Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Laki-laki Sebagai Agen Perubahan Mewujudkan Kesetaraan Gender dan Penghapusan Kekerasan Seksual


Kasus kekerasan terhadap perempuan dulunya hanya saya baca di kolom berita di media saja. Hingga satu hari kakak kandung saya menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) oleh suami yang sudah menikahinya selama 20 tahun. 

Ya, ternyata selama sekian tahun itu pula, dia yang tinggal beda pulau dengan keluarga besar kami mengalami baik kekerasan fisik maupun mental hingga di satu waktu dia memutuskan untuk mengakhiri pernikahan. Sebuah pilihan yang dianggapnya lebih waras daripada menghabisi nyawa!


Kekerasan Berbasis Gender


Awalnya, saya tercengang, sekian lama dia bertahan dengan alasan klasik, kasihan anak-anak dan ketidaksanggupan menanggung stereotip masyarakat jika memilih bercerai dan menjadi janda. Hingga ada kekuatan dari diri setelah merasa enggak kuat lagi, untuk pergi. Sebuah keputusan yang saya (juga orang tua saya) hargai, karena bagaimanapun itu pilihan yang terbaik yang telah diputuskannya. 

Lalu apa yang terjadi?

Dia selaku korban dan berprofesi sebagai Aparatur Sipil Negara mesti menjalani sekian sesi konseling saat berlangsung kasusnya. Sedangkan mantan suaminya, berlalu seperti butiran debu!

Ini menyadarkan saya, betapa memang sejauh ini upaya penanganan KDRT lebih berfokus kepada korban. Pelaku seolah berada pada kutub berlawanan sehingga hampir tidak tersentuh tangan. Padahal menangani KDRT butuh pendekatan yang menyeluruh. Tidak bisa hanya melibatkan satu pihak (korban), melainkan juga perlu memasukkan pelaku sebagai bagian dari upaya penanganan. 

Ya, bukan hanya korban yang membutuhkan konseling, namun pelaku juga sama butuhnya!


Rutgers WPF Indonesia


Tentang Kasus Kekerasan terhadap Perempuan


Memang, tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan seperti fenomena gunung es!!

Data yang dirilis Komnas Perempuan pada tahun 2019 dan diluncurkan pada tahun ini bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional bulan Maret lalu menunjukkan:

  1. Kasus kekerasan terhadap perempuan yang terlaporkan sebanyak 431.471 kasus, meningkat enam persen dari tahun sebelumnya sebanyak 406.178 kasus. 
  2. Di ranah pribadi dilaporkan kekerasan seksual sebanyak 2.988 kasus (31%) sedangkan di ranah publik atau komunitas ada 64% kekerasan seksual terhadap perempuan.
  3. Kekerasan berbasis gender online (KBGO) sebanyak 354 kasus sepanjang Januari-Mei 2020 di semua ranah. Jumlah ini lebih banyak dari total laporan pada 2019, yaitu sebanyak 281 kasus. 
  4. Jenis kekerasan seksual terbanyak di ranah ini adalah ancaman penyebaran foto/video porno atau revenge porn (81 laporan) sejak maraknya kegiatan online di masa pandemik ini.

Lebih lanjut, kekerasan berbasis gender (KBG) yang terjadi di sini, merupakan konsekuensi dari relasi kuasa yang timpang antara lelaki dan perempuan, di mana perempuan ditempatkan sebagai subordinat dari laki-laki. 

Sementara menurut Rutgers WPF Indonesia, KBG mencakup serangkaian kekerasan yang lebih luas, termasuk kekerasan terhadap perempuan dan laki-laki, minoritas seksual, yang identitasnya gender-nonconforming, yang kerap berakar pada ketidaksetaraan gender & norma gender yang berbahaya yang mendorong kekerasan. 

Sederhananya adalah tindakan kekerasan yang berlandaskan pada asumsi gender dan atau seksual tertentu!

