Gambut Tidak Bisa Terbakar Sendiri? Jadiii......
"Dari nenek moyang, orang tua kita dulu, memang bertanam harus dibakar, karena apa, alasannya padi yang kita tanam tidak akan subur kalau tidak ada abu. Itu memang sudah mendarah daging di kita, bahwa kita harus tetap membakarnya. Sejak kejadian 2015 kemarin, stop otomatis kita, tidak da lagi membakar, sedikitpun. Karena apa. di situ kita ada Undang-Undang, harus denda dan lain sebagainya..." (Theti N.A - petani Kalimantan Tengah)
Theti N.A, petani dari desa Mentangai Hilir, Kecamatan Mentangai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah nampak bersemangat sekali menceritakan kegiatannya. Pasalnya, lahan gambut yang digarap bersama sekitar 10 orang ibu-ibu lainnya telah menghasilkan dan bisa membantu perekonomian keluarga. Juga, lahan yang dulunya tiap selesai panen harus dibakar untuk menyongsong musim tanam berikutnya, kini tak perlu proses ini lagi.
Karena Ibu Theti dan warga telah dibantu oleh Badan Restorasi Gambut (BRG) untuk bercocok tanam dengan cara perawatan tertentu, tanpa bantuan dari abu. Dan yang terpenting, tak ada lagi bayang-bayang ketakutan jadi korban kebakaran lahan dan hutan seperti tahun 2015 silam. Kejadian kebakaran besar akibat lahan yang dibakar yang berdampak pada asap tebal yang sampai merenggut nyawa warga. Sebuah peristiwa yang membuat mereka sadar bahwa lahan gambut ini mesti dijaga bukan untuk dibakar dengan sengaja.
Awalnya, setelah kejadian kebakaran besar tahun 2015 yang ditindaklanjuti dengan terbitnya aturan hukum tentang pengelolaan hutan dan lahan, Ibu Theti dan warga lainnya cemas akan keberlanjutan usaha pertanian mereka. Kalau lahan tidak boleh dibakar, bagaimana tanaman akan subur nantinya? Syukurnya, tak lama ada bantuan dari BRG untuk warga.
Di mana Ibu Theti diundang untuk mengikuti pelatihan dan diajari metode Demplot - Demontration Plot, sebuah metode penyuluhan pertanian dengan cara membuat lahan percontohan yang bertujuan petani bisa melihat dan membuktikan objek yang didemonstrasikan. Nah, di sini ibu Theti diajari cara mengolah lahan gambut tanpa dibakar sehingga lebih ramah lingkungan.
Kemudian, Ibu Theti bersama kelompoknya mempraktikkan dengan menggarap sebidang lahan dan mencoba menanami dengan terong, tomat, kacang panjang juga pohon sengon dan petai. Dan, ternyata mereka bisa panen sayuran 3 kali dalam setahun yang bisa dipakai untuk kebutuhan sendiri pun dijual untuk menambah penghasilan.
Kini, kegiatan Ibu Theti diikuti sekitar 30 orang Ibu di sekitarnya. Selain mencontohkan, Ibu Theti juga mengajak mereka untuk memanfaatkan pekarangan rumahnya dan mengolah bahan makanan sisa untuk dijadikan pupuk tanaman.
Kini, kegiatan Ibu Theti diikuti sekitar 30 orang Ibu di sekitarnya. Selain mencontohkan, Ibu Theti juga mengajak mereka untuk memanfaatkan pekarangan rumahnya dan mengolah bahan makanan sisa untuk dijadikan pupuk tanaman.
Sekarang warga senang karena sudah tidak perlu membakar lahan sehingga tidak ada lagi kejadian kebakaran dan bisa mendapatkan uang tambahan. Ini semua berkat bantuan program Desa Peduli Gambut dari BRG, sebuah program pendampingan desa dan komunitas dengan pendekatan pembangunan desa berbasis lanskap ekonomi gambut di Indonesia.
Tentang Badan Restorasi Gambut (BRG)
Tentang Badan Restorasi Gambut (BRG)
Menurut Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG), Nazir Foead, Program Desa Peduli Gambut yang membantu Ibu Theti dan warga di desanya ini memang bertujuan untuk mendukung penguatan ekonomi.
“Kegiatan BRG memang untuk memfasilitasi kegiatan restorasi, di seluruh wilayah sudah ada koordinator masing-masing dan kami juga bekerja sama dengan berbagai pihak. Bu Theti ini salah satu contoh yang BRG dorong untuk memanfaatkan lahan gambut tanpa di bakar. Ada banyak kelompok yang melakukan hal serupa, misalnya di Kalimantan Selatan, Riau, Sumatera Selatan dan Papua," jelas Pak Nazir
BRG, sebuah lembaga nonstruktural yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden, memang ada bukan tanpa sebab. Semua berawal dari kejadian kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2015 yang memicu asap pekat dan menimbulkan korban jiwa.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat, sebanyak 2,6 juta hektare hutan dan lahan terbakar dengan 120 ribu titik api sejak Juni hingga Oktober 2015. Sementara World Bank mencatat kerugian dari karhutla mengakibatkan 28 juta jiwa terdampak, 19 orang meninggal, dan hampir 500 ribu orang mengalami gangguan pernapasan atau ISPA. Bahkan asap yang dihasilkan dari kebakaran juga turut dirasakan hingga Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam.
