Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Yuk, Mengenal Gangguan Kesehatan Mental!

"Kena Mental!" 

Frasa yang kini familiar dipakai untuk menggambarkan kondisi mental yang sedang terpuruk akibat terjadinya peristiwa buruk. Mulanya sih istilah ini dipakai para gamers Mobile Legends sebagai perang psikologis (psywar), yang diucapkan saat lawan mereka kalah terus saat duel. 

Lalu, berkembang jadi ungkapan untuk sebuah persoalan kondisi mental yang sebenarnya merupakan hal serius. Nah, seringkali penggunaan frasa gaul ini pada media sosial dalam konteks bercanda atau jauh dari kondisi mental yang sebenarnya.

Padahal, kesehatan mental telah menjadi masalah kesehatan yang makin mengkhawatirkan. Terlebih dengan berkembang pesatnya teknologi informasi ditambah situasi pasca badai pandemi, permasalahan kesehatan mental kasusnya semakin tinggi. Sehingga perlu dukungan dan kerja sama semua untuk mendapatkan solusi terbaiknya.

Yuk, Mengenal Gangguan Kesehatan Mental!

Gangguan Kesehatan Mental Ada di Sekitar Kita


Bicara tentang kesehatan mental, mengingatkan saya pada seorang ponakan yang kini mengalami gangguan kejiwaan. Dia seorang pemuda berprestasi yang mendapatkan beasiswa kuliah berikatan dinas dari sebuah perusahaan ternama di Indonesia. 

Setelah lulus kuliah dia ditempatkan di pelosok Kalimantan, dan di sinilah dia mulai "kena mental!". Dia sering telpon, tjurhat ke ortunya kalau enggak kuat di sana. Sudahlah sepiii sekali di tengah hutan belantara, enggak ngerti bahasa penduduk sekitarnya, bersinggungan pula dengan rekan kerja. 

Lengkaaap!

Secara perlahan akhirnya ada yang berubah pada dirinya. Menurut orangtuanya, kadang dia jadi ngaco saat bicara di telpon, juga diinfokan oleh kantor kalau ada tindakan di keseharian yang tidak semestinya.

Nah, saat kondisinya terbilang parah, perusahaan memutuskan untuk memulangkan dia pada orangtuanya. Dan setelah melalui serangkaian pemeriksaan oleh psikiater, dia pun dinyatakan sebagai Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). 

Hiks!

Tapi sayang sekali, orangtuanya memutuskan untuk menghentikan pengobatan dikarenakan berbagai alasan, di antaranya untuk berobat ke Rumah Sakit Jiwa mereka harus menempuh perjalanan yang cukup jauh. Hingga kini, dia hanya dirawat di rumah dengan pengobatan dan perawatan seadanya.

Padahal, dari acara Kemenkes RI yang pernah saya ikuti dalam rangka dalam peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 2021 lalu, saat ini di Indonesia sudah ada sekitar 6000 layanan kesehatan jiwa termasuk di layanan primer (Puskesmas) di dekat tempat tinggal kita.

Apalagi bagi penderita gangguan kesehatan jiwa yang membutuhkan perawatan psikolog juga psikiater, BPJS juga menanggung biaya konsultasi dan obat-obatan yang dibutuhkan mereka.

Meski sebelum lebih jauh untuk mendapatkan bantuan dari ahli terkait gangguan kesehatan mental ini, kita mesti aware dengan diri sendiri maupun pada orang-orang tersayang jika mengalami gejala awal yang memicu timbulnya respon yang tak wajar yang membuat emosi terekskalasi menjadi overthinking, overanxious dan overwhelmed saat menyikapi sesuatu. 

Di mana kondisi yang biasa disebut stres ini berdasarkan pemicunya bisa dibedakan:
  • Eustress: stres yang sifatnya positif dan membuat diri menjadi lebih tangguh.
  • Distress: stres yang bersifat negatif dan membuat kita merasa tidak berdaya dan bisa berdampak pada kesehatan fisik dan mental.

