Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Perempuan Bernama Yah

Kami tiba di Bandara Polonia Medan pada pukul 10 pagi. Perjalanan sejauh 80 km dari Pangkalan Brandan tadi memang sedikit terhambat. Anakku muntah, sehingga kami singgah dulu di Masjid Stabat. 

Untuk terakhir kalinya kupeluk Wak Yah erat-erat. Hal yang belum pernah kulakukan sebelumnya.

“Selamat tinggal ya, Wak, terimakasih untuk semuanya. Insya Allah lain waktu kita bertemu,” bisikku haru.

”Ya, Bu, sama-sama,” jawabnya pendek sambil menahan isak.

Lalu dipeluknya anakku,”Jadi anak yang baik ya Mas,” pesannya pada bocah berusia 2 tahun, yang hanya bisa mengangguk-angguk mengiyakan tanpa tahu benar apa maksudnya.

Waktu tak banyak tersisa. Saatnya meninggalkan Sumatera Utara. Menorehkan kenangan tentang Wak Yah, asisten rumah tanggaku yang tak kuanggap sebagai orang lain. Ia istimewa, bahkan sejak pertama kali aku mengenalnya.



Cerita Pendek



***

Tugas suamiku membawa kami tinggal di kota kecil ini. Membuatku harus meninggalkan karir dan menjadi ibu rumah tangga. Sebuah perubahan yang ternyata tidah semudah yang kubayangkan. Setahun kemudian, anak pertama kami berpulang di usianya yang baru 13 hari. Aku terguncang. Karena khawatir, suamiku mencarikan asisten rumah tangga untuk menemaniku. Meski sebenarnya tak banyak pekerjaan untuk dikerjakan. Dan, wanita paruh baya itu bernama Wak Yah. Seorang yang periang, dengan tawa lepas, dan sikap yang santun. Hari Senin sampai Sabtu dari pagi sampai siang, kalau Minggu libur. Itu jadwal kerja yang kutawarkan padanya. Dan ia berterimakasih, karena ada hari libur.

Terlahir sebagai Komariyah, keturunan Melayu yang berdiam di Langkat. Setelah tali pusarnya dipotong, tubuh merahnya sengaja dibaringkan di atas tampah dan diletakkan di bale-bale di belakang rumah. Lalu, sepasang suami istri tak berputra membawanya pulang ke rumah mereka. Dan, ia pun diasuh oleh orang tua angkat yang bersuku Jawa yang merubah namanya menjadi Sugiharti. Yah telah melewati sebuah ritual menjadi ”anak pancing”, yakni anak yang diadopsi buat "memancing" punya keturunan sendiri.

"Memangnya Wak Yah tahu darimana cerita itu?" tanyaku heran.

“Tetangga saya ada yang cerita, Bu. Ia iba melihat saya sejak kecil sering dihajar. Sejak itu saya tahu ternyata mereka bukan orang tua kandung saya.” 

"Kok, sekarang nama Komariyah dipakai lagi?" selidikku ingin tahu.

”Sesudah orang tua angkat saya meninggal, saya pakai lagi nama Komariyah. Saya hanya ingin mengenang dan menghormati Bapak dan Mak kandung saya. Saya yakin saat mereka memberikan nama itu, dipanjatkan doa-doa kebaikan untuk anaknya,” ia menjelaskan alasannya.

"Tapi nama Sugiharti artinya juga bagus, ”banyak arti”, ”banyak makna” pastinya orang tua angkat Wak Yah mengharapkan agar kelak anaknya menjadi orang yang bermakna bagi orang lain!" sanggahku padanya.

Wak Yah hanya mengangguk dan menanggapinya dengan senyum.

Yah kecil tumbuh bersama 2 anak kandung Pak Di dan Mak Siti. Bukan hal-hal yang menyenangkan yang ia dapatkan di sana. Kenakalan khas bocah, membuat ia sering dicubit, dipukul, ditampar oleh Mak Siti. Dan yang paling menyakitkan, dikata-katai ”dasar anak pungut”. Ia juga tak diijinkan sekolah lagi saat kelas II Sekolah Rakyat. 