Nah, pasca kejadian ini pemerintah membentuk Badan Restorasi Gambut, tepatnya, pada 6 Januari 2016. Di mana Presiden Joko Widodo menerbitkan Perpres No 1/2016 tentang BRG yang bekerja secara khusus, sistematis, terarah, terpadu dan menyeluruh untuk mempercepat pemulihan dan pengembalian fungsi hidrologis gambut yang rusak terutama akibat kebakaran dan pengeringan.
Sedangkan untuk Tugas dan Fungsi BRG yakni: mengkoordinasikan dan memfasilitasi restorasi gambut pada Provinsi Riau, Provinsi Jambi, Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Kalimantan Tengah, Provinsi Kalimantan Selatan dan Provinsi Papua. Yaitu: Pelaksanaan koordinasi dan penguatan kebijakan pelaksanaan restorasi gambut, Perencanaan, pengendalian dan kerja sama penyelenggaraan restorasi gambut, Pemetaan kesatuan hidrologis gambut, Penetapan zonasi fungsi lindung dan fungsi budidaya, Pelaksanaan konstruksi infrastruktur pembasahan (rewetting) gambut dan segala kelengkapannya, Penataan ulang pengelolaan areal gambut terbakar, Pelaksanaan sosialisasi dan edukasi restorasi gambut, Pelaksanaan supervisi dalam konstruksi, operasi dan pemeliharaan infrastruktur di lahan konsesi, Pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Presiden.
Kini, BRG memasuki tahun kelima. Tugasnya akan berakhir pada 31 Desember 2020 nanti. Kalau tak diperpanjang, tak akan ada lagi gugus tugas khusus yang mensupervisi upaya restorasi gambut ini. Gambut yang dipulihkan seluas 2,67 juta hektar yang terbagi dalam beberapa bagian. Kawasan budidaya berizin baik kehutanan maupun perkebunan seluas 1.784.353 hektar, kawasan budidaya tidak berizin 400.458 hektar, dan kawasan lindung 491.791 hektar, total lahan non konsesi 892.248 hektar.
Jadi BRG bekerja langsung di 892.000 hektar. Sedangkan yang 1,7 juta hektar adalah konsesi perusahaan yang mana BRG berfungsi supervisi. Untuk pengawasan, bukan ranah BRG. Karena pengawasan dilakukan oleh pemberi izin.
Nah, hingga 2019, luas lahan gambut yang sudah diintervensi BRG 778.181 hektar. Di Riau (93.751), Jambi (86.125), Sumatera Selatan (142.606), Kalimantan Barat (47.521). Lalu, Kalimantan Tengah 399.657 hektar, Kalimantan Selatan (7.421) dan Papua 1.100 hektar. Luas yang difasilitasi BRG 509.709 hektar, dan berkoordinasi dengan mitra 268.472 hektar.
“Pekerjaan restorasi gambut tidak bisa selesai dalam lima tahun. Ada negara-negara yang merestorasi gambutnya sejak pululan tahun lalu, di Florida sudah 30 tahun, itu juga belum selesai sampai sekarang, di Jepang, restorasi 300 hektar lahan sudah 10 tahun belum selesai. Restorasi butuh waktu yang tidak singkat. Bagi kami yang penting kegiatan programnya tetap terus berjalan,” tutur Pak Nazir.
Kini, BRG masih memiliki pekerjaan rumah merestorasi sekitar 120.000 hektare hutan dan lahan gambut pada 2020. Termasuk menyiapkan sejumlah mekanisme untuk mengantisipasi kebakaran gambut di 2020. Salah satunya, dengan membangun 19 ribu unit infrastruktur untuk merekayasa pembasahan dan penanganan kebakaran di lahan gambut. Di mana BRG mengharapkan upaya pembasahan gambut ini juga diikuti pihak swasta. BRG mendorong pengusaha membuat rencana pemulihan di lahan masing-masing juga menyiapkan 19 infrastruktur untuk merekayasa pembasahan lahan gambut. Infrastruktur tersebut terdiri dari sumur bor dan sekat kanal, total ada 19 ribu sekian (unit) hingga akhir 2019. Lebih lanjut, BRG juga memantau lahan gambut melalui sistem Peatlans Restoration Information Monitoring System (PRIMS), sebuah sistem yang terhubung dengan satelit Lapan.
"Kita harus memantau betul-betul dari Lapan setiap minggu ada citra satelit. Kita harus melihat mana saja indikasi ada pembukaan baru, karena bukaan (lahan) baru ini biasanya akan dibakar saat kemarau. Nah ini jangan sampai dibakar, sambil melihat perkiraan hujan dari BMKG. Juga tak menutup kemungkinan diterapkan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) melalui mekanisme hujan buatan. TMC nantinya akan menyesuaikan dengan intensitas musim kemarau. Tergantung musim kemarau, kalau Februari-Maret ini kemarau sudah ada ya. Tapi sih saya perkirakan yang banyak (kemarau) di bulan Juli," jelas Pak Nazir lagi.
Serba-Serbi Gambut
Tema menarik tentang gambut ini bikin mata saya terbuka. Ternyata sedemikian kompleks masalah gambut terkait dengan kebakaran hutan dan lahanini di Indonesia. Tak sesederhana jika ada kebakaran biasa yang setelah dipadamkan apinya habis perkara.
