Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Review Buku: Amir Hamzah Sang Penyair

Buku "Amir Hamzah Sang Penyair" karya Ajip Rosidi yang akan saya ulas ini sejatinya sudah menghuni rak buku saya selama hampir setahun lamanya, tapi baru minggu ini saya buka dari bungkus plastiknya. Hiks! Beneran, saya ini suka beli buku, membaca dan me-review. Tapi, ....itu dulu! Kini dengan makin banyaknya distraksi, hobi yang satu ini jadi menepi. Baca sih teteup..baik buku fisik maupun digital (meski enggak serajin dulu). Tapi, untuk mengulasnya, nanti dulu...! Karena bikin review buku itu kadang mesti baca saksama juga meski membolakalikkan halamannya. Nah, segala proses yang memakan waktu ini akhirnya bikin kemalasan melanda. Padahal 2 artikel tentang review buku nangkring di popular post saya, yakni: review buku Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat (16.000 views/tayang Jan 2019) dan review buku Acatalepsy (10.000 views/tayang Feb 2020). Nah, harusnya saya enggak boleh males dong ya, mengingat yang baca review saya banyaaak ternyata. 


Baiklah, ini jadi reminder bagi diri, meski lebih rajin lagi hihihi


Ajip Rosidi



Back to topic, saya kali ini sengaja memilih buku "Amir Hamzah Sang Penyair" untuk diulas di sini. Pasalnya, belum lama, Ajip Rosidi - penulisnya, berpulang (Al Fatihah). Beliau meninggal dunia pada 29 Juli 2020 di usia 83 tahun. Ajip Rosidi yang lahir di Majalengka, Jawa Barat, 31 Januari 1938, dikenal sebagai sastrawan, pengajar, redaktur media massa, sekaligus budayawan dan ternama sebagai salah satu dari Angkatan 66

Tak hanya itu, Ajip Rosidi juga adalah penggagas Yayasan Kebudayaan Rancage yang sejak tahun 1989 dengan merogoh kantong sendiri menginisiasi pemberian Hadiah Sastera Rancage bagi karya (buku) satrawan Sunda yang diumumkan setiap tanggal 31 Januari.

Sementara Amir Hamzah, tokoh yang ditulis dalam buku "Amir Hamzah Sang Penyair" ini merupakan  sastrawan Indonesia angkatan Poedjangga Baroe dan Pahlawan Nasional Indonesia. 

Tuh, baik penulis maupun tokoh yang ditulis sama-sama ternama! Jadi mari kita ulik apa saja isi bukunya!

Data Buku  "Amir Hamzah Sang Penyair"


Judul: Amir Hamzah Sang Penyair
Penulis: Ajip Rosidi

Penerbit: Pustaka Jaya
Desain Jilid: Ayi R Sacadipura
Halaman: 134
Cetakan Pertama: 2013
ISBN: 978-979-419-395-2

Blurb

Sehari sebelum ditangkap (lebih tepatnya diculik) Amir Hamzah diberi tahu oleh kakak perempuannya yang mendengar dari seorang pemuda bahwa dia termasuk yang diincar para pemuda dalam «revolusi sosial" lantaran dia adalah bangsawan. Bukannya panik, Amir justru menjawab dengan tenang, "Lari dari Binjai patik pantang. Patik adalah keturunan Panglima. Kalah di gelanggang sudah biasa.  Dari dahulu patik merasa tiada bersalah kepada siapa (pun). Jadi salah  besar dan tidak handalan kalau patik melarikan diri ke kamp NICA di Medan. Sejak Sumpah Pemuda patik ingin merdeka." 

Dan kita tahu akhir cerita, sang penyair liris merdu ini terbunuh di tangan para  pemuda yang negerinya dia bela dengan jiwa teguh.

Di dalam buku ini terangkum kumpulan puisinya: Buah Rindu, Nyanyi Sunyi, serta sajak-sajak dan prosa lirik yang tersebar di berbagai media massa, disertai telaah oleh Ajip Rosidi.


Review Buku: Amir Hamzah Sang Penyair



Kata Pengantar: Tentang Amir Hamzah


Buku "Amir Hamzah Sang Penyair" yang dilengkapi "Buah Rindu, Nyanyi Sunyi dan Sajak dan Prosa Lirik Tersebar ini bisa dikategorikan biografi meski di buku tak disebutkan masuk genre apa. Oh ya, Ajip Rosidi sendiri lebih memilih menyebut "disusun dan dibicarakan oleh: Ajip Rosidi" daripada "ditulis: Ajip Rosidi" dalam buku 134 halaman ini.