”Kalau kamu sekolah siapa yang mengurus rumah. Bapak dan Mamak harus ke sawah, kedua adikmu itu laki-laki, biar mereka saja yang sekolah! Perempuan tidak perlu pintar!” 

"Jadi sejak saat itu Wak Yah tidak sekolah?" aku menyesalkannya.

”Ya, Bu. Saya hanya mengurus rumah, memasak, mencuci baju. Saya tidak bisa lagi bermain seperti anak-anak lain. Pernah saat masak, nasinya gosong. Waktu Mak tahu, ia langsung melempar periuk beserta nasi gosong itu ke muka saya. Rasanya panas, sakit. Lalu, saya lari ke rumah orang tua saya. Sering, saya pergi ke sana. Tapi tidak berani masuk. Hanya memandang rumah mereka dari jauh.” 

"Memangnya, orang tua kandung Wak Yah juga tidak pernah menjenguk ke rumah Mak Siti?" tanyaku sambil berkhayal andai saja sudah ada Komnas Anak saat itu.

”Tidak pernah! Mungkin mereka tidak ingin mencampuri lagi, karena saya sudah jadi anak Pak Di dan Mak Siti. Pernah saya kelamaan di sana, saat pulang Mak Siti marah, dikiranya saya main seharian. Saya ditelanjangi, dan dijemur di halaman rumah. Saya tidak mampu menangis lagi. Untung ada tetangga yang menolong, saya diajak ke rumahnya, diberi makan dan pakaian. Beberapa hari kemudian saya mengintip lagi ke sana, ternyata mereka sudah pergi.”

"Pergi?Mereka pindah?" tanyaku.

”Ya. Tapi, pindah kemana saya juga tidak tahu. Sampai sekarang entah mereka dimana,” kenang Wak Yah dengan pandangan menerawang penuh kerinduan.

"Pak Di dan Mak Siti sama-sama galak ya?" aku membuyarkan kenangannya.

”Mak Siti yang sering menyiksa saya. Adik-adik juga sering ikut-ikutan. Pak Di tidak pernah. Kalau ia tahu, pasti dilarangnya istrinya memukul saya. Saya sering berlindung di balik badannya. Tapi sayangnya ia tak berumur panjang. Saat saya berumur 12 tahun Pak Di meninggal karena sakit.” kenangnya sedih.

***

Umur 12 tahun Yah memutuskan lari dari rumah, ikut Kak Sih yang lebih dulu merantau ke Pangkalan Brandan. Kisah kota minyak dengan segala kilau kemewahannya telah lama menghiasi mimpinya.
Di sana ia bekerja di sebuah kedai nasi. Tugasnya mencuci perabot yang kotor, merajang sayuran, menggiling bumbu, membersihkan kedai. Kedai itu buka dari waktu sarapan sampai makan malam, Yah pun mulai bekerja dari jam 2 pagi . Hampir jam 9 malam setelah semuanya rapi, ia baru beranjak tidur. 

Ia hanya bertahan 6 bulan, saat tawaran yang lebih menggoda datang, menjadi pekerja rumah tangga di rumah komplek pegawai. Betapa enaknya, bisa tinggal di rumah besar dengan kamar yang banyak,...wah!. Begitu yang ia bayangkan.

Setelah beberapa bulan tinggal di rumah besar, Yah menjenguk Mak Siti ke kampung. Diciumnya tangan Mak Siti. Dituturkannya maaf atas kepergiannya yang tanpa pamit. Dibawakannya makanan, kain dan kebaya juga sedikit uang. 

Tapi, Mak Siti menyambutnya dengan kata-kata,” Harti, jadi apa kau sekarang? Lihat dandananmu itu! Macam orang yang jual diri saja!”serunya pada Yah.

