Pura Besakih! Dimulai di sebuah pagi yang mulai meninggi ketika suapan terakhir nasi goreng saya tertelan dengan sempurna. Cita rasanya yang sederhana menjadi istimewa karena bersanding dengan secangkir kopi Kintamani yang mendunia. Apalagi dinikmati di tengah dinginnya pagi di tepian Danau Batur Kintamani, sambil duduk memandang lepas mentari di kejauhan yang bersembunyi di balik awan.
Sementara, persis di depan penginapan - Segara Hotel dan Restoran, nampak iring-iringan kendaraan yang seakan tak ada habisnya menuju ke arah luar danau. Menilik dari pakaian yang dikenakan penumpang sepertinya mereka adalah rombongan warga yang akan bersembahyang ke Pura Besakih yang berlokasi cukup dekat dari sini.

 |
nasgor dan secangkir kopi Kintamani |
Nampak satu keluarga dengan kendaraan pribadinya. Juga beberapa orang tua, dan muda yang menaiki mobil bak terbuka. Rasanya saya seperti menyaksikan sebuah parade budaya lantaran mereka juga membawa peralatan upacara dan segala pernak-perniknya.
Hmm, memang ritual Hindu Bali ini benar-benar unik dan menarik dan tak ada habisnya untuk diulik.
Ini yang membuat pura dan prosesi persembahyangan menjadi salah satu alasan banyak wisatawan untuk mengunjungi Bali. Bukan karena ingin menduakan kepercayaan, tapi lebih karena ingin menyelami -meski sesaat- bagaimana umat Hindu Bali menjalani segala tradisi.
 |
meski sunrise-nya tak sempurna tapi tetap indah dipandang mata |
Dan ini juga yang menjadi alasan saya, suami dan anak-anak, setelah mengunjungi
Kuburan Terunyan langsung melanjutkan perjalanan ke
Pura Agung Besakih di tengah derasnya hujan.
Meski kami harus menembus jalanan sempit dari Terunyan menuju pura terbesar di Bali yang terletak di Desa Besakih, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem ini.
Sejatinya
sih ada niatan singgah dulu ke Museum Geopark Batur Kintamani, sebuah museum Geologi yang baru diresmikan pada tahun 2016 yang lalu yang letaknya di sisi jalan Raya Panelokan.
Tapi, niatan urung karena gerbang tinggi yang menggawangi museum megah ini ternyata terkunci. Mau minta info kemana, bingung juga, karena hujan begitu lebatnya.
Akhirnya, ke museumnya dibatalin saja dan cusss....lanjut saja, belok kiri ke arah Pura Besakih yang jaraknya sekitar 30 km lagi.
Jalanan yang kami lewati menuju Pura Besakih ini mulus dan bagus. Di sisi kiri dan kanan, pepohonan besar nampak menjulang membuat hijau mata memandang. Kadang perjalanan kami beriringan dengan kendaraan lain yang bisa jadi punya tujuan sama atau berpapasan dengan penduduk sekitar. Memang jalur ini tak terlalu ramai karena merupakan jalur alternatif. Sedangkan jalur utama adalah yang melewati kota Klungkung dan Bangli di sisi Selatan pura.
Perjalanan kali ini juga musti kami tempuh dengan kehati-hatian lantaran hujan dan kelokan jalan. Kadang kami juga diberhentikan oleh beberapa Ibu penjual yang menawarkan banten (sesajen) untuk perlengkapan sembahyang di Pura Besakih. Juga, sesekali harus minggir ke tepi dan bergantian jalan dengan truk yang membawa bahan bangunan untuk perbaikan jalan di perkampungan yang ada di depan.
 |
tiket masuk Pura Besakih |
Setelah melewati hutan, kebun dan perkampungan, sampailah kami di area masuk pura bertepatan dengan hujan yang mereda. Di sini kami langsung diarahkan ke tempat parkir yang dikelola oleh penduduk setempat. Parkiran ini non permanen dan memanfaatkan lahan kosong yang ada.
Lalu saya menuju loket tiket dan menebusnya dengan harga 40 ribu/orang serta membayar jasa pemandu wisata sebesar 30 ribu/pemandu. Di sini, saya dan suami juga dipinjami kain sarung dan
selempod (selendang) untuk menghormati area suci umat Hindu Bali.
Setelahnya, saya yang dari Terunyan sudah kehabisan uang
cash, celingukan mencari ATM di sekitar. Maka ketika saya mendapati bilik ATM Bank BPD Bali yang adalah satu-satunya yang ada di sini terkunci, saya pun kecewa sekali.