Nah, Ajip memulai buku dengan Kata Pengantar panjang, yang mengungkapkan tentang siapa sosok Amir Hamzah yang ada di bukunya. Dan dari pengantar ini saya jadi tahu jika Amir Hamzah, sang penyair era Pujangga Baru yang paling terkemuka itu, memiliki kisah hidup yang menarik sekali.


Ajip menyebutkan di Kata Pengantar:

Ungkapan "revolusi memangsa anaknya sendiri" sangat tepat dikenakan kepada Amir Hamzah, penyair Pujangga Baru yang paling terkenal. Dia dilahirkan dalam lingkungan keluarga Sultan Langkat, kemudian setelah sebentar melanjutkan ke MULO di Medan, pergi ke Jakarta (dan setelah menamatkan MULO, lalu ke Solo masuk AMS Ketimuran sampai tamat). Pada masa belajar di Solo itulah dia mulai aktif dalam kegiatan pemuda pergerakan, malah pernah menjadi Ketua Indonesia Muda cabang Solo. Setamat AMS dia pindah ke Jakarta melanjutkan ke Sekolah Tinggi Hukum (RH = Recht Hogeschool) sedang kegiatannya dalam gerakan kebangsaan tidak menurun, padahal dia sudah diberi peringatan oleh pamannya, Sultan Langkat yang membiayainya sekolah (karena ayahnya meninggal) agar menghentikan kegiatan tersebut. Pamannya sudah diperingatkan oleh pemerintah jajahan Hindia Belanda, agar melarang kemenakannya itu aktif dalam kegiatan kebangsaan. Kalau tidak maka nasib kesultanan Langkat akan menjadi taruhannya.

Bersama dengan S. Takdir Alisjahbana dan Amijn Pane, Amir Hamzah malah menerbitkan majalah Poedjangga Baroe, yang tujuannya hendak memberikan dorongan terhadap terbentuknya kebudayaan nasional Indonésia. Hal itu menyebabkan Sultan Langkat memanggil Amir Hamzah pulang dan menikahkannya dengan anaknya, artinya menjadikan Amir sebagai menantu. Setelah proklamasi kemerdekaan dan pembentukan pemerintah Republik Indonesia, Amir Hamzah diangkat sebagai Wakil Residen Langkat yang berkedudukan di Binjai. Tapi pada awal tahun 1946, terjadi apa yang disebut Revolusi Sosial yang didalangi oleh Persatuan Perjuangan yang dibentuk oleh organisasi dan partai seperti PKI, PNI, Pesindo, Hisbullah dan Volksfront. 

Sehari sebelum ditangkap (lebih tepat "diculik"), Amir Hamzah diberi tahu oleh kakaknya yang perempuan, Teungku Noyah bahwa ia mendengar dari seorang pemuda bahwa Amir ditangkap. Namun Amir bukannya panik, malah menjawab: 

"Lari dari Binjai patik pantang. Patik adalah Panglima, kalah di gelanggang sudah biasa. Dari dahulu merasa tiada bersalah kepada siapa (pun). Jadi salah besar tidak handalan, kalau patik melarikan diri ke kamp NICA Medan. Sejak Sumpah Pemuda, patik ingin merdeka."

Amir Hamzah diculik dan dibawa ke Perkebunan Kuala Begumit. Dia di sana bersama 26 orang tawanan lain termasuk saudaranya sendiri, dibunuh oleh Mandor Riang (Yang Widjaja) yang pernah menjadi guru silat di istana Langkat. 

Sungguh suatu peristiwa tragis, orang yang sejak muda giat dalam usaha memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan negara, setelah cita-cita itu tercapai dan dia sendiri ikut duduk dalam pemerintahan sebagai tanda bahwa jasanya sebagai pejuang kemerdekaan malah jadi korban "revolusi sosial" (hal 5-6)


Amir Hamzah Sang Penyair


Amir Hamzah: Hati yang Ragu


Setelah menyajikan kata pengantar, Ajip Rosidi dalam buku ini memberi telaah pada karya Amur Hamzah yang ada di sebuah bab bertajuk Amir Hamzah: Hati yang Ragu

Disebutkannya jika di antara para penyair sebelum perang, Amir Hamzah adalah yang paling halus, paling mesra dan paling mengkhususkan diri sebagai penyair. MeÅŸki ia pun ada juga menulis prosa, antaranya berupa studi tentang kesusasteraan Melayu Lama, namun kehadiran Amir Hamzah dalam dunia kesusasteraan Indonesia, terutama ditandai oleh dua buah kumpulan sajaknya: Buah Rindu (1941) dan Nyanyi Sunyi (1937). 