Pasalnya, lahan gambut menyimpan karbon dalam jumlah besar. Sehingga, ketika gambut dikeringkan atau dibakar, gambut akan melepaskan karbon ke atmosfer. Ini berdampak buruk bagi lingkungan, kesehatan dan banyak aspek kehidupan termasuk akses pendidikan. Bahkan pada tahun 2015, kebakaran di lahan gambut menyebabkan jumlah emisi yang melebihi emisi harian perekonomian di Amerika Serikat. Kebakaran pada tahun 2015 juga telah menyebabkan korban jiwa dan ditutupnya sekolah-sekolah akibat kabut asap yang pekat.
Gambut, adalah lahan basah yang terbentuk dari timbunan materi organik yang berasal dari sisa-sisa pohon, rerumputan, lumut, dan jasad hewan yang membusuk yang menumpuk selama ribuan tahun hingga membentuk endapan yang tebal. Di mana pada umumnya, gambut ditemukan di area genangan air, seperti rawa, cekungan antara sungai, maupun daerah pesisir.
Gambut terbentuk ketika bumi menghangat sekitar tahun 9.600 Sebelum Masehi, ini disebut sebagai gambut pedalaman. Seiring meningkatnya permukaan laut, terbentuklah gambut di daerah delta dan pantai. Di mana berbeda dengan gambut pedalaman, gambut di daerah ini mengandung kandungan mineral dari air sungai dan pantai akibat pasang surut air laut dan air sungai.
Nah, memang lahan gambut mengandung dua kali lebih banyak karbon dari hutan tanah mineral yang ada di seluruh dunia. Sehingga, ketika terganggu atau dikeringkan, karbon yang tersimpan dalam lahan gambut dapat terlepas ke udara dan menjadi sumber utama emisi gas rumah kaca.
Sementara tingkat kedalaman gambut akan menentukan jumlah kandungan karbon dan jenis tanaman yang dapat hidup di sana. Dan spesies lokal yang cocok di lahan gambut diantaranya: meranti rawa, sagu, kayu gelam. Untuk kayu gelam misalnya, setelah 7 tahun bisa dapat 30 juta/hektar.
Sementara tingkat kedalaman gambut akan menentukan jumlah kandungan karbon dan jenis tanaman yang dapat hidup di sana. Dan spesies lokal yang cocok di lahan gambut diantaranya: meranti rawa, sagu, kayu gelam. Untuk kayu gelam misalnya, setelah 7 tahun bisa dapat 30 juta/hektar.
Maka, tepat rasanya jika Tempo Media Group menjadikan tema tentang gambut ini dalam acara Ngobrol Bareng Tempo di Cafe Beka Resto, Jakarta Pusat, Rabu 29 Januari 2020 kemarin.
Sebuah diskusi yang menarik dihelat dan diberi tajuk: "Tahun 2019 Tahun Terpanas Kedua Sepanjang Sejarah: Bagaimana Antisipasi Indonesia di Lahan Gambut Tahun 2020?"
Di mana narasumber acara adalah:
Di mana narasumber acara adalah:
- Nazir Foead - Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG)
- Prof Bambang Hero Saharjo - Guru Besar Kehutanan IPB
- Iola Abbas - Koordinator Nasional Pantau Gambut
- Theti N.A - Petani Kalteng
Acara juga menghadirkan:
- Opening Speech: Toriq Hadad - Direktur Utama Tempo Media Group
- Moderator: Gabriel Titiyoga - Redaktur Sains & Sports Majalah Tempo
Di mana disampaikan oleh Pak Toriq, bahwa sebegitu penting masalah gambut ini ditangani mengingat bahaya yang mengancam jika terjadi kebakaran lagi dan lagi. Maka di acara Ngobrol @ Tempo diharapkan bisa terbuka wawasan kita akan hal ini juga ada sumbangan buah pikiran di akhir acara nanti.
Penanganan Karhutla Jangan Cuma Jargon Semata
Adalah Prof Bambang Hero Saharjo yang menilai jika masih ada perbedaan antara pernyataan pengambil kebijakan dan hasil temuan di lapangan. Guru besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) ini juga meminta pemerintah lebih serius mencegah kebakaran hutan dan lahan daripada menanggulanginya. Data yang ada kebakaran lahan pada tahun 2019 telah menghasilkan 708 Megaton CO2. Ada 90 gas terkandung di dalam asapnya dan 50 % lebih adalah gas beracun. Maka masyarakat harus berhati-hati pada dampak asap.
Prof Bambang kemudian mencontohkan tentang pembangunan sekat kanal di lahan gambut yang harusnya selalu diperiksa kembali oleh BRG untuk memastikan berfungsi dengan baik.
"Teman-teman kan sudah melakukan kegiatan restorasi. Tolong dicek, benar enggak canal blocking-nya, karena mestinya pada saat musim kemarau airnya juga ada, musim hujan juga ada tapi dijaga,"
Pak Bambang juga mengkritik kebijakan penanggulangan karhutla Indonesia yang selama ini dinilai lebih berorientasi pada tahap tanggap darurat bencana dibanding tahap pencegahannya.
"Jadi saya ingat diundang tahun lalu itu dana siap pakai Rp 6,7 triliun. Yang 3,7 (triliun) sekian habis untuk karhutla. Betapa besar. Tidakkah sebagian dari itu digunakan untuk pencegahan tersebut?
Dia juga meminta pemerintah tidak pandang bulu dalam menegakkan hukum dan tidak perlu ragu menindak perusahaan-perusahaan yang terbukti membakar lahan gambut.