"
Rusak itu, Bu!" celetuk Bli penjaga parkiran.
"
Wah, rusak ya, terus ATM yang lain di mana, Bli?" tanya saya kebingungan.
"
Di bawah ada, Bu.." jawabnya singkat.
 |
area masuk pura |
Duh, pengertian
di bawah, bagi saya adalah di perkampungan terdekat sebelum pura yang berarti kami musti turun lagi. Padahal kami harus mengejar waktu mengingat pura yang buka sejak pukul 7 pagi ini akan tutup pada pukul 5 sore nanti.
Maka, dengan berpesan dulu pada anak-anak agar nantinya tidak meminta beli itu ini, saya pun bergegas menyusul langkah gesit Pak Wayan, guide yang akan memandu kami nanti..
"
Keburu hujan lagi, Pak, Bu!" katanya singkat memberikan alasan tepat.
Memang mendung masih menggantung dan sepertinya hujan belum mau angkat kaki. Maka berjalan dengan segera adalah solusinya.
Sehingga bergegas rombongan kecil kami menapaki tangga menuju area pura dimana di sepanjang jalan menuju ke sana, ada anak-anak dan ibu-ibu yang menjajakan
banten untuk keperluan sembahyang pada wisatawan.
Oh ya, masuk melalui pintu Pura Besakih yang dari arah Kintamani ini aksesnya lebih dekat menuju area pura, karena sebelumnya (tahun 2001) saya berkunjung ke sini lewat akses utama yang lebih jauh jaraknya.
 |
cekreeeek dulu! |
Sambil jalan, Pak Wayan menjelaskan bangunan pura yang ada di kiri dan kanan. Kami memang hanya boleh melewatinya tanpa memasukinya. Karena hanya yang bertujuan melakukan persembahyangan sajalah yang diijinkan masuk ke dalam sana.
Meski....., berfoto di tangga masih bolehlah ya...😀
Tapi, enggak perlu khawatir meski beberapa
restriction area tak bisa kita datangi. Karena dari luar pun kita bisa melihat umat Hindu Bali yang sedang mengikuti persembahyangan dengan khidmatnya.
Mereka nampak dipimpin oleh seorang pendeta (atau sebutan lainnya sesuai dengan kasta) dan menjalani ritual dengan sepenuh hati.
Ada 18 pura di
Mother of Temple atau kompleks Pura Besakih ini. Pura Penataran Agung adalah pura terbesarnya karena memiliki jumlah terbanyak bangunan
pelinggih dan jenis upacara. Sementara pura lainnya masing-masing dibangun sesuai peruntukannya dan letaknya menyebar di area.
Nah, karena hujan turun lagi dengan lebatnya ketika kami sampai baru setengah jalan, maka menyewa payung pada
seseibu yang menjadi ojek payung adalah solusinya.
Sambil berteduh Pak Wayan menceritakan upacara apa saja yang diselenggarakan di Pura Besakih ini. Ada yang jadwalnya per bulan, per 6 bulan, per tahun, per 5 tahun dan seterusnya.
"
Misalnya ada Upacara Batara Turun Kabeh yang diadakan setahun sekali di hitungan purnama kadasa. Ritual ini bertujuan memohon kepada Tuhan agar Bali terbebas dari musibah, bencana sekaligus meminta anugerah kesejahteraan dan kedamaian," demikian jelas Pak Wayan.
"
Kemudian ada Eka Dasa Rudra setiap 100 tahun sekali saat angka satuan dan puluhan tahun saka mencapai angka 0 yang disebut rah windu tenggek windu. Seperti tahun 1979 ada lagi upacara Tawur Agung Eka Dasa Rudra, sesuai hitungan perputaran tahun Saka saat satuan dan puluhan mencapai angka nol, yaitu pada tahun Saka 1900. Tujuannya untuk memohon keseimbangan jagat agar menjauhkan manusia dari bencana dan memberikan kesejahteraan. Dan Eka Dasa Rudra termasuk upacara besar karena memakan waktu lebih dari 2 bulan untuk menuntaskan," papar Pak Wayan lagi.
 |
Pak Wayan menjelaskan dengan ramah |
 |
berbagai dokumentasi upacara di Pura Besakih |
Penjelasan ini melengkapi dokumentasi yang memang tersaji untuk wisatawan yang disertai informasi nama upacara dan tahun penyelenggaraanya. Misalnya pada tahun 1996 dihelat upacara Eka Bhuwana, lalu Panca Bali Krama pada 1999 dan 2009 dan lainnya.
Di sela-sela pemaparannya Pak Wayan juga menceritakan sekilas tentang Gunung Agung yang mengundang perhatian kita semua lantaran aktivitas erupsinya.
