Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Karena Jantungku Cuma Satu, Bukan Tiga Seperti Gurita

Karena Jantungku Cuma Satu, Bukan Tiga Seperti Gurita 

Aku memergokimu lagi, saat sedang tertawa cekikikan sendiri. Entah apa yang membuatmu sedemikian terkekeh ketika memelototi telepon seluler yang kau puja. Buru-buru kau hentikan gelak dan menyambar mataku layaknya tanpa dosa. Aku tahu ada yang secepat kilat kau lipat dalam otak. Aku sadar ada perubahan air muka dari gembira menjadi tak suka. Sekilas juga sempat kulihat aplikasi yang baru saja kau buka. Tapi, aku pura-pura tak mencermatinya. 




“Apa, Ma?” tanyamu pura-pura ramah, berbungkus senyum merekah.

“Sudah siang, mau jalan jam berapa?” jawabku datar.

“Jam 11! Sebentar ya, aku mandi dulu,” beranjak meninggalkanku.

***

Aku menikahimu sepuluh tahun yang lalu. Setelah seorang laki-laki mencampakkanku demi karyawati baru yang ada di tempatnya bekerja. Padahal aku memutuskan keluar dari kantor yang sama dan beralih kerja, karena berencana menikahinya. Aku mengalah pindah lantaran perusahaan tak membolehkan pernikahan antar karyawan. Tapi, ternyata keputusan yang kuambil berbuah kepahitan. Lelaki itu malah melupakanku dan memilih perempuan baru. Aku rubuh. Hatiku runtuh. Hingga kau datang membawa penawar luka. Cederaku pun perlahan sembuh. Keseriusan yang kau ulurkan membuatku luluh. Tak lama, kita pun mengikat janji suci. Dan kini, aku meyakini, kau telah mengingkari janji itu, untuk keberapa kali.

***

Aku baru saja mengeluarkan dari oven, seloyang brownies pesanan teman, saat ponselku memanggil dengan nada deringnya. 

“Ri, apa kabar? Sehat?” suara yang sebenarnya tak ingin kudengar sekarang.

“Iya, Bu. Sehat! Ibu sehat-sehat, kan?” suara kubuat seriang mungkin.

“ Iyaa...” 

Dan, obrolan itu pun berlanjut dengan cerita tentang ayam peliharaan yang baru menetas, panen mangga, juga acara pernikahan tetangga. Aku sendiri sengaja tak banyak bicara. Entah kenapa, saat pikiranku sedang kacau, Ibu selalu meneleponku. Meski terpisah jarak, sepertinya Ibu tahu aku sedang tidak baik-baik saja. Tapi, aku berusaha menyembunyikannya dengan apik. Aku tak mau Ibu ikut memikirkan masalahku hingga kesehatannya terganggu. Meski, kadang aku bingung harus mengadu pada siapa. Hanya sajadahku saja yang setia menampung tetesan air mata.

***

Malam itu, saat berdua,

“Aku atau kau yang pergi? Pilih saja!” nadaku berat saat mengucapkannya.

“Apa sih? Kok ngomongnya gitu?” sengitmu, seperti biasa.

“Lha, terus harus gimana? Aku berusaha kuat. Tapi, kalau sebentar-sebentar kumat…Hhhhhh! Aku ini bukan malaikat!” tukasku mulai meninggi.

Diam. Tak berkomentar.

“Kalau aku yang pergi, berarti anak-anak kubawa. Atau kau saja yang keluar dari rumah ini. Lepaskan saja aku. Toh, sudah tak ada artinya bagimu,”

Masih diam. Membalikkan badan membelakangiku. Kau tak punya keberanian menjawab tantanganku.

Esoknya dan hari-hari kemudian, kau tampak berubah. Kau singkirkan ponsel pintar. Kadang kalau sedang pergi, seperti sengaja kau tinggalkan di atas meja kamar. Tak pernah lagi kulihat kau asyik terbahak sendiri saat membuka sebuah aplikasi. Anak-anak juga lebih kau perhatikan. Tiba-tiba, aku pun kau ajak bercerita-cerita. Ah, sepertinya kau memang sudah melupakannya. Kau tak lagi menduakan kami bertiga. Hingga, hatikupun melunak lagi pada manis tingkahmu.