"Pada akhirnya gakkum (penegakan hukum) itu tanpa pandang bulu. Pernah saya ke TKP, 'Ini punya siapa?', 'Oh jangan diganggu, Pak'. Kalau saya pakai kacamata kuda, enggak ambil pusing, saya bilang karena dia lagi (pelakunya)," tegas Prof Bambang yang juga penerima Anugerah John Maddox Prize 2019, sebuah anugerah untuk para ilmuwan yang gigih mempertahankan pendapatnya berdasarkan fakta ilmiah yang diperolehnya berdasarkan penelitian yang bisa dipertanggung jawabkan.
"Kita tidak punya maksud apa-apa, kita ingin tunjukkan ke dunia bahwa penegakan hukum kita itu bukan mencari-cari kesalahan, tapi jika ada yang seperti ini, tidak kita tolerir. Nah, kebetulan saja korporasi itu yang kena, yang harus bertanggung jawab," lanjut ilmuwan spesialis forensik api ini.
Prof Bambang juga mengatakan keberadaan lahan gambut Indonesia wajar jika menjadi perhatian dunia, mengingat area ini menyumbang emisi karbon terbesar jika terbakar. Karenanya sangat penting memastikan lahan-lahan gambut itu tidak terbakar. Penanganannya jangan cuma jargon semata!
Juga menurutnya, gambut tidak akan bisa terbakar dengan sendirinya. Pasalnya, lahan jenis ini bisa terbakar hanya jika dibakar.
"Persoalannya siapa yang membakar? Kalau penyebabnya alam, ya, berarti karena lava dan petir. Dengan demikian siapa yang sebenarnya yang membakar? Ya, yang berkepala hitam atau kepala putih," ujarnya tegas.
Kemudian Prof Bambang menjelaskan apa yang bisa dilakukan untuk masalah karhutla ini, yakni:
- Pencegahan bukan lagi jargon belaka
- Lakukan audit kepatuhan pengendalian karhutla kepadaa pelaku usaha
- Lakukan audit kanal bloking yang sudah dinyatakan telah direstorasi
- Pastikan alat bantu pengendalian karhutla bekerja
- PLTB difasilitasi
- Gakkum tanpa pandang bulu
Masalah Gambut Ini Kompleks, Masyarakat yang Bisa Menjadi Penjaganya!
Sementara Iola Akbas, Koordinator Nasional Pantau Gambut, menyatakan jika masyarakatlah yang bisa menjadi penjaga lahan gambut ini. Tapi sayangnya lahan mereka makin mengecil karena alih fungsi.
Mbak Iola juga menyebutkan kompleksitas masalah gambut ini, membuat kita semua mau tidak mau harus menarik garis ke belakang. Harapannya pencegahan kebakaran direview dari hulu ke hilir. Mulai dari pemberian ijin pembukaan lahan, khususnya untuk kepentingan industri. Juga, perlu diperhatikannya apakah keseimbangan ekosistem tetap baik. Tak hanya itu penegakkan hukum hukum pun perlu diterapkan. Dan tindak lanjutnya harus transparan.
Mbak Iola juga menyebutkan kompleksitas masalah gambut ini, membuat kita semua mau tidak mau harus menarik garis ke belakang. Harapannya pencegahan kebakaran direview dari hulu ke hilir. Mulai dari pemberian ijin pembukaan lahan, khususnya untuk kepentingan industri. Juga, perlu diperhatikannya apakah keseimbangan ekosistem tetap baik. Tak hanya itu penegakkan hukum hukum pun perlu diterapkan. Dan tindak lanjutnya harus transparan.
Pantau Gambut sendiri adalah wadah atau platform daring yang menyediakan akses terhadap informasi mengenai perkembangan kegiatan dan komitmen restorasi ekosistem gambut yang dilakukan oleh segenap pemangku kepentingan di Indonesia. Pantau Gambut juga bertujuan meningkatkan kesadaran akan pentingnya perlindungan gambut dalam konteks perlindungan lingkungan hidup, pengurangan emisi, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Dengan menggabungkan teknologi, data terbuka, dan jaringan masyarakat, masyarakat dapat memantau komitmen restorasi lahan gambut yang dilakukan oleh pemerintah, organisasi masyarakat sipil, serta pelaku usaha. Melalui analisis perkembangan serta kendala realisasi komitmen pelaku restorasi, diharapkan dapat tercipta gagasan yang dapat mendukung target restorasi gambut di tingkat nasional.
Tahun 2019 Tahun Terpanas Kedua Sepanjang Sejarah: Bagaimana Antisipasi Indonesia di Lahan Gambut Tahun 2020?
Tahun 2019 adalah tahun terpanas kedua sepanjang sejarah Indonesia setelah tahun 2016. Apalagi BMKG memprediksi akan ada kemarau panjang di tahun ini. Maka kita semua mesti bersiap untuk mengantisipasi terulangnya kebakaran hutan dan lahan lagi.
- Badan Restorasi Gambut (BRG) masih memiliki PR merestorasi lahan yang disebutkan yang belum tertangani, harapannya akan selesai sampai akhir masa tugasnya Desember nanti.
- Pemangku kebijakan terkait seharusnya memperhatikan segala masukan dan laporan yang disampaikan oleh berbagai pihak tentang karhutla ini dan segera melakukan tindakan jika setelah divalidasi ternyata laporan itu benar dan bukan mengabaikannya.