Yah dengan pakaian ”kota” mengejutkan Mak Siti, blus berlengan panjang, rok berlipit, lengkap dengan tas dan sepatu serta muka berpoles bedak dan gincu.

”Awak kerja jadi pembantu di rumah besar Mak. Menyapu, mengepel, mencuci dan menggosok baju. Baju ini diberi oleh anak majikan. Mereka di sana sudah biasa pakai baju seperti ini.”

”Ah!”Mak Siti tidak sepenuhnya percaya.

"Kenapa Wak Yah masih mau menjenguk Mak Siti?" aku menggerutu sambil membayangkan, harusnya Yah tidak akan pernah datang lagi ke tempat Mak Siti.

”Bagaimanapun Mak Siti telah merawat saya sejak baru lahir. Saya tidak pernah dendam padanya.”

"Tapi ia sudah begitu kejam pada Wak Yah." sanggahku tetap tak terima.

“Bu, kalaupun ia sudah menyia-nyiakan saya, akan ada yang membalasnya nanti. Betapapun kejamnya, Mak Siti tetap Mak saya, hanya saja bukan dia yang mengandung dan melahirkan saya.”

"Bisa-bisanya Wak Yah pemaaf seperti itu! Belum tentu semua orang mampu!" pujiku tulus.
“Saya hanya belajar dari pengalaman hidup, Bu.”

***

Yah mulai mengenal pria di usia 14 tahun. Seorang kuli bangunan bernama Mahdi yang berumur 12 tahun lebih tua dari Yah. Ia berpikir pria itu akan melindunginya dan mewujudkan keinginan yang belum pernah dimilikinya, memiliki sebuah keluarga yang bahagia.
Saat Mahdi menawarkan pernikahan Yah pun menerimanya.
Yah tahu dalam agamanya wali nikah seorang wanita yang pertama dan yang utama adalah ayah kandungnya. Karena itu ia pun mencari jejak ayahnya, yang kabarnya memboyong keluarganya ke Kuala Simpang di Aceh Tamiang. Ia mencari dengan berbekal nama dan sepenggal cerita. Usahanya sia-sia.
Sebelum menikah, ia juga minta restu pada Mak Siti.

“Mak, awak mau minta restu. Ada pria melamarku. Bulan depan kami menikah.”

”Kalau memang ada yang mau menikahimu ya sudah! Mamak tidak punya apa-apa untuk bekalmu”


Itu saja kata Mak Siti sampai Yah berpamitan. Sungguh, Yah pun tak ingin mengusik harta Mak Siti. Ia lalu meninggalkan pesan tanggal penikahannya dan berharap Mak Siti dan adik-adiknya akan menghadirinya. Tapi di saat hari bahagia Yah, tak satupun dari mereka yang datang.Yah menikah tanpa keluarga, hanya ada Yah, Mahdi, wali hakim dan beberapa orang keluarga Mahdi.

"Wak Yah tidak sedih ya, menikah tanpa ada keluarga? aku membayangkan betapa nelangsanya jika menikah tanpa didampingi orang-orang yang kita cintai.

”Ya sedih, Bu. Saya merasa benar-benar tidak punya siapapun di dunia ini.”

"Terus setelah nikah tinggal dimana?" aku bertanya.

”Ada pondok di ladang milik mertua. Saya rapikan tempat itu. Saya bersihkan kaleng-kaleng bekas untuk dijadikan perabot dapur. Saya tanam sayuran di sekitarnya, saat panen saya jual ke pekan. Penghasilan Mahdi tak tentu. Kami harus berhemat. Lama-lama kami bisa memperbaiki pondok hingga layak huni.”

"Lumayan ada ladang mertua, tidak perlu bingung mau tinggal dimana." ucapku haru.