Kesetaraan gender
Narasumber Diskusi


Keterkaitan Budaya Indonesia dengan Kekerasan Terhadap Perempuan


Kembali ke kasus kakak saya tadi, saya jadi teringat jika mantan suaminya memang terlihat sangat mengontrol istrinya. Padahal secara finansial bisa dibilang kakak saya yang punya andil lebih besar dalam pembiayaan keluarga. Tulang rusuk yang menjadi tulang punggung istilahnya.

Mungkin dia akan baik-baik saja jika pria yang menikahinya memberi ruang dan terlibat dalam urusan domestik juga pengasuhan. Tapi nyatanya, sebagai laki-laki yang punya "kuasa" dia menggunakan power-nya dan membuat kakak saya jadi pencari nafkah keluarga, istri, ibu sekaligus babu huhuhu. 

Sedih rasanya!

Well, Indonesia memang masih kental dengan kultur patriarki. Di mana lelaki umumnya memiliki kontrol dan kuasa terhadap anggota keluarga lainnya. Konstruksi sosial yang lekat dengan budaya patriarki pula lah yang melanggengkan kekerasan berbasis gender ini. 

Sementara, minimnya keterlibatan laki-laki dalam upaya pencegahan kekerasan berbasis gender merupakan salah satu faktor yang membutuhkan perhatian lebih. Di mana sebagian besar program-program yang berkembang selama ini masih berfokus pada pemberdayaan perempuan dan belum cukup menyasar akar persoalannya, yaitu norma dan relasi gender laki-laki dan perempuan.

Untuk itulah Rutgers WPF Indonesia melalui program Prevention+ yang merupakan kelanjutan dari program MenCare+ ingin mewujudkan kesetaraan gender dan penghapusan kekerasan seksual sebagai suatu kondisi yang ideal bagi pemenuhan hak-hak dan kesehatan seksual dan reproduksi dan membongkar norma-norma gender yang ada. 




Tentang Rutgers WPF Indonesia


Yes, Rutgers WPF Indonesia merupakan Lembaga non-profit atau NGO yang bekerja di Indonesia sejak tahun 1997 untuk isu Hak dan Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) serta pencegahan Kekerasan Berbasis Gender dan Seksual (KBGS). Selain di Indonesia, Rutgers WPF juga beroperasi di negara-negara lain di Asia seperti Pakistan, Eropa, Afrika dan Amerika Latin. 

Melalui Prevention+, Rutgers WPF Indonesia ingin mengurangi kekerasan terhadap perempuan serta meningkatkan partisipasi ekonomi perempuan dengan pendekatan pelibatan laki-laki sebagai agen perubahan dan mempromosikan nilai maskulinitas yang positif berdasarkan nilai kesetaraan dan nonkekerasan.

“Kesetaraan gender tidak dapat dicapai tanpa keterlibatan laki-laki dan remaja laki-laki dalam mengurangi bahkan menghapus kekerasan berbasis gender sehingga dengan mengajak mereka melalui program Prevention+, mereka dapat teredukasi dengan baik dan kami percaya bahwa laki-laki juga adalah agen perubahan untuk menghentikan kekerasan berbasis gender “. ujar Ingrid Irawati, SGBV PV Rutgers WPF Indonesia dalam Diskusi Media secara online bertema “Laki-laki Sebagai Agen Perubahan Mewujudkan Kesetaraan Gender dan Penghapusan Kekerasan Seksual” hari ini (26/10/2020).

Rutgers

Tentang Prevention+


Dengan menggandeng mitra lokal di antaranya Yabima, Sahabat Kapas, Rifka Annisa, Damar, dan Rahima, program Prevention+ sudah berjalan sejak tahun 2016 menyasar 4 wilayah besar di Indonesia yaitu Jakarta, Bandar Lampung, Solo dan Yogyakarta. Program Prevention+ bersifat mencegah atau mengurangi potensi bahaya terabaikannya prinsip kesetaraan gender dan bahaya yang mengancam hak-hak kesehatan seksual dan reproduksi.

Tapiiii, mengapa sih perlu pelibatan laki-laki sebagai bagian dari solusi kekerasan berbasis gender ini?