Buah Rindu adalah kumpulan sajak yang pertama ditulis Amir Hamzah, namun Nyanyi Sunyi yang terbit duluan sebagai kumpulan (dalam majalah Poedjangga Baroe). Amir sendiri mungkin menganggap Buah Rindu  hanya sebagai latihan untuk kemudian menulis Nyanyi Sunyi. Sebagai puisi Nyanyi Sunyi sudah matang, sedangkan Bııah Rindu  adalah percobaan-percobaan pertama Amir menulis sajak.
 
Kecuali kedua kumpulan itu, Amir pun ada pula menerjemahkan sajak-sajak asing. Kemudian di bawah judul Setanggi Timur (1939) terjemahan sajak-sajak para penyair Timur itu dikumpulkan dan diumumkan. Ditinjau dari sudut sejarah, barangkali usaha ini merupakan usaha pertama dari pihak Indonesia untuk menerjemahkan sajak-sajak asing. Pengaruh dari Barat telah maÅŸuk ke dalam dunia kesusasteraan Indonesia, sepuluh-lima belas tahun sebelumnya, melalui sonata-sonata yang ditulis Muhammad Yamin namun terjemahan puisi boleh dikatakan belum ada. Agak berlainan halnya dalam prosa; Haji Agus Salim menyalin Shakespeare dan Kipling dan sebagainya. (Amir Hamzah Sang Penyair, hal 13)

Nah, Ajip Rosidi mengupas baris-baris indah karya Amir Hamzah dalam bahasa sastra yang bagi orang awam seperti saya sedikit membingungkan. Tapi jika membacanya dengan pelan pasti bisa dimengerti bahkan dinikmati.

Yang saya bayangkan malahan, betapa tahun segitu mereka para sastrawan sudah memiliki kehalusan bahasa yang tertuang dalam karya sastra tingkat tinggi begini! Keren sekali!

Misalnya saja:

Bunga mawar putih setangkai
Anakda petik di kaki Wilis
Di atas bumi Jawa raya
Akan penunggu telapakan Bonda 
(Bonda I)

Bagi Amir "bonda" adalah perlambang keibuan yang sejati, kadang-kadang pula digunakannya sebagai lambang tanah air (Smuatera tentu), lambang dari kasih yang tulus, lambang dari pengorbanan yang ikhlas ("kabaran"), lambang cinta yang suci dan dalam. Begitu dalam cinta "bonda" kepadanya sehingga dalam mata angan Amir terbayanglah sang "bonda" duduk termenung mengharapkan anaknya pulang sambil menangis. Begitu percaya ia akan kasih sayang bonda yang tulus! Dalam suara angin, gemericik air di atas batu, dalam gemersik daun, pada awan, seolah tampak dan kedengaran olehnya, sang "bonda" merindukannya. Demikian dalam dianggapnya cinta bunda kepada anaknya sehingga ia merasa takut jika sang "bonda" mati mereras lantaran rindu. (hal 15)

Kemudian Ajip Rosidi pun menyertakan hasil karya Amir Hamzah yang tertuang dalam "Buah Rindu", "Nyanyi Sunyi" dan "Sajak dan Prosa Lirik Tersebar". Yuk kita nikmati beberapa diantaranya!


Buku: Amir Hamzah Sang Penyair



 
Buah Rindu
I

Dikau sambur limbur pada senja
Dikau alkamar purnama raya
Asalkan kanda bergurau senda  
Dengan adinda tajuk mahkota.

Di tuan rama-rama melayang
Di dinda dendang sayang 
Asalkan kanda selang-menyelang 
Melihat adinda kekasih abang.

Ibu, seruku ini laksana pemburu
Memikat perkutut di pohon ru 
Sepantun swara laguan rindu
Menangisi kelana berhati mutu.

Kelana jauh duduk merantau
Di balik gunung dewala hijau
Di seberang laut cermin silau
Tanah Jawa mahkota pulau.....
 
Buah kenanganku entah ke mana
Lalu mengembara ke sini sana 
Haram berkata sepatah jua 
Ia lalu meninggalkan beta.

Ibu, lihatlah anakmu muda belia 
Setiap waktu sepanjang masa
Duduk termenung berhati duka
Laksana Asmara kehilangan seroja.