- Mereview penyebab karhutla dari hulu ke hilir dengan duduk bersamanya pemangku kebijakan, pelaku usaha, masyarakat, lembaga swadaya dan semua pihak terkait untuk mencari solusinya
- Kolaborasi strategis perlu ditingkatkan diantara semua pihak sehingga pencegahan karhutla bisa dilakukan dibandingkan melakukan penanggulangan
- Perlu meninjau ulang aturan kementerian yang kontradiktif dengan upaya restorasi gambut, seperti program penanaman kembali perkebunan sawit.
- Tugas BRG akan berakhir pada 31 Desember 2020. Kalau tak diperpanjang, tak akan ada gugus tugas khusus yang supervisi upaya restorasi gambut. Mengingat pentingnya menjaga gambut ini, diharapkan ada kebijakan untuk penanganan gambut jika masa tugas BRG tidak diperpanjang lagi.
- Sosialisasi dan edukasi pada masyarakat luas perlu ditingkatkan akan perlunya ajakan #AyoJagaGambut ini
- Masyarakat bisa berpartisipasi dalam hal ini, misalnya dalam kegiatan pantau gambut
Dan, acara Ngobrol @ Tempo pun berakhir dengan harapan terbaik tidak ada lagi kebakaran hutan dan lahan terjadi di negeri ini dan lahan gambut yang ada bisa segera direstorasi.
#AyoJagaGambut demi masa depan generasi mendatang!!💖
www.brg.go.id | tempo.co | www.menlhk.co.id | www.pantaugambut.id
IG: @brg_indonesia | @tempodotco | @kementerianlhk | @kantorstafpresidenri
Twitter: @BRG_Indonesia | @tempodotco | @kementerianlhk | @KSPgoid
Salam Semangat
Dian restu Agustina
Amiin. Semoga tidak ada lagi kebakaran hutan dan lahan terjadi di negeri ini dan lahan gambut yang ada bisa segera direstorasi.
BalasHapusMakasih pencerahannya
Wah banyak 'ilmu' dibalik lahan gambut. Saya baru tahu kalau pembakaran itu agar tanahnya subur... Tp dengan metode yang tepat petani tdk perlu membakar lahan utk bercocok tanam.
BalasHapusSemoga edukasi seperti ini banyak diterima masyarakat ya mbak. Thanks for share
Wah bagus sekali topiknya, jarang jarang ada pembahasan gambut secara tuntas seperti ini
BalasHapusSehingga masyarakat awam cuma tahu sepotong sepotong
Betul bu, saya pun kemarin juga turut hadir karena materinya bikin penasaran dan rasanya ingin berbagi dengan teman=teman lainnya juga.
Hapusbetul. saya juga baru tahu ternyata lahan gambut punya kandungan karbon yg tinggi. pantas saja bikin masalah saat kebakaran terjadi
HapusNiat awal menyuburkan tanah tapi dampak negatifnya lebih besar ya dengan membakar gambut.
BalasHapusBagus sekali acara seperti ini. Makasih pencerahannya mbak.
bayangan saya gambut adalah lahan yg tergenang air karena dekat rawa2. ternyata tidak ya, tapi tanahny lembab dan begitu subur
BalasHapustp karena adat membakar lahan gambut sebelum mulai bertani, ini jd masalah namun kemudian sidah mendapat sosialisasi. lalu sekarang siapa yg membakar dan untuk apa? orang jahat
Setuju sekali. Perkembangan ilmu dan teknologi seharusnya bisa meredam efek negatif dari perkembangan zaman ya
BalasHapusSedih ya dengan kenyataan bahwa lahan gambut kita banyak dibakar pihak tak bertanggung jawab yang hanya mementingkan kepentingan pribadinya. Semoga deh, dengan semakin banyaknya pihak yang peduli, semua lahan gambut bisa direstorasi kembali. Dan tak ada lagi kebakaran hutan gambut.
BalasHapusAku baru tau loh informasi detil tentang gambut setelah baca artikel ini mba. Selama ini cuma tahu ada kebakaran hutan dan lahan gambut aja gitu. Dan memang suka sedih kalo kebakaran itu disebabkan tindakan manusia sendiri ya. Mau gak mau harus diedukasi masyarakatnya biar bumi tetap terjaga.
BalasHapusSelalu senang kalau baca tulisan Mba Dian,ada hal baru yang bisa dipelajari secara lengkap. Serumit itu ternyata permasalahan kebakaran lahan gambut ini ya. Untungnya sudah ada BRG, jd bisa terus disupervisi pekerjaan rumah restorasi lahan gambut sehingga lahannya bisa di fungsikan lagi sebagaimana mestinya. Juga semoga lewat membaca tulisan Mba Dian ini makin banyak tumbuh kesadaran masyarakat untuk menjaga bumi bersama sama.
BalasHapusBeneran jadi ngeh tentang lahan gambut ininloh setelah baca tulisan ini. Memang sudah saatnya semua peduli lingkungan ya, bukan hanya eksploitasi hasil alamnya saja. Semoga upaya seperti ini dapat menjaga alam Indonesia agar tetap subur dan beri manfaat banyak untuk masyarakat.
BalasHapusSaya aja baru tahu kalau gambut banyak manfaat selain untuk pertanian tapi juga mencegah banjir. Tahu secara nyata maksudnya bukan teori saja. Setelah melihat beberapa video. Hehehe. Oalah, jadi kalau ada ladang gambut terbakar itu pasti ada oknumnya ya. Secara tidak langsung malah jadi pencemaran. Terima kasih ilmunya, mbak dian
BalasHapusKebetulan sekali, saya baru saja mau mulai berkebun.. info tentang lahan gambut, sedikit banyak menambah wawasan saya tentang tata cara berkebun..