  • Patriarki dan nilai maskulin yang toksik berkontribusi pada laki-laki juga rentan, karena gendernya
  • Laki-laki dewasa dan remaja membutuhkan ruang berekspresi dan didengar
  • Nilai-nilai kekerasan tidak hadir sejak lahir
  • Pendekatan pada laki dari berbagai aspeknya: bukan hanya sebagai pelaku, juga sebagai korban, saksi kekerasan, agen perubahan, mitra, pasangan, suami, istri

Kemudian, apa saja kegiatan yang dilakukan Prevention+ selama 5 tahun ini? 

  • Diskusi komunitas reguler untuk empat kelompok (perempuan dewasa, laki-laki dewasa, perempuan remaja, dan laki-laki remaja) menggunakan modul-modul yang mengangkat tema kesetaraan gender dan pelibatan laki-laki 
  • Konseling Kekerasan Berbasis Gender dan Seksual (KBGS) termasuk pendampingan psikososial dan hukum
  • Kampanye melalui berbagai media, termasuk media sosial
  • Advokasi dari tingkat desa hingga ke tingkat nasional, termasuk menghasilkan beberapa Satgas Penanganan Kekerasan Perempuan dan Anak di wilayah Lampung dan advokasi penganggaran di Yogyakarta serta advokasi penegak hukum (polisi, kejaksaan)

DAMAR

Kesetaraan Gender


Tidak Semua Laki-laki.......


Tidak semua laki-laki sebagai pelaku kekerasan, walaupun faktanya, laki-laki merupakan pelaku dominan kekerasan terhadap perempuan, demikian disampaikan Sofiyan Hd, Manajer Umum Lembaga Advokasi Perempuan, DAMAR. 

Dikatakan bahwa dengan adanya program Prevention+ yang melibatkan laki-laki semakin banyak laki-laki yang bergerak untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan karena selama ini mayoritas mereka diam melihat kekerasan terhadap perempuan.

“Selama ini ada banyak laki-laki yang tidak setuju dengan kekerasan terhadap perempuan tetapi karena tidak tersedianya ruang bagi mereka untuk mendapatkan informasi dan wadah untuk bersikap ketika kasus itu terjadi akhirnya mereka memilih untuk diam tidak melakukan apapun. Hadirnya program Prevention+ dari Rutgers WPF Indonesia membuat mereka akhirnya bersuara mendukung penghapusan kekerasan seksual” ujarnya.

Kabar baiknya, upaya pelibatan laki-laki dalam isu kesetaraan gender mulai menggeliat. Beberapa organisasi perempuan serta penggiat laki-laki yang peduli dan aktif pada isu kekerasan terhadap perempuan menyadari bahwa dibutuhkan beberapa upaya strategis dan konkrit untuk menjangkau lebih banyak laki-laki.

Nah, disampaikan kemudian jika konseling pelaku mutlak diperlukan dengan alasan:

  • Sebagian besar korban tidak menginginkan pelaku masuk penjara. Keinginan mereka adalah pelaku berubah menjadi suami dan ayah yang baik dalam arti tidak lagi melakukan kekerasan. Dengan demikian, konseling pelaku menjadi penting dalam upaya memenuhi kebutuhan korban.
  • Laki-laki juga merupakan korban dari struktur dan kultur, yang memposisikan dan memberi peluang kepada laki-laki sebagai pelaku kekerasan. Kebanyakan perempuan korban kekerasan suami atau pasangannya lebih berharap tetap mempertahankan perkawinannya dari pada bercerai.
  • Rekonsiliasi korban dengan pelaku diperlukan dalam proses pendamaian korban dengan dirinya sendiri. Mengapa saya yang mengalami ini, mengapa dia tega melakukan ini, adalah pertanyaan yang dapat menghantui korban sepanjang hidupnya. Korban mempertanyakan esensi dirinya, mengubah persepsi diri menjadi pribadi yang pantas menerima perlakuan kasar pelaku. Ketika pelaku mengakui bukan diri korban penyebabnya, melainkan dialah pihak yang bertanggung jawab atas tindakannya, menjadi momen penting bagi proses penyembuhan psikis korban. Untuk dapat melakukannya, pelaku membutuhkan penyadaran lewat konseling yang membantu proses pembentukan kembali jati diri korban sebagai manusia yang layak dicintai.
  • Kekerasan tidak akan pernah terhapuskan jika pelakunya tidak pernah belajar pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang dibutuhkan agar ia tidak lagi melakukan kekerasan. Hukuman pidana berupa kurungan penjara mungkin saja memberi efek jera. Namun tidak akan efektif mengubah pola kekerasan yang sudah mengakar dalam dirinya. Bukan tidak mungkin ia kembali melakukan kekerasan setelahnya. Karena hukuman pidana hanya mengajarkan bahwa perilakunya salah tanpa memberitahukan cara bagaimana supaya ia tidak lagi melakukan kesalahan yang sama.