”Tidak lama, Bu. Melihat pondok yang berdiri tegak dan ladang yang subur dengan sayuran, Bapak datang meminta kami pergi. Alasannya Abangnya Mahdi akan menempati. Abangnya punya anak banyak, sedangkan kami baru berdua, jadi lebih baik tinggal di rumah sewa, begitu katanya.”

"Wah, enak sekali mereka, tidak perlu capek-capek kerja, tinggal menempati saja!" gerutuku menyesalkan tindakan mertua Wak Yah.

”Ternyata juga tidak jadi ditempati Bu, tapi dijual sama Bapak. Ladang dan rumahnya habis dijual satu demi satu. Hanya untuk senang-senang. Saat tua, ia tak punya apa-apa lagi, saya yang merawatnya di rumah sampai ia meninggal.”

Mahdi, pria itu ternyata kerap menyakiti Yah. Entah sudah berapa banyak wanita lain yang membuatnya mendua. Saat masih dua orang anak mereka, seorang wanita tiga puluh tahunan datang ke rumah mencarinya. Yah menemui tamunya dan berbincang. Seorang janda yang katanya telah lama dekat dengan Mahdi, pria yang mengaku belum beristri dan tinggal dengan kakaknya di Kampung Baru.

”Kak Yah, kakak Mahdi bukan?” tanyanya. Yah pun mengiyakan saja. 

Saat Mahdi pulang, ditanyanya baik-baik tentang wanita itu.

”Ia memang simpananku. Kalau kau tak suka, ceraikan saja aku!” teriaknya. 

Terkesiap Yah mendengarnya!

"Jadi ia yang minta cerai?" tanyaku penasaran

”Bukan sekali dua! Sering! Saya tidak menjawabnya. Kalau pergi, pasti ia kembali lagi, lama-lama saya merasa biasa dan hapal kebiasaan buruknya.”

Biasanya pria pergi meninggalkan anak istri karena mengejar wanita lain, tidak akan kembali lagi. Ini lain cerita rupanya! Aku menanggapi.

”Kalau tidak pulang, mau makan apa ia Bu! Sejak di rumah sewa, saya kerja lagi, cuci gosok di tiga rumah di komplek. Dari pagi sampai petang. Bayi saya bawa, diayun di dapur rumah, sembari kerja bisa asuh anak. Sementara Mahdi, kadang ada kerja, tapi lebih sering duduk-duduk di kedai kopi. Uang hasil kerjanya pun sering tak utuh dibawa pulang. Untuk senang-senang.”

"Pantas saja! Senang-senang, habis uang, pulang! Kenapa Wak Yah tidak minta cerai? Pria seperti itu bikin makan hati saja! Kasus KDRT!" aku berseru tak peduli Wak Yah tahu KDRT atau tidak.

”Saya ingat anak-anak Bu. Jadi saya bersabar saja. Awalnya memang sakit hati, tapi berikutnya saya sudah kebal!” 

”Kadang ia merantau. Dua atau tiga bulan baru pulang, menengok kami sambil bawa uang. Pernah juga setengah tahun tak kunjung datang. Waktu ke Lhoknga, bikin bangunan SD yang rusak diterjang tsunami. Yang lain setelah 2 bulan pulang, tapi ia tidak. Ia hanya titip uang yang tak banyak. Kabar yang saya dengar, ia kecantol janda tsunami. Meski begitu akhirnya ia ingat pulang juga. Mungkin sudah habis uangnya” 

***

Anak sulung bernama Juhri. Yah memimpikan ia bisa sekolah tinggi, karena ia anak pertama dan pria yang kelak akan bertanggung jawab pada keluarga. Ia pun disekolahkan sampai STM. Sayangnya, ia tak menghargai peluh sang mamak. Ia pakai uang sekolahnya untuk senang-senang. Entah berapa kali Mamaknya datang ke sekolah karena kenakalannya. Satu hari ia pinjam motor kawannya, karena teledor motor itu raib. Saat ia melapor ke Mamaknya, ”Kau tanggung sendiri perbuatanmu. Mau pakai uang apa Mamak ganti motor itu. Kau pikir kita ini orang kaya?” seru Yah marah. 