Bunda waktu tuan melahirkan beta
Pada subuh kembang cempaka
Adakah ibu menaruh sangka
Bahwa begini peminta anakda

Wah kalau begini naga-naganya
Kayu basah dimakan api
Aduh kalau begini laku rupanya
Tentulah badan lekaslah fani 

(Amir Hamzah Sang Penyair, hal 39-40)


Padamu Jua

Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu

Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia selalu

Satu kekasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa

Di mana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati

Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas

Nanar aku, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara di balik tirai

Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu-bukan giliranku
Mati hari-bukan kawanku

(Amir Hamzah Sang Penyair, hal 77)


Bertemu

Empat tahun, masuk kelima, tiada pemah aku melihat   mendengar kabarmu pun tiada, tiba-tiba tahadi, kita bertemu pula

Mimpi yang sama kita mimpikan dahulu itu timbul bermain di ruang mataku, kedengaran kembali gelakmu, bisikmu,  pula engkau merajuk, bibirmu melengkung, bersaing; merah dengan putih.

Tetapi tahadi kalau tiada engkau gelak, tiadakan kutandai engkau, merah jambu yang menyembahkan warnanya pada pipimu itu telah luntur, matamu yang hening-bening bagai embun berayun di kelopak mawar itu, telah keruh. Kusapa engkau timbul senyum di bibirmu, jauh hatiku tiada terkatakan senyumanmu gaya dibuat-buat. Kau bawa aku ke tempat sunyi, ketika kita berpandangan, tahulah aku semuanya, walaupun sepatah pun tiada kita berkata....
 
"Sendirian?!" 

Menoleh aku ke belakang, kulihat engkau berpegang-pegangan tangan seperti dahulu. Teruslah aku seorang diri -  bulan menangis senyum, bersabai cindai awan rawan. (Poedjangga Baroe, Maret 1934)

(Amir Hamzah Sang Penyair, hal 112)


Jadi, Buku "Amir Hamzah Sang Penyair" ini...


Menarik sekali untuk dibaca karena:

✔ Kita jadi tahu sosok Amir Hamzah itu siapa
✔ Menambah khasanah seputar sejarah Indonesia dan kesusastraan di era Poedjangga Baroe
✔ Ada beberapa karya indah yang bisa dinikmati di sini dari 2 buku Amir Hamzah dan yang terserak
✔ Ulasan karya Amir Hamzah dari Ajip Rosidi yang mengupas secara dalam dari sisi sastra


Sementara kekurangannya:

Ejaan beberapa memakai huruf sesuai cara baca misal untuk oleh dituliskan oléh. Juga kata lain seperti Médan. Mungkin karena Ajip Rosidi dari angkatan 66, sebelum EYD ada yang kini sudah diganti menjadi Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI). Jujur ini bikin bingung saya saat baca. juga beberapa typo menghiasinya. Oh ya, cetakannya pun terlalu rapat hurufnya, meski ini membuat padat bukunya.

Tapi di luar itu semua, apresiasi tinggi untuk Ajip Rosidi akan buku "Amir Hamzah Sang Penyair" ini!💖


Review Buku: Amir Hamzah Sang Penyair
Penganugerahan Hadiah Sastera Rancage yang ke-31 kalinya di Perpusnas RI  12 Sept 2019 di mana saya bertemu Bapak Ajip Rosidi dan membeli buku ini di acara bazaar di sana



Selamat Membaca


Dian Restu Agustina
Dian Restu Agustina Hi! I'm Dian! A wife and mother of two. Blogger living in Jakarta. Traveler at heart. Drinker of coffee

27 komentar untuk "Review Buku: Amir Hamzah Sang Penyair"

  1. Mba Dian kalo bikin review buku detail, lengkap banget dan jeli melihat kekurangannya. Pantas bisa terus jadi popular post reviewnya :))

    BalasHapus
  2. Terus semangat review bukunya mba, aku kadang butuh review dulu sebelum membeli bukunya. Meski ga semua isi buku di ulas, jadi ad gambaran isi buku itu seperti apa. Seperti Amir Hamzah ini, aku pun baru tahu sosoknya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, biasa yang baca review karena penasaran intip dulu bukunya seperti apa sebelum beli

      Hapus
  3. Saya lupa, pernah nonton film Korea ya kalau nggak salah, tentang sang penyair.
    Dan di Indonesia juga ada tokoh penyair yang nggak kalah menarik untuk disimak kayak Amir Hamzah ini.