Rutgers WPF Indonesia

Kekerasan pada perempuan

Prevention +


Lalu, Bagaimana Strategi Melibatkan Laki-laki dapat Mempercepat Penghapusan Kekerasan Ini?


Nah, Rifka Annisa (artinya 'Teman Perempuan' ), sebuah organisasi non pemerintah yang berkomitmen pada penghapusan kekerasan terhadap perempuan, diwakili Defirentia, Direktur Rifka Annisa, mengulas perihal pelibatan laki-laki dalam penghapusan kekerasan dalam diskusi ini.

Disebutkan karena ia adalah KLIEN, laki-laki sebagai individu sendiri yang menerima dampak/risiko karena menjadi bagian dari anggota masyarakat yang dikenai konstruksi gender maskulinitas dalam struktur sosial masyarakat. 

Kemudian ia juga adalah PASANGAN, menjadi laki-laki yang mendukung pasangannya, mendorong kepemimpinan perempuan, berbagi peran bersama pasangan dan mempromosikan nilai-nilai kesetaraan tanpa kekerasan dalam berelasi ataupun dalam keluarga. 

Dan, laki-laki adalah AGEN PERUBAHAN, yang melakukan perubahan nilai-nilai gender di komunitasnya maupun di tingkat pembuat kebijakan yang pro perempuan, keadilan dan kesetaraan gender.

Well, strategi melibatkan laki-laki ini diyakini dapat mempercepat proses kesetaraan gender, karena:

  1. Kurang lebih setengah dari populasi manusia adalah laki-laki
  2. Laki-laki tidak hanya dilihat sebagai bagian dari masalah (dalam konteks laki-laki sebagai pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak), tetapi juga dilihat sebagai bagian dari solusi terhadap masalah untuk mencegah kekerasan
  3. Laki-laki adalah kelompok silent majority yang sesungguhnya juga memiliki keprihatinan dan kepedulian dengan tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak namun belum menyuarakan pendapatnya
  4. Laki-laki walaupun mendapat keistimewaan dari konstruksi gender dalam budaya patriarki sesungguhnya juga mengalami kerugian dari konstruksi gender yang tidak setara tersebut sehingga laki-laki juga mengalami hambatan dalam pengembangan dirinya.

Kekerasaan terhadap perempuan

kesetaraan gender

Penghapusan kekerasan terhadap perempuan


Yuk, Dukung Program Prevention+!


Well, menutup diskusi yang menarik ini, Inggrid Irawati kembali menggarisbawahi,
"Dengan adanya program ini diharapkan semakin banyak laki-laki yang terlibat sebagai Agen Perubahan mewujudkan kesetaraan gender dan penghapusan kekerasan seksual di Indonesia karena sesungguhnya patriarki tidak hanya mengancam perempuan, tetapi juga laki-laki dengan segala kekuasaan, keistimewaan, dan permisif yang dimiliki. Gerakan feminis bukan hanya gerakan milik perempuan semata karena dengan laki-laki terlibat di dalamnya, sesungguhnya ia sedang membantu dirinya terbebas dari jerat budaya patriarki itu sendiri!"

Semoga program Prevention+ ini bisa mengurangi kekerasan terhadap perempuan serta meningkatkan partisipasi ekonomi perempuan dengan pendekatan pelibatan laki-laki sebagai agen perubahan. Juga mempromosikan nilai maskulinitas yang positif berdasarkan nilai kesetaraan dan nonkekerasan. 

