskipun seorang ibu rumah tangga tetap memiliki kesempatan untuk mengembangkan diri. Ia pun menemukan passion dalam hal menulis. Dan bertekad membenahi keseharian terutama dalam manajemen waktu, komitmen dan konsistensi, juga aktif mengikuti training menulis. "Sekarang saya sudah tidak keki lagi jadi ibu rumah tangga yang tidak memiliki asisten rumah tangga. Semua masalah ada solusinya. Kuncinya, tetaplah berpikir positif dan punya kemauan untuk belajar dan bergerak maju." (hal 129)

Izza Diraz, menulis tentang "Pesan Ibu Tunggal Kepada Anak Perempuannya". Penulis mengisahkan tentang perpisahan orang tuanya yang ternyata tak membuatnya jadi membenci sang ayah. Lantaran peran ibu yang kuat menyimpan keegoisan demi menjaga hubungan ayah dan anaknya. Ibu, yang dinilainya mampu mendidik dan meneguhkan putra-putri sehingga tidak memiliki satu perasaan rendah diri meski punya keluarga yang tak lengkap lagi. Ibu yang meski sibuk tetap memerhatikan penampilan dan berpesan bahwa perempuan wajib menempuh pendidikan setinggi ia bisa. Karena ialah pendidik pertama anak-anaknya. Ibu yang tak pernah meneteskan air mata di depan anak-anaknya karena berpegang pada: "Di hadapan anak seorang ibu tidak seharusnya melampiaskan masalah-masalah pribadinya." (hal 137).

"Bahagia Sebagai Breadwinner" karya Maulina Fahmilita. Menceritakan tentang kisah seorang perempuan di klinik psikologinya. Cerita berawal seperti pernikahan pada umumnya yang baik-baik saja meski harus menjalani long distance married. Lalu, segalanya berubah ketika suami si perempuan memutuskan untuk bekerja di rumah. Sehingga mengakibatkan tersendatnya komunikasi. Penulis menyarankan bahwa inti komunikasi adalah REACH yaitu Respect (hargai dan hormati), Empathy (tempatkan diri), Audible (pastikan pesan tersampaikan), Clarity (pesan bisa dimengerti) dan Humble (rendah hati). Kasus berkembang saat si suami mulai tak bisa diajak berkomunikasi. Dimana solusi yang diberikan adalah bicara dengan hati, hingga bisa menyentuh hati suami. Begitu halnya ketika seorang suami memutuskan untuk menjadi Ayah Rumah Tangga saja. Yang meski ini berdampak positif dalam perkembangan anak, tapi diingatkan bahwa secara Islam, suami adalah Qowwam, pemimpin keluarga. "Dalam membangun rumah tangga hal yang perlu disadari adalah bagaimana suami atau istri mampu membuat pasangannya menjadi tenteram, tenang, nyaman dan damai dalam menjalani kehidupan bersama." (hal 163)

Resky Chatrianawati mengisahkan "Pro Kontra Hati menjadi Ibu Baru". Cerita tentang pengalaman pribadi penulis menjadi ibu baru. Saat memilih melahirkan dengan penuh perjuangan secara gentle birth. Kemudian komitmennya memberikan ASI hingga 2 tahun lamanya. Memakaikan popok kain di tiga bulan pertama bayinya, lalu clodi setelahnya dan pospak saat malam hari saja. Memilih Baby Led Weaning untuk pola makannya. Dan keputusannya untuk menjadi full time mother agar bisa mengasuh sendiri bayinya. Ujarnya, "...baik menjadi working mom ataupun full time mom, orangtua sebaiknya banyak memerhatikan anaknya.." (hal 198)

"Tersenyumlah, Karena Skoliosis Itu Bukan Kutukan", begitu tulis Vie Asano. seorang skolioser yang menceritakan awal mula didiagnosa pada usia jelang remaja. Tentu ini membuatnya shock! Ada penolakan, berbagai upaya kesembuhan baik opsi operasi atau tradisional. Juga susutnya tinggi badan yang diiringi turunnya rasa percaya diri. Hingga akhirnya ia memilih jalan damai dengan menjadikan skoliosis sebagai teman yang sebisa mungkin diterima. Beberapa mantra dianutnya, bahwa kecantikan tak hanya luar semata, ada inner beauty yang bisa diasah agar bersinar. Juga, membuat daftar lebih kurang diri agar syukur tertutur. Tak lupa bergabung dengan komunitas positif agar semangat menghebat makin kuat. Pesannya: "..my dearest skolioser friends, ayo tersenyumlah, karena skoliosis bukan kutukan yang tidak bisa kita patahkan!" (hal 232)