Well
, kadangkala, saat perasaan tak nyaman muncul, kita mencoba menekan untuk tidak memikirkan atau mengalihkannya, misalnya dengan makan lebih banyak, tidur berlebihan dan lainnya. 

Padahal lebih sehat jika kita menyadari ini dan terima emosi. Terima, tapi jangan larut dan jangan lama-lama. Karena emosi itu bagai air, jika alirannya kita bendung maka suatu saat akan meluap dan bisa terjadi banjir. Berbeda jika itu kita biarkan mengalir, maka akan lancar jalannya sehingga kita bisa beralih ke emosi yang lainnya.

Nah ketika kita dalam kondisi stres, biasanya kita mengalami periode antara hyper atau hipo. Jadi kita tidak bisa memproses rangsangan dari luar secara efektif. Karena ketika kita merasakan emosi yang intens, otak bagian depan akan mengalami shutdown atau tidak berfungsi sementara, dan diambil alih oleh otak emosi. 

Inilah yang memengaruhi kita sehingga berpikir tidak rasional. Karenanya penting bagi kita untuk memiliki kemampuan meregulasi emosi ketika merasa kurang nyaman. 

Misalnya dengan teknik mindfulness. Kita bisa mengolah napas dengan teknik 478: tarik napas dengan hitungan 4, tahan dengan hitungan 7 dan buang dengan hitungan 8. Supaya kita kembali pada window of tolerance kita.

Sebab, kala kita berada di window of tolerance secara umum, otak kita dapat berfungsi secara baik. Dan secara efektif dapat memproses rangsangan, juga berpikir secara rasional serta membuat keputusan dengan tenang tanpa merasa kewalahan.

Nah, window of tolerance inilah yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Seseorang secara umum bisa tepat berada di window of tolerance-nya jika mereka merasa aman dan didukung oleh yang lainnya. 

Sehingga di kondisi seperti ini kita perlu support system. Misalnya bestie, pasangan atau siapa saja, yang bisa menjadi tempat sharing, yang hadir sehingga kita merasa didukung dan dipahami.


gangguan kesehatan mental

There is No Health Without Mental Health


Well, membaca literasi kesehatan mental membuat kita semua mesti lebih peduli karena kesejahteraan itu memang harus berimbang baik fisik, mental maupun sosial.

Di mana, kesejahteraan mental itu dicirikan dengan:
  • Menyadari kemampuan
  • Mampu mengatasi tekanan kehidupan
  • Mampu bekerja secara produktif
  • Mampu berkontribusi dengan kelompok

Nah, proses terjadinya kesehatan mental ini sejak dini dan dipengaruhi oleh: pengasuhan, proses pendidikan, sikap orang-orang di sekitar, sistem pendukung sosial, kondisi psikososial dan peran lingkungan.

Disebutkan juga jika seseorang dengan kesehatan mental yang baik akan mampu bertahan pada: bencana alam, masalah kesehatan, pandemi, dan berbagai krisis kehidupan, seperti: Quarter Life Crisis, Middle Life Crisis, krisis tanggal tua, dan lainnya.

Sementara, menurut UU No. 18/2014 tentang kesehatan jiwa, ada pembedaan terkait penderitanya, yaitu:

  • Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK): mengalami masalah fisik, mental, sosial, pertumbuhan dan perkembangan, dan/atau kualitas hidup sehingga memiliki risiko mengalami gangguan jiwa
  • Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ): mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasikan dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan yang bermakna serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia.

Penutup


Jadi ingat, bukan hanya badan saja yang mesti sehat, mental pun perlu kita rawat!

Ketika ada perasaan tidak nyaman muncul dalam diri, coba atasi dengan: mengelola emosi, rangkul dia, sadari, beri nama, dan terima (namun jangan larut) agar kita bisa cepat beralih ke emosi lainnya

Lalu, bagaimana cara untuk merawat kesehatan mental?
  1. Atur konsumsi informasi yang masuk ke dalam diri
  2. Atur mindset dan ekspetasi, be flexible.
  3. Manfaatkan teknologi agar tetap terhubung dengan yang lain, tetaplah bersosialisasi
  4. Tidur cukup dan makan makanan bergizi untuk menjaga kewarasan dan meningkatkan kekebalan
  5. Lakukan gerak tubuh, karena dengan bergerak dapat meningkatkan dopamine (hormon bahagia), membuat kita merasakan emosi yang positif
  6. Latihan olah nafas untuk melatih emosi
  7. Me time

Nah, adanya kesadaran serta perhatian kepada kesehatan mental seseorang merupakan hal yang baik dan harus terus disebarluaskan, agar tak ada lagi yang 'kena mental' yang bisa berujung pada keparahan.