Semoga juga, tidak ada lagi korban kekerasan, seperti yang kakak saya dan perempuan lainnya alami. Mari dukung pelibatan laki-laki sebagai agen perubahan untuk mewujudkan kesetaraan gender dan penghapusan kekerasan seksual!💖


"Real Men don't Hit Women!!"

Rutgers WPF Indonesia


IG: @rutgerswpfindo | Twitter: rutgerswpfindo | YouTube: Rutgers Indonesia 



Stay Strong!

signature-fonts

Dian Restu Agustina
Dian Restu Agustina Hi! I'm Dian! A wife and mother of two. Blogger living in Jakarta. Traveler at heart. Drinker of coffee

55 komentar untuk "Laki-laki Sebagai Agen Perubahan Mewujudkan Kesetaraan Gender dan Penghapusan Kekerasan Seksual"

  1. Penting sekali untuk mendukung kegiatan ini ya mbak, agar kekerasan seksual juga bisa tertangani dengan tepat.
    Benar banget sejauh ini tidak ada laki-laki yang bersuara, padahal mereka belum tentu juga melakukan KDRT dlm hubungan interpesonalnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah, laki-laki bisa jadi agen perubahan agar tak ada lagi kekerasan seksual

      Hapus
  2. Kerabat saya malah masih pacaran udah terkena KDRT
    Ngga mau putus karena katanya si cowok melakukan hal tsb untuk kebaikannya
    Kalo sedang terkena kdrt, memang sering terjadi keanehan 😢😢😢

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah, bucin atau karena perempuan cenderung memafkan dan diminta da di pihak yang "mengalah"

      Hapus
  3. Sedih ya kisah kakaknya Mbak Dian. Tapi sekarang sudah bahagia ya setelah memilih pisah. MEmang masih menyedihkan ya kasus2 kekerasan terhadap perempuan. Semoga dengan adanya edukasi seperti ini bisa meningkatkan kesadaran masyarakat.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga....memang edukasi dan menggaungkan misi penghapusan kekerasan seksual seperti ini penting sekali agar tidak terjadi lagi

      Hapus
  4. Mbaaa, daku ikut bersimpati dgn KDRT yg menimpa kakak kandung ya.
    Semogaaaa beliau semakin tangguh, kuat, dan bisa menjadi ibu yg lebih baik lagi.

    Btw, aku lega dgn data ini: , upaya pelibatan laki-laki dalam isu kesetaraan gender mulai menggeliat. Beberapa organisasi perempuan serta penggiat laki-laki yang peduli dan aktif pada isu kekerasan terhadap perempuan menyadari bahwa dibutuhkan beberapa upaya strategis dan konkrit untuk menjangkau lebih banyak laki-laki.

    BalasHapus
  5. Jujur materi ini lumayan berat dan menyesakkan dada, alhamdulillah saya gak mengalami, tapi kalau temen ada yang mengalami KDRT tuh sedih bgt rasanya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Mbak..sesama perempuan pasti kita merasa nyesek ya Mbak

      Hapus
  6. Saya turut sedih membaca kisah yang menimpa kakak Mbak Dian. Semoga diberikan kekuatan dan ketabahan, dan masa depan yang cerah lagi indah.

    Saya mendukung program Prevention+. Semoga tak ada lagi kekerasan pada perempuan, dimana pun.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Amin, semoga semua perempuan bahagia tak jadi korban kekerasan nantinya

      Hapus
  7. Mbak, ikut sedih dengan KDRT yang dialami kakak Mbak Dian. Semoga sekarang beliau sudah lebih baik ya. Tiap kali baca kasus seperti ini saya jadi merasa punya PR untuk mendidik anak laki-laki saya dengan kesetaraan gender yang baik.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah..Kakak sekarang single mom but happy. Fokus cari rejeki dan gedein anak aja

      Hapus
  8. Aku merinding Mbak dengan kasus Kakaknya Mbak. Enggak ngebayangin puluhan tahun bertahan dalam kehdiupan rumah tangga seperti itu. Ya Allah, semoga angka KDRT bisa berkurang bahkan hilang aamiin. Sepakat sekali kalau bukan hanya korbannya tapi pihak laki-lakinya juga harus dikonseling. Jangan sampai ada korban-korban berikutnya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Mbak..kambuh-kambuhan..sembuh kumat lagi, dimaafkan berbuat lagi. Ya udah akhirnya lebih baik memilih pergi daripada mati!