Si empunya datang ke rumah, tapi hanya Mamaknya yang ada, Juhri sudah pergi.

"Juhri pergi? Kemana?"

”Saya tidak tahu Bu. Sampai sekarang ia tak berani pulang. Saya pernah dengar kabar, ia merantau ke Pekanbaru. Entah benar atau tidak,” ucapnya getir.

"Jadi pemilik motor itu juga tidak menuntut lagi?"

”Ibunya datang ke rumah, minta pertanggungjawaban. Saya bilang, tidak mungkin mengganti, untuk makan saja kami susah, apalagi beli motor. Ibu itu pulang, besoknya datang lagi sambil membawa beras dan makanan, mungkin setelah melihat kondisi kami.”

Baik sekali ibu itu, sedang kesusahan tapi mau menolong orang yang lebih susah. Aku membatin betapa pertolongan Allah untuk Wak Yah bisa lewat siapa saja.

Anak kedua, Kamisah. Setamat SMP, kerja di penggilingan padi. Ia kawin dengan pria yang sering membuatnya lebam. Wak Yah tak tahan melihatnya. Sah diungsikannya ke Medan. Dua anaknya ditinggal. Sang suami kelabakan. Ia memohon mertuanya mengampuninya dan berjanji takkan menyiksa Sah lagi. Wak Yah tak percaya begitu saja. Sampai tiga bulan dibiarkannya sang menantu mengasuh anak-anaknya sendirian. Barulah ia antar Sah pulang. Kini ada tiga anaknya. Suaminya menarik becak motor. Meski hidup pas-pasan, paling tidak, tak ada lagi luka-luka di tubuh Sah. Wak Yah pun lega.

"Hebat Wak Yah ini! Bisa-bisanya punya ide menyembunyikan Sah," ucapku heran.

”Saya tidak mau anak perempuan saya tersiksa seumur-umur Bu. Saya hanya ingin memberi pelajaran pada menantu saya.”

Sementara, anak ketiga meninggal saat baru lahir, kembar laki-laki. Malam itu, Yah merasa perutnya sakit. Dibangunkannya suaminya, tapi ia malah dibentak ”Baru juga tujuh bulan, belum saatnya!” Yah tak tahan lagi, suaminya beranjak pergi memanggil dukun beranak. Sebelum sampai, bayi itu keburu keluar, meninggal!

"Meninggal? Dua bayi lagi!" aku berseru.

”Memang mereka tak ada umur, Bu. Kita semua juga akan meninggal. Hanya kapan tidak ada yang tahu. Mungkin saat bayi, dewasa, atau sudah tua renta!” 

Aku terdiam merenungkan kata-katanya.

Anak keempat, laki-laki meninggal saat kelas satu SD, karena demam tinggi. Setelah tiga hari demam, iapun meninggal.

"Kenapa tidak dibawa berobat?" aku bertanya.

”Saya sudah belikan obat di warung. Mau suntik tak ada uang,“ kenangnya getir.

Anak kelima, laki-laki. Saat hamil, mereka benar-benar sedang kesulitan uang. Mereka sering hanya makan berlauk garam. Sampai saat melahirkan, untuk membayar dukun pun hampir tak ada uang. Lalu, ada orang seberang menawarkan diri mengasuh anaknya. Bayi merah itupun dibawa ke Sidempuan. Sebelumnya Yah berbisik padanya,”Nak, maafkan Mamak. Semoga hidupmu akan lebih baik bersama keluargamu yang baru.”

"Wak Yah pernah bertemu lagi dengan anak itu?"

”Tidak, Bu. Orang tua angkatnya orang berada yang tidak berputra. Lebih baik ia tidak mencari saya. Biarlah ia dengan kehidupannya sendiri,” ucapnya ikhlas.