BalasHapusSemoga di lahan gambut tidak ada lagi kebakaran..
😊😊
Hmm ya bener juga sih, dari dulu aku juga taunya sampah itu kudu dibakar karena memang beberapa rumah juga ada yg melakukan itu. Ternyata gak harus ya.
BalasHapusPengetahuan ttg restorasi gambut ini perlu juga kita tahu ya, mengantisipasi ada kebakaran hutan saat kemarau tiba nanti...
Aku tuh belum pernah main ke lahan gambut di Indonesia, padahal Indonesia merupakan negara no 2 terbesar ya mbak setelah Canada. Btw aku suka sekali dengan apa yang dilakukan oleh ibu theti dan teman-teman petani di Kalteng. Mereka tetap produktif di lahan gambut.
BalasHapusOh kalau dulu gambut itu dibakar ya Mba Dian. Aku baru tahu. Aduh ilmuku di bidang pertanian ini minim sekali. Syukurlah ya sekarang bisa pakai metode Demplot ya jadi untuk menghindari bahaya kebakaran hutan atau lahan, metode ini lebih ramah ya di lingkungan. MasyAllah terobosan baru yang sangat bermanfaat sekali ya ini ilmunya di bidang pertanian. Mengedukasi sekali ini 😍
BalasHapusDari dulu temenku selalu bilang, "Mana ada lahan gambut terbakar? Gambut itu nggak bisa terbakar sendiri. Meskipun cuacanya panas, nggak ada ceritanya." E, ternyata memang benar ya. Memang yang berat itu edukasinya. Mengubah kebiasaan dengan memaparkan pada cara baru. Rata-rata petani di sana pasti udah khatam banget bab gambut kudu dubakar, ternyata ada cara lain yang lebih ramah lingkungan. Acara bagus nih, nambah wawasan banget buat orang awam.
BalasHapusMakasih sharingnya mbak, menambah wawasan banget... Semoga Indonesia bisa bebas dari kasus pembakaran lahan gambu... Butuh kerjasama semua pihak ya...
BalasHapussebagai anak yang lahir dan besar di kalimantan, saya tahu persis tentang gambut dari bapak almarhum. Gambut berperan besar pada kesuburan lahan juga, dan tidak mungkin terbakar jika tidak dibakar
BalasHapusSemoga tidak ada lagi kebakaran hutan dan lahan terjadi di negeri ini dan lahan gambut yang ada bisa segera direstorasi.
Dulu aku taunya pembakaran lahan gambut berbahaya bagi keseimbangan udara karena polusi asapnya itu. Tapi setelah baca tulisan ini jadi tau lebih banyak bahkan untuk menunggu terbentuknya lahan ini harus menunggu jutaan purnama. Cinta dan Rangga mah lewat. By the way Bu Theti, prof Bambang dan narsum lainnya ini keren banget deh. Thanks for sharing ya, Mak
BalasHapusAamin semoga nggak terjadi lagi kebakaran hutan mbak, dua kali merasakan sesaknya kabut asa di 2015 dan 2019, kasihan anak-anak masa depan mereka masih panjang tapi paru-paru sudah dicemari karbon. Belum lagi sekolah libur, yang jelas membuat mereka tertinggal pelajaran sehingga harus dipadatkan jadwalnya. Di 2019 kemarin bahkan di kelas anak saya tidak ada pelajaran menggambar karena sekolah mengejar ketertinggalan tema. Ini hal kecil dampak asap, tapi mudah-mudahan pemerintah dapat mencegah kebakaran lahan kembali terjadi.
BalasHapusMaaf ya mbak malah jadi curhat hahaha
Nah mereview mulai dari pemberian ijin pembukaan lahan, masalah penegakkan hukum dan transparansi penanganannya, sepertinya akan menjadi PR yang cukup berat. Hehehe...
BalasHapusMembakar hutan itu sebenarnya ada di mana-mana ya Mba, di daerah Sulawesi, tempat ortu saya juga sering gitu, cuman beruntung saja mereka pandai menjaga agar api tidak melebar hanya membakar di tempat yang memang harus dibakar, pun juga karena jenis tanahnya bukan gambut deh kayaknya.
BalasHapusTerlebih di tempat ortu saya itu, tanahnya kurang subur, maklum di atas tambang aspal, jadi butuh dibakar biar bisa dapat semacam pupuk dari abu pembakaran itu.
Semoga lahan gambut di Indonesia bisa direstorasi dengan baik ya Mba, dan tidak terulang lagi pembakaran hutan yang merugikan banyak orang maupun lainnya
Ya ampun, 2,6 juta hektar? kayak apa tuh luasnya?
BalasHapus1 hektar aja udah ngos-ngosan.
Memang masalahnya komplek banget ya, sampai kudu di review keseluruhan dari hulu sampai hilir gitu.
Berharap hukum di negara ini juga bisa melindungi gambut tersebut dari orang-orang yang kebal hukum yang bertanggung jawab atas kebakaran gambut itu :)
Hiks.. sayangnya belum ada hukuman tegas bagi para pembakar lahan ya Mba..
BalasHapusYang ditangkap kadang hanya yang bakar, sementara pihak perusahaan sebagai penyuruh / dalang tidak dapat hukuman.