Mengingat penderita gangguan kesehatan mental dapat terganggu produktifitasnya dalam bekerja dan penyandang gangguan jiwa berat umumnya tidak dapat bekerja atau bahkan mengalami disabilitas yang gawat.

Yuk kita tingkatkan kesadaran positif perihal kesehatan mental ! 

Mari, lebih hargai dan peduli pada diri, dukung orang terdekat yang mengalami gangguan kesehatan mental, temui ahli yang berkompeten jika perlu bantuan!  Juga, yuk berperan serta untuk memperbaiki stigma negatif dan diskriminasi yang selama ini dirasakan oleh orang yang mengalami gangguan kesehatan mental! 

Oia, untuk referensi literasi terkait kesehatan mental, monggo baca-baca blog-nya Mba Siska Dwyta: Kamar Kenangan .. Semangaat!💙



referensi:




Salam Sehat

Dian Restu Agustina





Dian Restu Agustina
Dian Restu Agustina Hi! I'm Dian! A wife and mother of two. Blogger living in Jakarta. Traveler at heart. Drinker of coffee

15 komentar untuk "Yuk, Mengenal Gangguan Kesehatan Mental!"

  1. Kesehatan mental emang penting bgt ya mbak, soalnya byk yg maaf, bunuh diri atau melakukan hal2 yg bersifat kriminal karna masalah kesehatan mental, sayang masih byk yg belum aware akan hal ini, bahkan konsultasi ke psikolog aja byk yg ragu atau takut, takut dikira ODGJ.

    BalasHapus
  2. Wah stress ternyata ada pembagiannya juga ya, Kak. Baru tahu tentang Eustress dan Distress. Kesehatan mental perlu diperhatikan semua orang tua, dan kesadaran untuk memeriksakan diri kepada ahlinya di negeri ini masih menjadi hal yang tidak umum. Mulai dari berpikir konsultasi butuh biaya mahal, atau tidak tahu harus kemana berkonsultasi.

    BalasHapus
  3. Kesehatan mental tuh sering dianggap sepele padahal sangat urgen. Stress tuh bisa jadi awal penyakit fisik juga. Seperti yang mbak dian ungkapkan diatas jika gak kuat jadi distress akhirnya.

    BalasHapus
  4. Daerah pelosok tidak sedikit yang kena mental health karena perlakuan orang sekitar, namun dianggap sepele. Saudara jauh di kampung akhirnya jadi seperti linglung dan ngaco karena tekanan dari anaknya yg harus semua kebutuhan yang dia mau, terpenuhi. Tekanan rumah tangga yang hancur bikin pikiran down memang. Ketika sudah dirasa sedikit stress mengenai tekanan dari dalam dan luar lebih baik konsultasi kejiwaan, cuma kalau di daerah masih minim adanya psikolog ya.

    BalasHapus
  5. Walaahh mbaa, kok kasian bgt ponakannya mb Dian. Padahal doi pelajar yg cemerlang yaaa.
    Moga² Allah kasih kesembuhaaannn yg tdk kambuh2 lagi, aamiinnn

    Artikel yg padat bergizi mba.
    Makasii udah sharing

    BalasHapus
  6. Masalah kesehatan mental memang gak boleh dianggap enteng ya Mbak. Baca cerita tentang keponakan Mbak Dian yang mengalami depresi kerja di pedalaman, mengingatkan kita bahwa setiap orang memiliki kemampuan adaptasi yang berbeda-beda. Apalagi jika seseorang itu minim sosialisasi sehingga sulit melebur dengan kondisi diluar yang biasa dia hadapi.