Oh ya, beberapa lokasi di Pura Besakih ini memang masih nampak belum dibenahi setelah mendapatkan serangan abu vulkanis dari letusan Gunung Agung selama beberapa bulan belakangan.
Kata Pak Wayan
sih setelah letusan terjadi, area ini sudah dibersihkan dan dibetulkan tapi memang belum semua terselesaikan karena luasnya area pura dan letusan yang terjadi lagi dan lagi.
Hiks...! Semoga semua baik-baik saja nantinya...!
 |
beberapa bagian pura nampak rusak |
Kami mendengarkan penjelasan Pak Wayan yang ramah di tengah cuaca yang basah. Langit yang suram membuat sejauh mata memandang samar-samar dan melihat ke sekitar enggak jelas benar.
Tapi suasana ini membuat Pura Besakih ini nampak makin indah karena seluas pandangan akan terlihat
Meru dengan tumpang (atap) yang bertingkat-tingkat, ada yang satu, dua, tiga, lima, tujuh, sembilan dan sebelas.
Pun, kabut tipis yang menyelimutinya memberikan aura magis yang melahirkan kekaguman saya akan ketangguhan umat Hindu Bali menjaga tata cara ajaran yang dipercayainya.
Yang saya suka, area Pura Besakih ini bersih dimana di banyak sudut tersedia tempat sampah yang memadai untuk kenyamanan pengunjungnya. Beberapa fasilitas seperti Tourist Information Center dan Perpustakaan Pura Besakih pun ada.
Tak hanya itu, di bagian atas area, juga tersedia deretan kios souvenir yang tampak menggoda dengan harga yang saya baca rata-rata tak jauh berbeda dengan harga di luar tempat tujuan wisata.
Tapi, karena mengingat dompet lagi kosong saya pun mengurungkan niatan untuk beli sesuatu di sini. Padahal biasanya di setiap tempat wisata, anak-anak saya belikan kaos atau apalah yang ada nama tempatnya. Karena biasanya di destinasi yang lain enggak tersedia. Tapi karena mereka hanya menerima pembayaran tunai saja, yo wis lah enggak usah belanja.🙈
 |
kios souvenir |
Oh ya, saat di Pura Besakih ini saya menjumpai banyak wisatawan mancanegara yang berbicara dalam beragam bahasa. Memang sebagai pusat pura bagi umat Hindu Bali, Pura Besakih tidak sekadar menjadi tempat pemujaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Namun juga mempunyai keterkaitan latar belakang dengan makna Gunung Agung sebagai gunung tertinggi di pulau Bali yang dipercaya sebagai pusatnya para Dewata. Sehingga tepatlah kalau di lereng Barat Daya Gunung Agung dibuat bangunan untuk kesucian umat Hindu Bali, yakni Pura Besakih ini.
Setelah puas berkeliling meski tidak semua area, tak terasa, sampai juga kami di tempat awal menjumpai Pak Wayan tadi. Setelah memberikan
guide tip sebagai tanda terima kasih untuk Pak Wayan yang memandu dengan suguhan kisah panjang yang menarik itu, saya pun mengembalikan payung, sarung serta
selempod kepada pemiliknya.
Dan, berakhirlah kunjungan singkat kami ke ke Pura Besakih, sebuah tempat yang sarat makna filosofis dan dalam perkembangannya mengandung unsur-unsur kebudayaan yang meliputi: sistem pengetahuan, peralatan hidup dan teknologi, organisasi sosial kemasyarakatan, mata pencaharian hidup, sistem bahasa, religi dan kesenian.
Sungguh mengagumkan!!
Nah, sebagai catatan, apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan di Pura Agung Besakih dan pura pada umumnya, berikut beberapa hal yang musti diperhatikan:
DO'S
Pakaian yang sopan menjadi keharusan karena pura adalah tempat suci bagi umat Hindu Bali. Sehingga bagi siapa saja yang memasukinya musti menghormati kesuciannya. Jika tidak mengenakan pakaian sembahyang seperti layaknya umat, paling tidak mengenakan pakaian sesuai waktu dan tempat.
Sarung/
kamen dan selendang biasanya disediakan oleh pihak pengelola pura. Dua benda ini menyimbolkan penghormatan terhadap kesucian pura serta mengandung makna sebagai pengikat niat-niat buruk dalam jiwa.
Oh ya, kalau perlu beli saja
kamen/sarung dan selempod ini, jika memang kita akan mengunjungi beberapa pura saat di Bali. Murah kok....bisa sekalian buat kenang-kenangan juga, kan?