Kerasa banget mmg dua tahun terakhir cuaca panas melebihi kemarau biasa. Semoga pembakaran hutan dan lahan gambut setiap tahun bisa dikurangi. Dan hukum ditegakkan dengan tegas gak hanya pelaku kecil saja, tapi dalang utama. Krn saya sih lebih percaya untuk membuka lahan biasanya dibakar krn mmg tradisi di sumatera pun begitu sejak lama untuk buka lahan
BalasHapusUlasan yang sangat lengkap dan menambah pengetahuan baru. Dan saya juga salut sama Ibu Theti, semangatnya luar biasa.
BalasHapusSemoga program seperti itu terus diupayakan dan memberikan pemahaman kepada seluruh masyarakat awam agar tidak melakukan pembakaran ke lahan gambut lagi. Iya, memang, tanah yang terkena abu itu akan lebih subur. Tapi, saat ini perlu ekstra hati-hati lagi agar tidak terulang lagi seperti tahun 2015 lalu.
Kebakařan lahan dan hutan yang terjad di negeri ini begitu memprihatinkan. Oleh karenanya dibutuhkan langkah lain yg lebih signifikan dalam pengolahan tanpa merusak lingkungan
BalasHapusupaya yg telah dilakukan Badan Restorasi Gambut ini terbilang cukup baik dalam pengolahan lahan tanpa harus ada pembakaran dan kelestarian lingkungan akan tetap terjaga
Baru tahu ternyata lahan gambut dibakar buat nanti ditanam lagi biar subur. Ternyata ada metode Demplot. Ilmu baru lagi setelah baca ini. Terima kasih ulasan lengkapnya.
BalasHapusMemang tahun 2019 jadi tahun terpanas, ya, Mbak. Semoga masalah pembakaran ini bisa ditangani dengan serius oleh pemerintah dan masyarakat bisa paham mengenai pentingnya menjaga kelestarian gambut
Arrgggg...kalo udah menyangkut penegakan hukum, rasanya pingin ngeramus meja. Gemash! Kompleks banget emang masalah gambut ini. Butuh komitmen amat kuat dan sinergitas seluruh pemangku kepentingan. Tapi, semoga bisa lah.
BalasHapusSedih sih kalau dengar berita tentang kebakaran hutan. Meski tidak mengalami langsung. Ini memang tanggung jawab bersama. Sayangnya tidak semua memiliki kesadaran tersebut.
BalasHapusWah, aku kira memang penanganan lahan gambut hanya dengan dibakar. Padahal memang outputnya adalah kerusakan lingkungan ya. Semoga setelah ini penanganan lahan gambut bisa lebih ramah lingkungan.
BalasHapusSemoga bisa terus mengurangi angka kebakaran hutan kedepannya 😊
BalasHapusKalau lihat berita tahun lalu tentang kebakaran hutan selalu bikin resah. Semoga sosialisasi ini bisa diberikan sama para petani agar mengganti metode membakar gambut dengan metode lain. Supaya kasus hutan terbakar bisa berkurang.
BalasHapusYa ampun ini bikin kita sedih ternyata cara mencari makan kita bisa menyusahkan orang lain. Kebakaran gambut bisa jadi karena minim pengetahuan dan belajar turunan.
BalasHapusSalut nih sama bu Theti. Kalau mendengar tentang kebakaran hutan memang membuat hati miris skaligus sedih. Mudah2an aja semakin banyak yang aware dan tidak lg kejadian kebakaran hutan.
BalasHapusPerlu antisipasi dan payung hukum yang kuat untuk menangani permasalahan lahan gambut di Indonesia.
BalasHapusRegulasinya lebih diperjelas dari pemberian izin, penegakan hukum yang tegas tanpa pandang bulu dan sosialisi rutin dari Desa Peduli Gambut BRG. Moga kedepannya ada aturan lebih detail di UU
Ternyata, tanah gambut bisa ditanami sayuran untuk mekanan sehari-hari ya, mbak. Baru tahu lho aku. Kirain ya mmg untuk lahan bercocok tanam skala besar, seperti kayu2an
BalasHapusYa Allah, baru ngeh soal gambut aku...
BalasHapusDi kalimantan kan mayoritas kan gambut ya
Sedih ya salah kaprah turun-temurun membakar lahan, Alhamdulillah ada petani peduli kayak Bu Tethy yang menanam tanaman untuk mendapat penghasilan sekaligus menjaga lingkungan
BalasHapusSosialisasi masih jadi PR utama sih Mak karena kayanya masih banyak yang belum paham tentang restorasi gambut ini. Masalah pembakaran lahan yang salah juga udah kita rasain sendiri kemaren. Indonesia sekarang bener-bener darurat keadaan lingkungannya, terutama area hutan. Semoga event kayak gini bisa lebih sering diselenggarakan dan masyarakat juga jadi makin aware dengan isu ini.
BalasHapussemoga dengan edukasi ini banyak lahan gambut yang bisa diselamatkan dan direstorasi agar keberadaannya terus alami di bumi pertiwi kita ini :)
BalasHapusaamiin
Hapusternyata masalah ini penyelesaian bertahap dan butuh waktu lama. di florida saja sampai 30 th belum selesai jg
Pertama kali lihat pembakaran pasca panen sekitar tahun 2013. Awalnya bingung kenapa dibakar? Ternyata itu udah jadi budaya di kalangan petani yah. Dan aku baru tahu itu membahayakan :( beruntung pemerintah sigap dengan menghadirkan BRG ini. Semoga jangkauan BRG nakin meluas ke depannya.