    Meskipun sedih juga ya, kisahnya berakhir dengan terbunuh, huhuhu.

    Oh ya, keren banget Mba, saking sering baca ya, jadi tahu betul poin-poin apa yang jadi kelebihan buku, dan juga kekurangannya :)

    Jempol deh kalau Mba Dian ngereview buku.
    Bikin kita-kita jadi makin penasaran isi bukunya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya sayangnya sang penyair di sini terbunuh
      Makasih, Mbak Rey

      Hapus
  4. Baik yang ditulis eh dibicarakan maupun yang menulis ini keduanya sastrawan besar. Dan saya baru tahu kalau Pak Ajip baru meninggal beberapa bulan lalu. Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. In syaa Allah karya-karya beliau akan abadi di dunia.

    BalasHapus
  5. Puitis banget ya mba bahasannya ^_^. Bikin kita yang baca jadi baper hihihi..
    Semoga generasi muda ada yang mewarisi kemampuan para tetua seperti beliau.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya puitisnya ga lebay lagi...sastra banget hihihi
      Aamiin

      Hapus
  6. Aku suka buku ttg biography orang berjasa/besar seperti ini mba. Amir Hamzah memang karya2nya aku ga terlalu bisa menikmati, apalagi dlm bentuk puisi :D, tapi aku suka membaca sejarah hidup orang2 soalnya. Jadi tau seperti apa mereka, keluarganya, perjalanan hidup dll. Aku malah baru tau Amir Hamzah meninggal Krn dibunuh pemuda senegeri sendiri :(.

    Aku coba cari bukunya ah.. tp kalo tulisannya agak rapet, jujur bacanya jd bikin lebih lama, apalagi mataku udh minus gini :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, rapat hurufnya ini...tapi jadi ga tebal banget halamannya

      Hapus
  7. Saya sebagai penikmat sastra bersyukur sekali bisa ketemu dan baca syair karya Amir Hamzah lagi..
    Jadi inget deh dulu pernah bawain syair yg berjudul Padamu Jua itu..
    Hmmm kenangan yang cukup manis..

    BalasHapus
  8. Innalillahi wa inna ilaihi raajiun, turut berduka :(
    Saya jarang nge-review buku, Mbak. Buku-buku yang saya punya juga banyak yang antre minta dibaca, cuma belum sempat menamatkan semuanya. Dibaca dan dinikmati pelan-pelan. hihi. BTW, karya-karya Amir Hamzah masya Allah bagus, ya, Mbak. Suka bacanya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Mbak..maka bacanya jadi lama ya karena menikmati kita

      Hapus
  9. Padamu jua...
    Aku suka baca ini berulang kali,karena makna nya begitu dalam.

    Dan yang aku baca di artikel mba ini, sosok Amir Hamzah pernah di culik dan menjadi korban Revolusi Sosial, padahal beliau sosok pejuang kemerdekaan.

    BalasHapus
  10. Aku tuh kagum banget sama kak Dian yang suka gemar baca buku dan meriviewnya dan aku jadi malu juga kalau saat ini aku jarang banget baca buku huhu. Btw syairnya apik tenan ya,

    BalasHapus
  11. akkkk, tulisan mu mba dian, jadi penampar nih, banyak buku yang masih santuy majang doang di rak buku, belum sempet ku baca huhu.

    Btw, penulis lama emang bagus banget ya, tulisannya tuh sarat makna dan isu sosial! Aku juga punya beberapa buku berlatar-belakang kurang lebih serupa, dan apiikkkk!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah, yuk di review, siapa tahu ada pembaca yang perlu:)

      Hapus
  12. Wak aku ikut mengapresiasi Review mbak tentang buku berjudul Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat. Bagaiman mbak kuncinya bisa mencapai 16.000 views? Salut banget, aku sekali posting, yang view bijian. Hihihi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya nulis aja seperti biasa, Mbak...eh enggak nyangka bisa segitu view-nya. Alhamdulillah

      Hapus
  13. syair yang bagus dan penuh makna.. namun saya kalo review buku masih kurang ahli atau mendalami bagaimana cara mereviewnya.. namun buku amir hamzah ini sangat bagus dan syaiirnya juga okee

    BalasHapus
  14. Mbak, aku jadi membayangkan sajak-sajak Amir Hamzar ini dibuatkan dalam versi film terus menggunakan latar belakang masa lalu. Kayaknya bakal mirip-mirip Tenggelamnya Kapal Van der Wijk gitu, ya. Historikal bangeeet ...

    BalasHapus