    Kita yang berada di sekeliling juga harus aware, mampu membaca dan bereaksi cepat jika berhadapan atau melihat orang-orang seperti ini. Setidaknya mengajaknya self healing dan lebih mendekat pada Sang Pencipta, bisa jadi jalan pertama yang menjauhkan diri dari tekanan.

    BalasHapus
  7. Turut prihatin dengan kondisi ponakanmu. Betul, padahal jada psikolog dan psikiater juga dicover bpjs, ya. Jadi tinggal dirujuk aja ke faskum terdekat.

    BalasHapus
  8. Hai mom Dian,
    baru 3 hari yang lalu aku mengalami berhadapan(untungnya via VC) dengan orang yang depresi dan sepertinya ada unsur psikopatnya. Mengerikan tutur kata dan sikap yang ditunjukan ke aku. Ini pria. Aku tidak tahu ada masa lalu apa yang dialami. Tetapi karena tidak punya ikatan bathin aku langsung blokir orang ini. Selain jadi toxic relatonship akupun mau waras diri dengan jaga emosiku untuk tidak terpengaruh

    BalasHapus
  9. Nah itu dia, penderita gangguan kesehatan mental kan dijamin BPJS
    tapi banyak yang gak paham
    salah seorang kenalan punya adik yang mengalami gangguan kesehatan mental
    dia mengeluh biaya pengobatan mahal, malah ortunya sering bawa si adik ke "orang pintar"
    padahal saya udah bilang untuk menggunakan fasilitas bpjs
    tapi ya itu, kalo gak ngeyel kayanya gak puas :D

    BalasHapus
  10. Di tempat saya sebenarnya mingkin banyak orang yang kena gangguan mental. Hanya tidak mau terbuka karena pandangan masyarakat, gangguan mental itu dianggap (maaf) gila
    Edukasi terhadap masyarakat lapisan bawah masih kurang mengena memang

    BalasHapus
  11. Sedih banget aku tu kalau liat ODGJ. Aku pernah kena mental soalnya. Tepatnya masuk RSJ tahun 2017 lalu saat kelas 2 SMA. alasannya karena dulu banyak tekanan hidup kayaknya. Hehe.. Sebulanan lebih di rawat di RSJ. Alhamdulillah setelah sembuh dari situ aku selalu berusaha untuk selalu sehat baik fisik maupun psikologis. Seperti yang mba bilang di atas, dibuat kitalah yang harus menjaga diri sendiri. Atur-atur apa yang harus di dengar dan tidak, serta sering bersosialisasi.

    BalasHapus
  12. Kesehatan mental ini memang menjadi perbincangan hangat ketika melihat seseorang yang biasanya terlihat wajar namun bisa mendadak berubah. Karena luka yang mereka rasakan dan sulit untuk diutarakan.

    Semoga dengan awareness dari lingkungan, kita semua bisa mencegah hal buruk terjadi di sekitar kita apalagi terkait masih ada hubungan keluarga.
    Jangan perneh meremehkan kesehatan mental.

    BalasHapus
  13. turut prihatin dengan keponakan Mba Dian.

    Masalah kesehatan mental ini memang harus diketahui banyak orang yaa, karena sadar atau tidak, sebenarnya kita semua berpotensi terkena gangguan ini, makanya semakin kita tahu dan sadar pentingnya kesehatan mental maka kita akan berusaha untuk membuat mental kita sehat

    BalasHapus
  14. Berada di lingkungan baru, dengan bahasa dan budaya berbeda dengan lingkungan asal, jauh dari keluarga, memang bisa juga jadi pemicu gangguan mental ya mbak. Dan ini efeknya lebih mengerikan dibandingkan sakit secara fisik.

    Semoga kita dijauhkan dari segala pemicu masalah kesehatan mental, diberikan jiwa raga yang kuat menghadapi segala persoalan dan perubahan dalam hidup

    BalasHapus
  15. Obat untu kesehatan mental itu nggak ada jual soalnya, makanya butuh ditata sebaik mungkin.

    BalasHapus