"Tapi, kalau nanti ia tahu, ia pasti mencari ibu kandungnya." aku berkata yakin.

Anak keenam perempuan, Ningsih, tamatan SMP. Wataknya keras. Ia sering merantau ke Padang, Pekanbaru bahkan ke Jawa. Kadang bekerja di toko milik orang Cina, atau mengasuh anak, pernah juga bekerja di kedai nasi. Saat bekerja di kedai sampah di kota, ia hamil. Yah tak tinggal diam, dicarinya pria itu ke rumah orang tuanya di Gebang, agar bertanggung jawab. Sayang, ia tidak diterima dengan baik, malah dikata-katai. Pria itu lalu datang sendiri ke rumah Yah. Sanggup menikahi Ningsih meski tanpa restu orang tuanya.

"Lalu mereka menikah?" aku bertanya.

”Ya, Bu. Sekarang mereka tinggal di rumah sewa. Mereka rukun-rukun saja.”

Anak ketujuh, Ratna. Sebenarnya Yah sudah pasang spiral tanpa setahu Mahdi. Pria itu anti alat kontrasepsi. ”Kau pakai alat agar tak beranak lagi. Biar bisa bebas kau ya!” Tapi, diam-diam Yah pergi ke bidan. Hanya Yah tak paham, kalau alat itu harus dicek masih terpasang dengan benar atau tidak. Sebelas tahun kemudian Yah terlambat bulan. Ia tak terima. Ingin rasanya menggugurkannya. Tapi, Yah ingat dosa. Anak ini tak berdosa kenapa harus dibuang. Akhirnya dilahirkannya bayi itu dengan selamat.

"Jadi waktu pakai spiral tidak pernah kontrol ke bidan?" aku ingin tahu.

”Ya, Bu, saya kurang mengerti. Lalu, habis melahirkan saya pakai KB suntik.” 

"Sampai sekarang suami tetap tidak tahu?"

”Tidak. Saya selalu pergi diam-diam. Apalagi saya punya gaji sendiri, jadi tidak perlu minta uang padanya.”

Yah sudah tiga puluh tahun lebih menjadi pekerja rumah tangga. Banyak majikan ia jalani. Suatu hari, ada tanah dijual di dekat rumah sewanya. Majikannya, Bu Ros, seorang pegawai , tinggal di rumah komplek bersama anak semata wayangnya yang punya gangguan jiwa, membeli tanah itu. Dan, diijinkannya Yah berladang di situ. Yah sangat senang. Ia tanam pisang, pohon kapuk, ubi kayu, dan bumbu dapur. Saat pensiun Ibu itu pulang ke Mandailing Natal. Dan, sampai sekarang tak berkabar berita.

Pernah, tiba waktunya bayar sewa rumah, Yah pinjam ke Pak Sur, majikan berikutnya. Ia malah berkata,”Kalau kau sewa terus takkan ada habisnya. Lebih baik kau bangun pondok sederhana di tanah yang kau tanami itu. Ini kukasih uang untuk beli bahan-bahan. Biar lakimu yang mengerjakan!”

“Pondok itu berdinding anyaman bambu dan beratap daun nipah. Tapi saya bersyukur sekali, untuk pertama kalinya kami punya pondok sendiri…tidak perlu menyewa lagi. Pak Sur juga memberi saya sepeda untuk pergi bekerja, jadi saya tidak capek-capek jalan kaki lagi kemana-mana,” kenangnya haru.

"Satu hari daun nipahnya sudah banyak yang koyak, mesti diganti baru. Saya minta gaji tiga bulan di muka pada Bu Awal, majikan saya saat itu. Tanpa setahu saya Beliau mendatangi rumah saya. Lalu kami sekeluarga diminta mengungsi. Selama  sebulan, saya menginap di rumah Bu Awal. Saat, saya disuruh pulang ke rumah, saya diberi kunci! Rumah berdinding papan, beratap seng, ada dua bilik, dapur, sumur dan jamban. Lantainya disemen. Sekalian ada perabot lengkap meski sederhana. Mirip yang di TV itu kejadiannya Bu! Disuruh pergi dulu, terus rumahnya dibenahi. Saya benar-benar tidak menyangka."