Last but not least, ada Yulmi Salfita yang menuliskan "Teh Manis Rasa Sabun Cuci". Sebuah kisah hidup dari seorang perempuan bernama Astuti yang bekerja sebagai buruh cuci, bersuamikan sopir truk dan merupakan ibu dari dua putra putri. Menjadi buruh cuci karena awalnya ingin menggantikan tetangga di tempatnya bekerja. Lalu suaminya ternyata tak pernah pulang lagi. Sehingga ia memutuskan bekerja di tiga rumah yang berbeda. Sampai suatu hari suaminya datang dan mengabari kalau sudah menikah lagi lalu tak pernah kembali. Perjalanan hidup yang penuh liku-liku membuatnya kuat bertahan lantaran ingin melihat kedua anaknya sukses di masa depan. "Perjuangan itu tetap ada dalam hidup ini, tapi terasa lebih ringan jika saling merangkul dan menguatkan..." (hal 253)

Setelah tuntas membaca 258 halamannya, saya pun menyimpulkan bahwa kesembilan kisah inspiratif dalam buku ini benar-benar penuh pembelajaran, dan sarat makna kehidupan. Menjadikan buku ini patut dibaca bagi semua, agar memahami bahwa di balik ketegaran perempuan terpendam ketangguhan yang tak terbantahkan.

Yuk, baca 9 Perempuan Berbicara dan kita akan mendapatkan berjuta alasan untuk bahagia juga mensyukuri segala yang kita punya!

Selamat Membaca💖

Dian Restu Agustina


#ODOPOKT7
Tulisan ini diikutsertakan dalam Program One Day One Post Oktober 2017
 Blogger Muslimah Indonesia


Dian Restu Agustina
Dian Restu Agustina Hi! I'm Dian! A wife and mother of two. Blogger living in Jakarta. Traveler at heart. Drinker of coffee

24 komentar untuk "Review Buku: 9 Perempuan Berbicara"

  1. Sangat menginspirasi�� semua perempuan hebat, tahan Banting demi keluarga�� semoga kita selalu menjadi wanita hebat bagi sekeliling kita ya Mbak Dian. Btw, selamat ultah Mbak Cantik yang keren

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mbak Dira, dari perempuan hebat di sekitar, kita bisa ketularan menghebat...!

      Btw, makasih:)

      Hapus
  2. Mba penulisnya ada yang blogger juga ya?keren ih bisa nulis buku antologi gini, aku kapan yah?:D
    makasi mb reviewnya tandai sbg buku yang mau dibaca

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sip, Mbak Herva...
      Mereka mereka menulis diantara berbagai kesibukan lho..:)

      Hapus
  3. Wahhhh bunda, sepertinya bukunya kerennnn. Jadi mauuuu jga bukunya.

    BalasHapus
  4. Mereka memang pantas disebut perempuan hebat, kisahnya inspiratif. Mau ah bukunya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Bu..inspiratif!
      Silakan menghubungi penulis untuk pemesanan:)

      Hapus
  5. Baca kisah2 inspiratif kayak gini mih bikin semangat terisi penuh ya mba dlm menjalani hidup. Aku jg penasaram sm bukunya nih

    BalasHapus
  6. luar biasa kisahnya mbak, sangat meginspirasi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar, Mbak..bacanya jadi merasa mujian kita nggak ada apa-apanya:(

      Hapus
  7. Wah sepertinya harus baca buku ini mbak. Kisah2nya nampaknya menyentuh dan cocok dibaca perempuan. Mungkin bisa jd inspirasi pula bagi sesama perempuan/ ibu.
    Belinya langsung via IG Stiletto ya?
    TFS

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar Mbak, ditulis perempuan dan mengisnpirasi banyak perempuan.
      Pemesanan bisa ke penerbit atau langsung ke penulisnya: Mbak Hera Budiman

      Hapus
  8. Terima Kasih atas Review nya Mbak Dian. Mewakili teman-teman di 9 Perempuan Berbicara jadi bangga banget karena review mbak Dian ini #ketjupketjup

    Buat yang masih penasaran, sila inbox di FP 9 Perempuan Berbicara untuk pemesanan, atau langsung hubungi Stilleto ya..

    (Anita Anoraga - 1 dari 9 PB)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih apresiasinya Mbak Anita...

      Semoga 9PB sukses yaaa:)

      Hapus
  9. Terima kasih mbak diah atas reviewnya. Proses penulisannya pun berkali-kali berurai air mata. Semoga tulisan kami bisa banyak memberikan manfaat pada semua perempuan lainnya.

    (Yulmi salfita - 9PB)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin..
      Terima kasih Mbak Yulmi Safita..
      Insya Allah bermanfaat untuk perempuan lain dan semua

      Semoga 9 PB sukses ya:)

      Hapus
  10. Terima kasih mba Dian, resensi yang apik dan lengkap. Semoga sukses dan berkah berlimpah menyertaimu.
    *Big Warm Hug

    (Ike - penulis 9PB)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih Mbak Ike..
      Semoga sukses juga untuk Mbak Ike dan 9PB yaaa:)

      *bighug

      Hapus
  11. Saya blm baca bukunya, tapi nampak jelas banyak letupan emosi namun syarat pembelajaran di dalamnya.

    BalasHapus
  12. Mbak, sangat menginspirasi sekali bukunya. Mbak Dian mereview nya dengan sangat apik.

    Mau beli bukunya ah.

    BalasHapus