BalasHapusAlhamdulillah udah nggak perlu lagi membakar, karena pakai bakar-bakaran bisa merembet ke pohon yang lain bahkan jadi polusi udara karena asapnya. Kuy jaga bumi kita ini dan stop pembakaran lahan, agar bumi ini dapat bernapas dengan lega
BalasHapusManfaatnya banyak banget ya bun dengan tidak merestorasi lahan gambut. Hal terpenting mengurangi kebakaran lahan dan asap, serta dengan penanaman tanaman lain, bisa meningkatkan ekonomi para petani
BalasHapusAku baru tahu ini mba klo gambut menyimpan karbon dalam jumlah besar. Sehingga, ketika gambut dikeringkan atau dibakar, gambut akan melepaskan karbon,,, hrs bner2 hati2 bngt y
BalasHapusBaca ini aku jadi inget asap tahun lalu di Kalimantan. Kebetulan aku tinggal di kalsel. Lumayan berasa asap kiriman dr kalteng. Serem emang kebakaran lahan gambut ini. N memang sengaja dibakar sih. Coba deh para pengusaha sawit melakukan hal yg sama kyk ibu tuti ini. Karena sependek pengetahuan saya, petani lokal punya peran sedikit dalam kebakaran lahan. Memang restorasi gambut memakan waktu ya mba. Tapi semoga semua bisa dimulai.
BalasHapusDengan membangun 19 ribu unit infrastruktur guna merekayasa pembasahan dan penanganan kebakaran di lahan gambut sungguh merupakan terobosan yang patut dicontoh oleh wilayah lainnya.
BalasHapusSemoga dengan adanya program Desa Peduli Gambut dari BRG, para pemilik lahan tidak lagi membakar lahan mereka.
BalasHapusKarena dampak yang ditimbulkan saat membakar lahan itu besar sekali.
Tidak hanya di titik kebakaran tetapi sampai ke Negara tetangga pun ikut mendapat imbas nya.
Selain mengganggu pernapasan, anak-anak yang bersekolah pun turut diliburkan karena kabut asap yang ditimbulkan sangat mengganggu proses belajar mengajar mereka.
Semoga kedepannya kita lebih bijak lagi,terutama setelah adanya program pendamping desa dan komunitas dengan berbasis lanskap ekonomi gambut
sebagai penyuka pete.. saya senang bu theti bisa panen pete 3 kali setahun.. kan enak di pasar tersedia pete terus hehehehhe... mencegah kebakaran adalah tanggung jawab bersama betewe
BalasHapusAku pernah nonton mba soal kebakaran hutan waktu tahun 2019 yang lalu, bapak-bapak pemadamnya sampai kewalahan memadamkan lahan gambut yang terbakar karena katanya sangat sulit. Disiram terus-terusan pun masih belum tentu tuntas. hanya air huja yang mungkin bisa. duh sedih banget waktu itu. Memang betul ya, kebakaran hutan khususnya hutan gambut perlu tindakan yang lebih serius dari pemerintah dan kita semua, seluruh masyarakat. Tidak hanya sebatas jargon, dan apalagi dengan program yang hanya dibatasi 5 tahun, semestinya memang perlu program yang terus berkelanjutan. Btw, terimakasih sharingnya mbak Dian, aku jadi tau banyak banget soal lahan gambut ini :). Semoga tahun ini tidak ada kebakaran hutan gambut lagi, Aamiin.
BalasHapusTopiknya mengedukasi banget mbak. Semoga kedepannya seluruh warga Indonesia makin paham dan sadar untuk menjaga hutan di Indonesia.
BalasHapusYa ampuun mbaa, ada Prof Bambang Hero, beliau dosen akuh pas di kampus. Duh, baca materi ini aku jadi kangen banget kuliah makul beliau. Dan, masalah gambut ini memang cukup kritis ya mba, dan juga menyangkut penanganannya. Wahh, baca ini jadi kangen kuliah mbaa.
BalasHapusMmg ada sejarahnya dibakar ya, tp semakin kesini malah disalahgunakan ya. Semoga semua pihak jadi lebih aware sama menjaga lingkungan dan masalah karhutla cpt teraatasi.
BalasHapusSemoga dengan penyuluhan dan pendampingan yang diberikan pertanian di Kalimantan tambah maju. Kadang miris kalau profesi petani seperti Bu Theti dan kawan-kawan ini semakin sedikit karena tidak mendapat support yang memadai. Apa jadinya negara kita kalau ga ada petani. Masak import pangan, padahal tanah kita sebenarnya subur dan menghasilkan. Semoga banyak generasi muda yang minat jadi petani
BalasHapusAlhamdulillah ya, udah ada solusi untuk lahan gambut tanpa harus bakar-bakar lagi. Kalau implementasinya oke, nggak ada yang nakal, in syaa Allah bisa ngurangi kabut asap juga.
BalasHapusMenjadi PR bersama nih ya mba antara masyarakat dengan BRG. Semoga saja nanti masa tugasnya diperpanjang, karena di negara-negara lain pemulihan lahan gambut bisa makan waktu puluhan tahun. Masih ada banyak lahan gambut yang harus diselamatkan dari bahaya kebakaran.
BalasHapusEmang harus ada solusi bukan malah membakar hutan seenaknya aja dan harus ada yg bertanggung Jawab masalah ini
BalasHapus