Tanyakan dulu ke pemandu atau pengelola sebelumnya apakah boleh memasuki sebuah area atau mengambil gambar ritual yang ada di pura. Ingat kalau kita itu tamu dan mereka sedang beribadah sesuai dengan keyakinannya. Jadi jangan dulu grusa-grusu dengan cekrak-cekrek sini situ...
- Follow rules of common decency
Patuhi aturan kesopanan yang umum, apalagi di pura yang adalah tempat ibadah Seperti tidak berbicara/tertawa keras, mengecilkan volume/silent mode ponsel, tidak merokok sembarangan, buang air, meludah, membuang sampah dan lainnya.
- Respect the local culture
Karena kita sedang berada di pura, tempat tersuci bagi umat Hindu Bali. Maka gunakan akal sehat dan bertindaklah dengan tepat.
Krama Bali menyambut para wisatawan dari semua agama dan dengan senang hati berbagi tradisi dan adat istiadat mereka, jadi perlakukan pura seperti yang seharusnya.
DON'TS
- Do not enter a temple when you are bleeding
Dilarang memasuki pura bagi wanita yang sedang datang bulan, pasca melahirkan/keguguran, juga sesiapa yang sedang menderita luka hati terbuka sehingga terjadi pendarahan yang bisa menodai kesucian pura.
- Do not point your feet toward the shrines
Posisi kaki jika ingin duduk di dalam area pura adalah dengan tidak mengarahkan kaki ke depan kita. Tapi posisi kaki bersila untuk pria dan duduk bersimpuh untuk wanita.
- Do not enter restricted area
Namanya saja daerah terlarang yang tentunya enggak sembarangan boleh dimasuki orang. Jadi perhatikan aturan jangan asal masuk saja.
Umat yang sedang beribadah di pura meski tempatnya terbuka juga memerlukan ketenangan agar khusyuk menghadap Sang Pencipta. Jadi setidaknya kita sebagai pengunjung bisa menghormati dengan tidak membuat keributan, jika mengambil gambar jangan menggunakan flash dan lainnya
- Do not forget your manners
Meski area dalam pura begitu Instagrammable, pendeta yang memimpin upacara memakai busana khasnya yang bagus bangets buat tampil di feed Ig kita, atau gadis Bali yang ber-kamen dan kebaya nampak begitu anggunnya. Tetap ingat untuk tidak asal mengambil gambar apalagi sembarangan mengajak wefie. Di dalam pura mereka sedang dalam prosesi sembahyang jadi mari kita jaga etika untuk kepentingan bersama.
TIPS
Nah, setelah tahu Do's & Don'ts saat mengunjungi pura, berikut ini adalah tips berkunjung ke Pura Agung Besakih:
- Siapkan uang tunai karena di sini kita harus membayar retribusi masuk (jika dari jalur utama masuknya), parkir kendaraan, tiket masuk, jasa pemandu (jika perlu)...
dan belanja ini itu. Karena Juni lalu, ATM susah dicari di sini.🙈
- Perhatikan jam buka dan tutup pura (7 pagi-5 sore) juga jadwal persembahyangan. Karena bisa saja jika ada upacara besar area akan penuh dengan umat Hindu Bali yang akan mengikuti ritual ini. Dan, akses menuju ke sana juga lebih padat pastinya.
- Enaknya lewat jalur via Kintamani adalah: tidak ada retribusi tambahan di depan juga lebih dekat ke area kalau dari parkiran.
- Hati-hati dengan pungutan liar: yang resmi adalah yang ada tiketnya.
- Jaga barang bawaan karena pada saat tertentu akan banyak sekali orang baik Krama Bali yang mau sembahyang maupun wisatawan. Khawatirnya ada oknum yang menyusup dan melakukan tindak kejahatan.
- Siapkan
sandaran jiwa raga karena keliling area pura lumayan juga jalannya.
- Pilih datang di waktu yang tepat, sehingga kita bisa menikmati Gunung Agung yang tertinggi di Bali di kejauhan sebelum kabut tipis atau hujan menyelimuti.
- Jangan segan bertanya ke pemandunya tentang apa saja yang kita lewati tadi dan boleh tidaknya masuk ke sana dan ke sini
Akhirnya, semoga catatan perjalanan ini bermanfaat ya, temans...
Lalu, puaskah sudah?
Beluuuuum....😁
Masih banyak yang belum kami kunjungi di Bali. Semoga suatu hari nanti! 😍
Nah, kalau teman-teman sudah pernah ke Pura Besakih belum nih?
Salam satu aspal,
Dian Restu Agustina