      Hapus
  9. Pembahasan yang mendalam ini mbak. Dengan saling mendukung antara perempuan dan laki-laki agar tidak ada lagi kekerasan itu memang perlu, alhamdulillah sudah ada wadahnya sehingga bisa turut menyuarakan dan mensosialisasikan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar, kalau ada wadah bersuara bisa makin kuat dukungannya

      Hapus
  10. Baru tahu dengan NGO Rutgers WPF Indonesia ini. Keren nih programnya. Dan setuju banget, laki-laki nih harus jadi agen yang membantu mewujudkan kesetaraan gender dan penghapusan kekerasan seksual. Masih miris ya bias gender dan KDRT terhadap perempuan ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Mbak...program sudah ada di beberapa kota, meski demikian sudah ada hasil nyatanya
      Semoga bisa menjangkau lebih luas lagi ke depan

      Hapus
  11. Sebenarnya dalam agama kita udah ada diberikan solusi bagaimana interaksi antara pria dan wanita, khususnya dalam kehidupan rumah tangga. Suami memperlakukan istri dengan makruf & istri juga sebaliknya. Di satu sisi terbentuk kesatuan visi & misi dalam keluarga supaya 'sakinah mawaddah wa rahmah' bisa tercapai. Kadang aku mikir juga, laki-laki ataupun perempuan yang melakukan KDRT bisa jadi bentukan dari pola asuh yang salah, di antaranya yaitu pemberian hukuman fisik yang kontinyu. Gimana anak bisa besar dalam kasih sayang kalo terus menerus dianiaya oleh orang-orang terdekat yang membesarkan juga bertanggung jawab atas dia?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jadi pembelajaran kita sebagai orang tua ya, Mbak
      Agar tidak terus berkelanjutan terjaid di generasi nanti

      Hapus
  12. Iya, tidak semua laki-laki adalah pelaku tindak kekerasan, tapi banyak laki-laki yang melakukan hal demikian. Miris kalau baca atau lihat berita tindak kekerasan ini.

    Semoga Rutgers WPF Indonesia ini jangkauannya bisa lebih luas ya mbak, sampai ke tingkat desa di pelosok gitu.

    Salut buat kakak mbak Dian yang akhirnya bisa melepaskan diri dari belenggu KDRT ini, walau harus menjalani sampai puluhan tahun. Memang butuh keberanian dan jiwa yang kuat mengambil keputusan seperti ini

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya, semoga jangkauan kampanye ini bisa lebih luas lagi. Sehingga ada penguragan jumlah kasus kekerasan di negeri ini.
      Terima kasih, Mbak...Akhirnya, Kakak saya berani memilih yang terbaik menurutnya!

      Hapus
    2. Semoga program Prevention+ ini bisa mengurangi kekerasan terhadap perempuan. Semoga korban KDRT nggak bertambah jumlahnya. Semoga perempuan-perempuan korban KDRT diberi kekuatan untuk keluar dari belenggu yang menimpanya. Semoga makin banyak lelaki yang memperlakukan wanita dengan baik.

      Hapus
  13. Pendapat bahwa perempuan adalah subordinat laki-laki kadang berasal dari kekurangan literasi para guru masyarakat sendiri yang memuja laki-laki dan menganggap perempuan seharusnya di rumah saja dan ngaji di setiap kajian di kampungnya. Lama-lama jadi stereotip. Dan ini akan sulit dihapus sampai kapan pun.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maka, menggaungkan perubahan stereotip mesti dilakukan ke semua lini dan strata ya Mbak...enggak cuma jadi pembicaraan di kalangan pengambil kebijakan

      Hapus
  14. Saya punya teman seorang psikiater dan psikolog. Selama lebih dari 20 tahun praktek, kasus KDRT, sampai saat ini, masih menempati urutan teratas. Tak terhitung korban yang konseling sementara pelaku hanya segelintir yang bersedia dievaluasi dan diajak berubah.