***

Beberapa bulan kemudian, telat pulang, lagi dan lagi.

“Aduh, Bundaran HI macetnya parah! Hilang three in one, ganti ganjil-genap sekarang. Tapi, orang tetap cari aman. Barengan keluar kantor saat waktunya berakhir, jam 8 malam. Jadi gila antriannya. Macet dimana-mana!” paparmu panjang lebar saat tiba di rumah hampir pukul sepuluh malam.

Entah sejak kapan, aku tak peduli alasan apapun lagi yang kau utarakan. Dulu, aku menanggapi keluh kesahmu dengan kalimat penghiburan. Sampai ikut memikirkan saat kau tak pulang-pulang karena khawatir ada apa-apa di jalan. Kadang, aku hampir ketiduran saat menunggumu. Sampai-sampai, makan malam yang kusiapkan pun membeku.

Tapi kini, rasa peduli itu terbang tinggi berganti prasangka. Tadi kau pergi ngopi sama siapa, mampir kemana dan ngapain saja. Aku sudah tak tahu lagi cara membedakan mana yang jujur dan mana yang dusta. Aku tak lagi peka saat menyaring cerita fakta atau reka-reka. Lantaran, nadanya bagiku terdengar sama saja. Kemacetan, ada rapat mendadak, reunian sama teman, tiba-tiba atasan kasih kerjaan menjelang pulang, rapat yang tak berkesudahan, kerjaan numpuk belum juga kelar,….Aaah, entah apa lagi! Mungkin kalau dibuat daftarnya akan panjang sekali.

Yang jelas aku iri pada teman kantor yang bisa bertemu denganmu setidaknya 8 jam dalam sehari. Juga pada siapapun yang bersimpangan denganmu di jalan tiap pagi dan malam di sepanjang pergi pulang. Tapi, mengapa justru dengan istri dan anakmu, seharian hanya bertemu kurang dari satu jam? 

Aku bukanlah si posesif yang selalu berpikir negatif. Aku tak bakal mendakwa hanya berdasar praduga. Aku takkan mengambil keputusan tanpa adanya data dan fakta. Jadi, jangan kau tuduh aku si pencemburu buta.

Dan, tahukah kau awal mulanya?

***

Suatu senja….

”Dididit..dididit…dididit..”

Ponselmu di atas meja bergetar. Ingin kuabaikan, namun nada yang bersambungan membuatku penasaran. Sebelumnya aku tak pernah punya niatan menyelidiki segala aplikasi yang berderet di layar sentuh gawaimu. Tapi karena lakumu yang makin tak bisa lagi dipercaya membuatku curiga. Kau begitu mendewakan gawai, sampai mengabaikan aku dan anak-anak kita. Jadi kuputuskan dengan cepat untuk membukanya. Di luar dugaan, ternyata mudah saja, karena tak kau lengkapi sandi pengunci.

Dan….Untung saja tulangku kuat menyangga badan. Karena aku langsung limbung ketika tahu apa yang bikin kamu begitu gandrung. Deretan aplikasi asing yang tak pernah kuunduh. Saat kubuka satu, ada rentetan panjang percakapanmu dengan para anggota jejaring geososial yang kau ikuti. Ada penampakan foto profil perempuan dewasa dengan berbagai gaya. Dan, barisan perbincangan yang jauh dari kata sopan. Semua itu membuat detak jantungku hampir saja berhenti.

Benar ternyata tebakanku sejak dulu. Meski kau tak pernah mau mengaku. Aku yang selalu kau anggap terlalu melebih-lebihkan keanehanmu. Berbagai alasan tak lazim yang kau ajukan saat ingin bepergian. Bermacam hadiah yang kau beri untuk menebus selesainya masalah. Kau berhasil menutupinya dengan sempurna! Tapi, bukankah bangkai yang lama disimpan satu waktu akan ketahuan?

Meski begitu, saat kuajak bicara dan menawarkan solusi, sebuah terapi atau konsultasi, kau buru-buru menolak. Kau bilang akan bisa mengatasi hal ini. Begitu juga ketika kuajak kau pergi menemui alim ulama. Kau ucap tak perlu karena sudah tobat sejak saat itu. Kau berjanji tak akan mengulangi lagi. Kau bersumpah tak bakal mengulang doyan jajan. Kau bilang khilaf dan menyesal. Tapi saat ini, janji itu, lagi-lagi kau langgar. 