Aku tercengang mendengarnya. Ya Allah, betapa rejeki Wak Yah bisa lewat siapa saja, batinku. Inilah berkah kesabaran dan keikhlasan Wak Yah.

"Lalu Bu Awal pindah ke Balongan, saya tidak boleh lagi menjadi pembantu. Beliau memberi saya modal dan peralatan untuk jualan nasi dan lontong."

"Lalu Wak Yah jualan?"

“Ya, jualan di ujung lorong. Pagi jualan sarapan, nasi gurih, lontong sayur, kue-kue, kopi...Sore hari buka lagi, jual mi bakso, kopi dan kue-kue. Mulanya suami saya membantu berjualan, lama-lama, ia bilang saya yang belanja dan masak saja, ia yang jaga kedai. Saya jadi tidak tahu berapa dapat uang dari jualan. Ia yang pegang uang. Saya hanya dikasih uang untuk belanja bahan masakan. Setahun berjalan, saya tak tahan lagi. Saya mogok tak mau belanja, tak mau masak. Padahal kata orang kedai saya selalu ramai, tapi saya tidak pernah ikut merasakan senangnya. Saya pikir lebih enak jadi pembantu lagi. Kerja sebulan, gaji langsung di tangan. Semua peralatan jualan saya simpan. Kalau ingat pesan Bu Awal saya jadi tidak enak hati. Tapi saya tidak punya pilihan.”

"Majikan-majikan yang sungguh berhati mulia."tulusku

”Ya, Bu. Saya sampai diisukan suka mengguna-gunai majikan. Padahal buat apa! Saya hanya berusaha bekerja dengan baik, jujur, ikhlas membantu mereka. Saya tidak pernah punya pamrih apapun. Biasanya saya bekerja sampai mereka pensiun atau pindah dari sini. Saya juga tidak mau mengambil gaji dulu atau bahkan berhutang kalau tidak perlu. Saya takut berhutang. Bikin tidak bisa tidur pulas.”

***

Pesawatku sudah berada di atas kota Medan. Meninggalkan seseorang yang akan tersimpan dalam kenangan. Yang telah memberi banyak pelajaran tentang hidup. Meski bukan saudaraku atau guruku. Ia hanya Yah, wanita sederhana yang berani menjalani hidup lewat pilihannya sendiri.

Yah yang takkan bisa tertawa lepas saat disodori buku komik "Si Juki". Karena meski gambarnya mencipta tawa, tapi Yah yang buta aksara takkan tahu apa isi pesannya.

Yah yang tidak mengerti juga peduli betapa jeritan orang-orang seprofesinya sedang disuarakan oleh Serikat Pekerja Rumah Tangga, agar pekerja rumah tangga tak lagi dipandang sebelah mata.
Seseorang yang telah mengajariku arti kesabaran dan keikhlasan menjalani hidup. Perempuan sederhana itu bernama Yah.




*Cerita pendek ini saya tulis 10 tahun lalu. Terinspirasi dari kisah nyata Wak Syamsiyah, asisten rumah tangga saya saat tinggal di Sumatera Utara.💖

**Catatan :

awak: saya
menggosok baju: menyetrika baju
lorong: gang
menggiling bumbu: mengulek bumbu
pajak: pasar
kedai sampah: toko yang menjual rupa-rupa barang

Dian Restu Agustina
Dian Restu Agustina Hi! I'm Dian! A wife and mother of two. Blogger living in Jakarta. Traveler at heart. Drinker of coffee

1 komentar untuk "Perempuan Bernama Yah"