    Baca tulisan ini saya jadi pengen mendiskusikannya lagi dengan beliau

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itulah, Mbak...pelaku akhirnya melakukan kesalahan yang sama nantinya jika tidak ada konseling untuk mereka

      Hapus
  15. Persoalan gender memang melibatkan laki-laki tapi bahkan laki-laki yang memiliki power untuk menyelesaikan permasalahan ini dalam bentuk produk undang-undang pun tidak menganggap hal ini krusial. Patriarki isue sepanjang zaman.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyes, isu sepanjang zaman, semoga perubahan makin membaik ke depan

      Hapus
  16. ah aku sedih mbak bacanya, smg kakak mbak dian selalu diberi kemudahan ya, smg kasus kdrt nggak semakin banyak ya mbak

    BalasHapus
  17. Mestinya para lelaki pelaku KDRT bersyukur ya, jika si korban yang adalah isterinya sendiri ga ingin suaminya masuk penjara. Ingin berubah demi anak2nya. Namun ya ga sedikit yang kemudian berlalu begitu aja. Apalagi kalau pihak keluarganya juga menganggap enteng urusan ini. Mari perempuan2 kita bersatu melawan KDRT!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar, Mbak..pihak istri selaku korban berkali-kali memaafkan tapi berkali-kali pula diulang
      Memang mesti bersatu melawan KDRT ini maka pelibatan laki-laki sebagai agen perubahan penting sekali

      Hapus
  18. naini problematika antara pria dan wanita yang ada dalam hubungan, entah baru pacaran ataupun sudah menikah memerlukan pemahaman akan posisi masing-masing dan akhlak yang cukup. serem ya sama KDRT tuh..

    BalasHapus
  19. sedih deh mbak Dian bacanya, di beberapa tempat di Indonesia (dan mungkin juga dunia) perempuan yang seharusnya di-empu-kan di hormati dan disayangi secara dia yang melahirkan dan menjadi pendidik generasi penerus bangsa seringnya dilecehkan

    semoga berhasil program ini ya

    BalasHapus
  20. Aku tuh masih suka gemes deh kalau ada yang melakukan tindak kekerasan terhadap perempuan, terutama terhadap istrinya sendiri. Lah gimana sih nikah masa untuk dikasarin, tapi ada temanku yang gini dan selalu memaafkan suaminya.

    BalasHapus
  21. Salut dengan kakakmu, Mbak, yang berani mengambil langkah besar untuk memutus rantai KDRT.
    Aku baca artikelmu ini sambil manggut-manggut. Iya ya, korban dari awalnya merasa tersakiti lama-kelamaan bisa berpikir ia layak disakiti. Itu juga menyebabkan KDRT berlangsung bertahun-tahun, korban ga berani melaporkan dan melawan. Dengan pelaku diberi konseling dan akhirnya mengaku di hadapan korban, itu akan meringankan beban hidup si korban. Semoga gak kambuh lagi.

    BalasHapus
  22. benar ya mbak, korban kdrt memang butuh dukungan dan pendampingan dari banyak pihak ya mbak

    BalasHapus
  23. Prihatin bacanya Mbak, Insya Allah kakak sekarang lebih bahagia ya hidup mandiri tanpa ketakutan lagi. Harus kita kampanyekan nih anti kekerasan pada perempuan di media agar lebih melek lagi semua orang bahwa kasus begini bukan masalah sepele..