Lalu, menurutmu aku harus berbuat apa? Membiarkanmu terus berkubang dalam kefasikan? Membebaskanmu untuk berbagi hati dengan banyak perempuan? Atau berusaha sekuat tenaga merengkuhmu ke arah kepatutan? 

Aku sudah lelah! Aku menyerah!

Berbulan silam aku kacau. Kini, kembali, aku super galau. Apakah aku musti menagih janji itu? Ataukah pergi meninggalkanmu? 

Sepertinya opsi kedua lebih kupilih. Demi dua anak yang tak punya dosa, jantungku harus terus berirama. Maka akan kujaga agar ia baik-baik saja. Karena jantungku cuma satu, bukan tiga seperti gurita!



#ODOPOKT6
Tulisan ini diikutsertakan dalam Program One Day One Post Oktober 2017
 Blogger Muslimah Indonesia
Dian Restu Agustina
Dian Restu Agustina Hi! I'm Dian! A wife and mother of two. Blogger living in Jakarta. Traveler at heart. Drinker of coffee

22 komentar untuk "Karena Jantungku Cuma Satu, Bukan Tiga Seperti Gurita "

  1. Miris. Sedih. Lepaskan saja dia, kalau menurutku. Nyata tidaknya cerita ini, aku akan berkomentar seperti itu, mbak Dian

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya, Mbak..lebih baik sendiri saja yaaa...

      Btw, cerpen berdasarkan kisah nyata dengan dibumbui disana-sini..:D

      Hapus
    2. Wah.. Ini cerpen?
      Keren. Gak terasa saya sudah selesai bacanya.

      Saya hanya penasaran ekspresi wajah, perasaan dan sakitnya hati saat membuka beberapa aplikasi asing dengan foto perempuan dan percakapan yang tidak sopan.

      Salam penasaran.. 😂

      Hapus
    3. Ini Cerpen, pendek saja karena dikirimnya ke media yang persyaratannya 6000 karakter seperti Kedaulatan Rakyat, dll

      Bagi lelaki ekspresinya mungkin jadi bahan tertawaan, tapi tidak bagi perempuan..Ikut membayangkan saja, terasa menyakitkan.

      Hapus
  2. suka gaya berceritanya 😍. tp gurita memang punya jantung tiga kah ? 😅

    BalasHapus
  3. Alur ceritanya nyesekin, lagi-lagi perempuan yang tersudutkan. Tak cukupkah istri dan anak menjadi kebahagiaan suami. Kenapa masih mencari lagi yang lain di luar *eh ini kok malah saya terbawa suasana, hehe saya suka dengan gaya bahasanya. Diksinya bagus. Jadi cerpennya enak dibaca mbak.

    BalasHapus
  4. Ngasah golok...

    Endingnya dikasih racun aja mba lelaki kaya begitu. Eh,
    Baper saya bacanya

    BalasHapus
  5. Aku sedih. Speechless... Kadang aku ga heran sih kalau mendengar berita pembunuhan atas dasar cemburu dan sakit hati. Sayangnya enggak ada hukuman bagi yang membuat sakit hati.

    BalasHapus
  6. Mbak Dian, penokohanmu keren. Istrinya juga keren, bebaaal kebal tegar!!!

    BalasHapus
    Balasan
    1. yup! tegar tapi endingnya berani mengambil sikap:)

      Hapus
  7. hanya satu jam untuk anak istri. hmmm...barangkali banyak yg begitu. bersuami tapi berasa janda. miris.

    BalasHapus
  8. hmbak dian tidak hanya mahir membuat artikel namun nyatanya mahir juga membuat cerita fiksi, sekedar saran bagaimana jika ternyata selingkuhan sang suami adalah sesama lelaki, misalnya sang suami gabung di aplikasi komuniatas g-y, makanya tidak mau bercerai .. jadi sang suami mengidap biseksual

    BalasHapus
    Balasan
    1. menurut saya tidak ada biseksual Mbak..yang ada laki-laki yang suka laki-laki dan menjadikan pernikahan hanya sebagai topeng semata.

      Btw, next bikin ending begitu. Terima kasih sarannya.:)

      Hapus