    BalasHapus
  24. Ah jd keinget kapan hari diskusi di twitter soal pertanyaan teman yang nanya kalau ada istri bilang ke temannya bahwa suaminya memukulnya itu termasuk menceritakan aib suami atau bukan?
    Lalu banyak yg jawab enggak itu namanya mencari keselamatan, emang wajib cerita, kalau gk gtu mati.
    Dan bener ada yg komen kejadian istri meninggal disiksa suami gara2 pas cerita ke keluarganya, keluarganya malah nyuruh bertahan aja, krn keluarganya malu kalau anaknya cerai T.T
    Para perempuan kudu diedukasi soal hal2 kek gini

    BalasHapus
  25. Baru-baru ini saya membaca beberapa artikel tentang kebiasaan menabukan anak laki-laki untuk berekspresi sedih. Laki-laki gak boleh menangis. Ternyata itu bisa berdampak yang tidak baik. Salah satunya, bisa jadi kurang berempati terhadap orang lain. Dan biasanya, laki-laki yang melakukan KDRT karena masa kecilnya suka dilarang untuk berekspresi

    BalasHapus
  26. Keren banget programnya, semoga dengan lebih banyak laki-laki yang terlibat sebagai agen perubahan bisa mengurangi kasus kdrt...

    BalasHapus
  27. Tetangga pas awal awal saya menikah dulu juga ada yang berpisah dari suaminya karena KDRT. Memang berpisah menjadi pilihan buat sebagian wanita yang mengalami KDRT agar tetap waras.

    BalasHapus
  28. Wah sayang juga ya udah 20 tahun tapi kalo kekerasan yang dialami mending memang berpisah itu jalan terbaik. Semoga kakaknya sekarang bisa bernapas lega lepas dari KDRT. Kesetaraan gender itu butuh dukungan banyak pihak. Aku baru tahu tentang laki-laki sebagai agen perubahan, semoga terwujud perannya

    BalasHapus
  29. Seram sekali membaca kasus KDRT.
    Kalau di lingkaran terdekatku, bukan KDRT secara fisik, tapi verbal.
    Sakitnya lebih-lebih lagi yaa..
    Dan jalan satu-satunya dari segi agama (waktu itu) adalah rukyah.

    BalasHapus
  30. Sedih kalau baca tulisan ini. Jadi teringat adik sendiri yang sampai sekarang masih mengalami KDRT. Begitu juga anak-anaknya.

    BalasHapus
  31. Menurut pengamatan saya, selama ini memang lebih banyak komunitas perempuan yang bergerak dalam perlindungan korban KDRT atau pelecehan seksual. Baguslah kalau pada akhirnya laki-laki dilibatkan sehingga ada saling keterikatan. Ya, meskipun tidak semua laki-laki, tapi tetap saja lebih banyak perempuan yang menjadi korban kan. Jadi sangat penting bagi laki-laki untuk ikut urun rembug dan bertindak langsung menangani kasus KDRT dan pelecehan yang makin marak di negeri ini.

    BalasHapus
  32. Alhamdulillah ya kakak mbak akhirnya berhasil membuat keputusan dan bisa melewatinya. Aku berharap akan makin banyak perempuan bisa melewati ini semua dengan berani juga. Mudah2an prevention+ ini semakin meluas area cakupannya

    BalasHapus
  33. Progam ini bagus, Mbak. Sesuai dengan namanya, cocok untuk pencegahan, prevention. Dengan target orang tua yang punya anak laki-laki atau para remaja pria dan laki-laki dewasa muda. Semoga bisa meluas area cakupannya ya.

    BalasHapus
  34. Pengaruh juga ya budaya lokal yang menyanjung-nyanjung posisi laki-laki, sehingga akhirnya laki-laki ngapain saja ke istrinya bisa dibenarkan. Perlu kesadaran dari laki-laki juga untuk memutus rantai kekerasan pada perempuan.

    BalasHapus
  35. Bagus ini kegiatannya. Dan ternyata di solo juga ada.

    Sepakat banget dengan ini ... "bukan hanya korban yang membutuhkan konseling, namun pelaku juga sama butuhnya!" Kedua pihak sama-sama butuh pertolongan

    BalasHapus
  36. bahasannya lumayan berat ya tapi penting diketahui oleh perempuan bagaimana memposisikan dirinya bila dihadapkan pada lelaki yg kurang menghargai posisi perempuan misal istri.

    BalasHapus